Bacaan
Ekaristi : Rm. 12:5-16a; Mzm. 131:1,2,3; Luk. 14:15-24.
Dalam
homilinya pada Misa harian Selasa pagi, 5 November 2019, di Casa Santa Marta,
Vatikan, Paus Fransiskus berkaca Bacaan Injil hari itu (Luk. 14:15-24). Beliau
mengajak kita untuk bertanya apakah kita menerima undangan perjamuan Tuhan,
atau tetap tertutup dalam diri kita sendiri.
Dalam
Bacaan Injil tersebut, Yesus menceritakan perumpamaan tentang seorang yang akan
mengadakan perjamuan besar. Tetapi para tamunya mengajukan berbagai alasan dan
menolak ajakannya. Sebaliknya, orang itu menyuruh hamba-hambanya untuk
memanggil orang-orang miskin dan orang-orang cacat untuk memenuhi rumahnya dan
menikmati keramahtamahannya.
Mengulas
Bacaan Injil ini, Paus Fransiskus mengatakan kisah ini merangkum sejarah
keselamatan dan menggambarkan perilaku banyak umat kristiani.
"Makan
malam, perjamuan tersebut, melambangkan surga, keabadian bersama Tuhan",
jelas Paus Fransiskus. Kamu tidak pernah tahu siapa yang mungkin kamu temui
saat makan malam; kamu bertemu orang-orang baru; kamu juga menemukan
orang-orang yang mungkin tidak ingin kamu lihat; tetapi suasana perjamuan itu
adalah penuh sukacita dan mewah. Karena perjamuan yang sesungguhnya harus
diberikan secara cuma-cuma, lanjut Paus Fransiskus. "Allah kita selalu
mengundang kita dengan cara ini, Ia tidak membuat kita membayar bea masuk. Pada
perayaan-perayaan yang ada, kamu tidak membayar untuk masuk : tuan rumah yang
membayar, orang yang mengundangmu yang membayar". Tetapi ada orang-orang
yang mengutamakan kepentingan mereka menghadapi undangan yang diberikan secara
cuma-cuma tersebut.
Menghadapi
kelimpahan itu, universalitas perjamuan itu, ada sikap yang menghalangi hati :
"Aku tidak sudi pergi. Aku lebih suka menyendiri, dengan orang-orang yang
kusuka, tertutup". Dan hal ini adalah dosa; dosa orang-orang Israel, dosa
kita semua. Ketertutupan. "Tidak, hal ini lebih penting bagiku daripada
hal itu. Tidak, kepentinganku". Senantiasa kepentinganku.
Penolakan
ini, lanjut Paus Fransiskus, juga merupakan tanda penghinaan terhadap orang
yang mengundang kita : penolakan ini bagaikan mengatakan kepada Tuhan :
"Jangan ganggu aku dengan perayaan-Mu". Penolakan tersebut searti
dengan menutup diri kita "terhadap apa yang ditawarkan Tuhan kepada kita:
sukacita berjumpa dengan-Nya".
Dan
kita akan dihadapkan dengan pilihan ini, opsi ini, berkali-kali sepanjang
perjalanan hidup : entah kemewahan Tuhan, sedang pergi mengunjungi Tuhan,
berjumpa Tuhan, atau menutup diri dalam urusanku sendiri, kepentinganku
sendiri. Itulah sebabnya Tuhan, berbicara tentang satu cara menjadi tertutup,
mengatakan sangat sulit bagi orang kaya untuk memasuki kerajaan surga. Tetapi
ada orang kaya yang baik, orang-orang kudus, yang tidak terikat pada kekayaan.
Tetapi kebanyakan dari mereka terikat pada kekayaan, mereka tertutup. Dan itu
sebabnya mereka tidak bisa mengerti apa perayaan itu. Tetapi mereka memiliki
jaminan dari hal-hal yang dapat mereka jamah.
Reaksi
Tuhan terhadap penolakan kita adalah tegas : Ia ingin segala macam orang
dipanggil ke perjamuan itu, dibawa ke sana, bahkan dipaksa untuk datang, orang
baik dan jahat. "Semua orang diundang. Semua orang. Tidak ada yang bisa
mengatakan, 'Aku jahat, aku tidak bisa ...'. Tidak. Tuhan sedang menunggumu
secara istimewa karena kamu jahat". Paus Fransiskus mengingat tanggapan
sang ayah kepada anak laki-lakinya yang hilang kembali ke rumah : sang anak
mulai berkata-kata, tetapi sang ayah menghentikannya dan memeluknya.
"Itulah cara Tuhan", kata Paus Fransiskus, "Ia adalah
kemewahan".
Beralih
ke Bacaan Pertama (Rm. 12:5-16a) di mana Rasul Paulus memperingatkan terhadap
kemunafikan, Paus Fransiskus mengutip tanggapan Yesus terhadap orang-orang
Yahudi yang menolak-Nya karena mereka menyakini diri mereka benar : "Aku
berkata kepadamu, sesungguhnya pemungut-pemungut cukai dan perempuan-perempuan
sundal akan mendahului kamu masuk ke dalam Kerajaan Allah". Tuhan
mengasihi orang-orang yang paling terlantar, kata Paus Fransiskus, tetapi Ia
memanggil kita. Namun, berhadapan dengan ketertutupan kita, Ia menjaga jarak
dan menjadi marah, seperti yang kita dengar dalam Bacaan Injil. Paus Fransiskus
mengakhiri homilinya.
Marilah
kita memikirkan perumpamaan ini yang dikatakan Tuhan kepada kita hari ini.
Bagaimana kehidupan kita berjalan? Apa yang lebih kusukai? Apakah aku selalu
menerima undangan Tuhan atau menutup diri demi kepentinganku, dalam
kesederhanaanku? Dan marilah kita mohon rahmat kepada Tuhan agar selalu
menerima untuk pergi ke perjamuan-Nya, yang bersifat cuma-cuma.
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.