Liturgical Calendar

HOMILI PAUS FRANSISKUS DALAM MISA HARI MINGGU BIASA XXX (MISA PENUTUPAN SIDANG UMUM BIASA SINODE PARA USKUP) 27 Oktober 2024 : TENTANG BARTIMEUS

Bacaan Ekaristi : Yer. 31:7-9; Mzm. 126:1-2ab,2cd-3,4-5,6; Ibr. 5:1-6; Mrk. 10:46-52.

 

Bacaan Injil hari ini Bartimeus, seorang buta yang terpaksa mengemis di pinggir jalan, seorang rakyat jelata yang kehilangan harapan, dihadirkan kepada kita. Namun, ketika ia mendengar Yesus lewat, ia mulai berseru kepada-Nya. Yang dapat dilakukan Bartimeus hanyalah menjerit dalam penderitaannya kepada Yesus dan mengungkapkan keinginannya agar ia dapat melihat kembali. Sementara banyak orang merasa terganggu oleh jeritannya dan menegurnya, Yesus berhenti sejenak. Karena Allah selalu mendengar jeritan orang miskin, dan tidak ada jeritan penderitaan yang tidak didengar-Nya.

 

Hari ini, pada penutupan Sidang Umum Sinode Para Uskup, dengan hati yang dipenuhi rasa syukur atas momen-momen yang telah kita lalui bersama, marilah kita merenungkan apa yang terjadi pada Bartimeus. Awalnya ia “duduk di pinggir jalan” (Mrk 10:46), tetapi pada akhirnya ia dipanggil oleh Yesus, memperoleh kembali penglihatannya dan “mengikuti Yesus dalam perjalanan-Nya” (ayat 52).

 

Hal pertama yang diceritakan Injil kepada kita tentang Bartimeus yaitu ia sedang mengemis di pinggir jalan. Posisinya merupakan gambaran seseorang yang duduk di pinggir jalan, tenggelam dalam kesedihannya, seolah-olah tidak ada hal lain yang dapat dilakukan selain menerima sesuatu dari banyak peziarah yang melewati kota Yerikho saat Paskah semakin dekat. Namun, seperti yang kita ketahui, jika kita benar-benar ingin hidup, kita tidak dapat duduk diam. Hidup berarti terus bergerak, berangkat, bermimpi, membuat rencana, dan membuka diri terhadap masa depan. Bartimaeus yang buta, melambangkan kebutaan batin yang mengekang kita, membuat kita terpaku di satu tempat, menahan diri kita dari dinamisme kehidupan, dan menghancurkan harapan kita.

 

Hal ini dapat membantu kita merenungkan bukan hanya kehidupan kita, tetapi juga tentang apa artinya menjadi Gereja Tuhan. Begitu banyak hal di sepanjang jalan yang dapat membuat kita buta, tidak mampu memahami kehadiran Tuhan, tidak siap menghadapi tantangan kenyataan, terkadang tidak mampu memberikan tanggapan yang memadai terhadap pertanyaan-pertanyaan dari begitu banyak orang yang berseru kepada kita, seperti yang dilakukan Bartimeus kepada Yesus. Kita tidak dapat tinggal diam di hadapan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh manusia masa kini, di hadapan tantangan-tantangan zaman kita, mendesaknya penginjilan dan banyaknya luka yang menimpa umat manusia. Saudara-saudari, kita tidak dapat berdiam diri. Gereja yang tidak banyak bergerak, yang secara tidak sengaja menarik diri dari kehidupan dan membatasi diri pada pinggiran kenyataan, adalah Gereja yang berisiko tetap buta dan menjadi nyaman dengan kegelisahannya. Jika kita tetap terjebak dalam kebutaan kita, kita akan terus-menerus gagal memahami kemendesakan memberikan tanggapan pastoral terhadap banyak masalah di dunia kita. Marilah kita memohon kepada Tuhan agar mengutus Roh Kudus kepada kita, agar kita tidak duduk dalam kebutaan kita, yang dengan kata lain dapat berupa keduniawian, kepuasan diri, atau hati yang tertutup. Kita tidak dapat terus-menerus duduk dalam kebutaan kita.

 

Namun, kita harus ingat bahwa Tuhan lewat setiap hari. Tuhan selalu lewat dan berhenti sejenak untuk memperhatikan kebutaan kita. Kita harus bertanya pada diri kita, "Apakah aku mendengar Dia lewat? Apakah aku memiliki kemampuan untuk mendengar langkah kaki Tuhan? Apakah aku memiliki kemampuan untuk melakukan pembedaan roh ketika Tuhan lewat?" Ada baiknya jika Sinode mendesak kita sebagai Gereja untuk menjadi seperti Bartimeus: sebuah komunitas murid yang, mendengar bahwa Tuhan lewat, merasakan sukacita keselamatan, membiarkan diri kita dibangkitkan oleh kuasa Injil, dan berseru kepada-Nya. Gereja melakukan ini ketika ia menanggapi seruan segenap manusia di dunia, seruan orang-orang yang ingin menemukan sukacita Injil, dan orang-orang yang telah berpaling; seruan hening dari orang-orang yang acuh tak acuh; seruan orang-orang yang menderita, orang-orang miskin dan terpinggirkan, anak-anak yang diperbudak untuk bekerja di begitu banyak bagian dunia; suara terbata-bata dari orang-orang yang tidak lagi memiliki kekuatan untuk berseru kepada Allah, baik karena mereka tidak memiliki suara atau karena mereka putus asa. Kita tidak memerlukan Gereja yang tidak banyak bergerak dan mengalah, tetapi Gereja yang mendengar seruan dunia – saya ingin mengatakan hal ini meskipun beberapa orang mungkin merasa tersinggung – Gereja yang mendapati tangannya kotor dalam pelayanan.

