Bacaan
Ekaristi : 1Sam. 26:2,7-9,12-13,22-23; Mzm. 103:1-2,3-4,8,10,12-13; 1Kor.
15:45-49; Luk. 6:27-38.
Pesan
bacaan hari ini dapat dirangkum dalam satu kata: "kemurahan hati".
Kata tersebut pasti kamu sayangi sebagai diakon, yang berkumpul di sini untuk
perayaan Yubileum. Jadi, marilah kita merenungkan tiga aspek khusus dari
dimensi dasariah kehidupan kristiani ini secara umum dan pelayananmu secara
khusus: pengampunan, pelayanan tanpa pamrih, dan persekutuan.
Pertama:
pengampunan. Pewartaan pengampunan adalah bagian penting dari pelayananmu
sebagai diakon. Sesungguhnya pengampunan adalah unsur yang tak terpisahkan dari
setiap panggilan gerejawi dan persyaratan setiap hubungan manusia. Yesus
menunjukkan perlunya dan pentingnya hal itu ketika Ia berkata, "Kasihilah
musuh-musuhmu" (Luk 6:27). Hal ini tentu saja benar: jika kita ingin
bertumbuh bersama dan saling ambil bagian dalam kekuatan dan kelemahan,
pencapaian dan kegagalan, kita harus mampu mengampuni dan memohon pengampunan,
membangun kembali hubungan dan bahkan memilih untuk tidak menahan kasih kita
terhadap mereka yang menyakiti atau mengkhianati kita. Dunia yang tidak
merasakan apa pun kecuali kebencian terhadap musuh-musuhnya adalah dunia tanpa
harapan dan masa depan, yang ditakdirkan untuk peperangan, perpecahan, dan
dendam yang tak berkesudahan. Sayangnya, inilah yang kita saksikan hari ini, di
berbagai tingkatan dan di seluruh belahan dunia. Pengampunan berarti
mempersiapkan masa depan yang ramah dan aman bagi kita dan komunitas kita. Para
diakon, yang secara pribadi ditugasi dengan pelayanan yang membawa mereka ke pinggiran
dunia kita, berkomitmen untuk melihat – dan mengajar orang lain untuk melihat –
dalam diri setiap orang, bahkan dalam diri mereka yang berbuat salah kepada
kita dan menyebabkan kita menderita, saudara-saudari yang terluka, dan
karenanya lebih membutuhkan rekonsiliasi, bimbingan, dan bantuan daripada siapa
pun.
Bacaan
pertama hari ini berbicara tentang keterbukaan hati ini, yang menghadirkan
kepada kita kasih setia Daud yang tanpa pamrih terhadap Saul, raja sekaligus
penganiayanya (bdk. 1 Sam 26:2, 7-9, 12-13, 22-23). Kita kembali melihat hal
ini dalam kematian keteladanan diakon Stefanus, yang mengampuni orang-orang
yang melemparinya dengan batu (bdk. Kis 7:60). Terutama, kita menemukannya
diteladankan dalam diri Yesus, model seluruh diakonia, yang, dengan
"mengosongkan" diri-Nya sendiri hingga menyerahkan nyawa-Nya bagi
kita di kayu salib (bdk. Flp 2:7), mendoakan mereka yang menyalibkan-Nya dan
membuka gerbang Firdaus bagi penjahat yang baik (bdk. Luk 23:34, 43).
Ini
membawa kita pada poin kedua: pelayanan tanpa pamrih. Tuhan menggambarkannya
dalam Injil dengan kata-kata yang sederhana dan jelas: "Berbuatlah baik
kepada mereka dan pinjamkan tanpa mengharapkan balasan apa pun" (Luk
6:35). Sebuah frasa yang singkat, tetapi membangkitkan keindahan persahabatan.
Pertama, persahabatan Allah dengan kita, tetapi juga persahabatan kita sendiri.
Bagi kamu sebagai diakon, pelayanan tanpa pamrih bukanlah aspek sekunder
kegiatanmu, tetapi dimensi penting keberadaanmu. Sesungguhnya, melalui
pelayanan-Mu, kamu mengabdikan diri untuk menjadi "pemahat" dan
"pelukis" wajah Bapa yang penuh belas kasihan, dan saksi misteri
Allah Tritunggal.