 

Maka, kita sampai pada aspek kedua. Injil memberitahu kita bahwa jika pada awalnya Bartimeus duduk, pada akhirnya kita melihatnya mengikuti Yesus di sepanjang jalan. Ini adalah ungkapan khas Injil, yang berarti bahwa ia telah menjadi murid Tuhan dan telah mengikuti jejak langkah-Nya. Ketika pengemis itu berseru kepada-Nya, Yesus berhenti dan memanggilnya. Bartimeus, dari tempatnya duduk, melompat berdiri dan segera setelah itu penglihatannya pulih. Sekarang ia dapat melihat Tuhan; ia dapat mengenali tindakan Allah dalam hidupnya dan akhirnya berangkat untuk mengikuti-Nya. Marilah kita melakukan hal yang sama. Setiap kali kita duduk diam, ketika sebagai Gereja kita tidak dapat menemukan kekuatan, keberanian atau keteguhan hati untuk bangkit dan melanjutkan perjalanan, marilah kita selalu ingat untuk kembali kepada Tuhan dan Injil-Nya. Kita selalu perlu kembali kepada Tuhan dan Injil. Ketika Ia lewat berulang kali, kita perlu mendengarkan panggilan-Nya sehingga kita dapat bangkit kembali dan Ia dapat menyembuhkan kebutaan kita; dan kemudian kita dapat mengikuti-Nya sekali lagi, dan berjalan bersama-Nya di sepanjang jalan.

 

Saya ingin menegaskan kembali bahwa Injil mengatakan tentang Bartimeus bahwa ia “mengikuti Yesus dalam perjalanan-Nya”. Ini adalah gambaran Gereja sinodal. Tuhan sedang memanggil kita, mengangkat kita ketika kita terduduk atau terjatuh, memulihkan penglihatan kita sehingga kita dapat memahami kecemasan dan penderitaan dunia dalam terang Injil. Dan ketika Tuhan menegakkan kita kembali, kita mengalami sukacita mengikuti-Nya dalam perjalanan-Nya. Kita mengikuti Tuhan di sepanjang jalan, kita tidak mengikuti-Nya dalam kenyamanan kita atau kita tidak mengikuti-Nya dalam labirin pikiran kita. Kita mengikuti-Nya hanya di sepanjang jalan. Marilah kita ingat untuk tidak pernah berjalan sendiri atau menurut kriteria duniawi, tetapi berjalan bersama-Nya.

 

Saudara-saudari, bukan Gereja yang hanya duduk, tetapi Gereja yang berdiri. Bukan Gereja yang diam, tetapi Gereja yang merangkul seruan umat manusia. Bukan Gereja yang buta, tetapi Gereja yang diterangi oleh Kristus, yang membawa terang Injil kepada orang lain. Bukan Gereja yang statis, tetapi Gereja misioner yang berjalan bersama Tuhannya melalui jalan-jalan dunia.

 

Hari ini, saat kita bersyukur kepada Tuhan atas perjalanan yang telah kita lalui bersama, kita akan dapat melihat dan menghormati relikui Kursi Santo Petrus kuno yang telah dipugar dengan hati-hati. Saat kita merenungkannya dengan keheranan iman, marilah kita ingat bahwa kursi tersebut adalah Kursi kasih, persatuan, dan belas kasih, sesuai dengan perintah Yesus kepada Rasul Petrus untuk tidak memerintah orang lain, tetapi melayani mereka dalam kasih. Dan, saat kita mengagumi Bernini Baldachin yang megah, lebih agung dari sebelumnya, kita dapat menemukan kembali bahwa kursi itu membingkai titik fokus sejati seluruh basilika, yaitu kemuliaan Roh Kudus. Inilah Gereja sinodal: sebuah komunitas yang keutamaannya terletak pada karunia Roh, yang menjadikan kita semua saudara dan saudari di dalam Kristus dan mengangkat kita kepada-Nya.


Saudara-saudari, oleh karena itu, marilah kita melanjutkan perjalanan kita bersama dengan keyakinan. Hari ini, sabda Allah berbicara kepada kita, seperti kepada Bartimeus: “Teguhkan hatimu, berdirilah, Ia memanggil engkau”. Apakah aku merasa terpanggil? Apakah aku merasa lemah dan tidak dapat berdiri? Apakah aku meminta pertolongan? Marilah kita singkirkan jubah kepasrahan; marilah kita percayakan kebutaan kita kepada Tuhan; marilah kita berdiri sekali lagi dan membawa sukacita Injil melalui jalan-jalan dunia.
______

(Peter Suriadi - Bogor, 27 Oktober 2024)

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.