Dalam
banyak bagian Injil, Yesus berbicara tentang diri-Nya dalam terang ini. Ia
melakukannya dengan Filipus, di Ruang Atas, ketika, tak lama setelah membasuh
kaki kedua belas Rasul, Ia berkata, "Siapa yang telah melihat Aku, ia
telah melihat Bapa" (Yoh 14:9). Dan kembali, ketika Ia menetapkan
Ekaristi, Ia berkata, "Aku ada di tengah-tengah kamu sebagai pelayan"
(Luk 22:27). Namun, bahkan sebelumnya, dalam perjalanan ke Yerusalem, ketika
para murid-Nya memperdebatkan di antara mereka tentang siapa yang terbesar, Ia
telah menjelaskan bahwa "Anak Manusia datang bukan untuk dilayani,
melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi
banyak orang" (bdk. Mrk 10:45).
Saudara-saudara
diakon, pekerjaan "tanpa pamrih" yang kamu lakukan sebagai ungkapan
pengabdianmu kepada amal kasih Kristus dengan demikian menjadi pewartaan
utamamu akan sabda Allah, sumber keyakinan dan sukacita bagi mereka yang
berjumpa denganmu. Sesering mungkin, laksanakanlah dengan senyuman, tanpa
mengeluh dan tanpa mencari pengakuan, saling mendukung, juga dalam hubunganmu
dengan para uskup dan imam, “sebagai ungkapan Gereja yang berkomitmen untuk
bertumbuh dalam pelayanan Kerajaan Allah dengan menghargai semua tingkatan
pelayanan kaum tertahbis” (Konferensi Wali Gereja Italia, Diakon Tetap dalam
Gereja di Italia. Pedoman dan Norma, 1993, 55). Melalui kerja sama dan
kemurahan hatimu, kamu akan menjadi jembatan yang menghubungkan altar dengan
jalanan dan Ekaristi dengan kehidupan sehari-hari umat. Amal kasih akan menjadi
liturgimu yang paling indah dan liturgi akan menjadi pelayananmu yang paling
sederhana.
Sekarang,
kita sampai pada pokok terakhir: kemurahan hati sebagai sumber persekutuan.
Memberi dan tidak mengharapkan imbalan apa pun mempersatukan; menciptakan
ikatan karena mengungkapkan dan membina kebersamaan yang tidak memiliki tujuan
lain selain pemberian diri dan kebaikan sesama. Santo Laurensius, pelindungmu,
ketika diminta oleh para pendakwanya untuk menyerahkan harta Gereja,
memperlihatkan orang-orang miskin kepada mereka dan berkata, "Ini adalah
harta kami!" Begitulah persekutuan dibangun: dengan memberitahu
saudara-saudarimu melalui perkataanmu tetapi terutama melalui perbuatanmu, baik
secara individu maupun sebagai sebuah komunitas: "Kamu penting bagi
kami;" "Kami mengasihimu;" "Kami ingin kamu menjadi bagian
dari perjalanan dan kehidupan kami." Inilah tepatnya yang kamu lakukan. Kamu
yang tidak menjadi diakon tetap melakukannya sebagai suami, ayah, dan
kakek-nenek yang, melalui pelayananmu, memilih untuk memperluas keluargamu
mencakup orang-orang yang membutuhkan di semua tempat di mana pun kamu tinggal.
Para diakon terkasih, perutusanmu memisahkanmu dari masyarakat hanya untuk
kemudian dibenamkan kembali di dalamnya agar masyarakat dapat menjadi tempat
yang semakin terbuka dan ramah bagi semua orang. Itulah salah satu ungkapan
terbaik Gereja sinodal, Gereja yang “bergerak maju.”
Segera,
beberapa dari kamu, dengan menerima sakramen tahbisan suci, akan “menuruni”
langkah-langkah pelayanan. Saya sengaja mengatakan “turun,” dan bukan “naik,”
karena ditahbiskan bukanlah pendakian, melainkan penurunan, yang dengannya kita
membuat diri kita kecil. Kita merendahkan dan menanggalkan diri. Dalam
kata-kata Santo Paulus, melalui pelayanan, kita meninggalkan “manusia duniawi,”
dan mengenakan, dalam kasih, “manusia surgawi” (lihat 1 Kor 15:45-49).
Marilah
kita semua merenungkan apa yang akan kita lakukan, bahkan saat kita
mempercayakan diri kita kepada Perawan Maria, hamba Tuhan, dan kepada Santo
Laurensius, pelindungmu. Semoga mereka membantu kita untuk mengalami setiap
ungkapan pelayanan kita dengan rendah hati dan penuh kasih, dan menjadi, dengan
"tanpa pamrih," rasul pengampunan, hamba yang tidak mementingkan diri
sendiri demi saudara-saudari kita, dan pembangun persekutuan.
______
(Peter Suriadi - Bogor, 23 Februari 2025)
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.