(dibacakan oleh Uskup Agung Mgr. Rino
Fisichella. Paus Fransiskus tidak memimpin Misa karena masih dalam tahap
pemulihan pascaoperasi usus)
Bacaan Ekaristi : 2Raj. 4:42-44; Mzm.
145:10-11,15-16,17-18; Ef. 4:1-6; Yoh. 6:1-15.
Saat ia duduk untuk mengajar, Yesus
“memandang sekeliling-Nya dan melihat, bahwa orang banyak berbondong-bondong
datang kepada-Nya, berkatalah Ia kepada Filipus: 'Di manakah kita akan membeli
roti, supaya mereka ini dapat makan?'" (Yoh 6:5). Yesus tidak hanya
mengajar orang banyak; Ia juga waspada terhadap kelaparan yang hadir dalam
hidup mereka. Sebagai tanggapan, Ia memberi mereka makan dengan lima roti jelai
dan dua ikan yang disediakan oleh seorang anak muda yang berada di dekatnya.
Setelah itu, karena masih ada sisa roti, ia menyuruh murid-murid-Nya untuk
mengumpulkan potongan-potongan itu, “supaya tidak ada yang terbuang" (ayat
12).
Pada hari yang dikhususkan untuk
kakek-nenek dan lansia ini, marilah kita merenungkan tiga momen tersebut :
Yesus melihat orang banyak kelaparan; Yesus membagi-bagikan roti; Yesus meminta
agar sisa makanan dikumpulkan. Tiga momen yang dapat dirangkum dalam tiga kata
kerja : melihat, berbagi, melanggengkan.
Melihat. Di awal kisahnya, penginjil
Yohanes menunjukkan bahwa Yesus memandang sekeliling-Nya dan melihat orang
banyak yang lapar setelah melakukan perjalanan jauh untuk menemui-Nya.
Begitulah mukjizat dimulai : dengan tatapan Yesus, yang tidak acuh tak acuh dan
tidak terlalu sibuk untuk merasakan kelaparan yang dirasakan oleh umat manusia
yang lelah. Yesus peduli terhadap kita; Ia mengkhawatirkan kita; Ia ingin
memuaskan rasa lapar kita akan kehidupan, cinta, dan kebahagiaan. Di mata-Nya,
kita melihat cara Allah sendiri dalam melihat segala sesuatu. Tatapan-Nya penuh
kepedulian; Ia peka terhadap kita dan terhadap harapan yang kita simpan di
dalam hati kita. Tatapan-Nya mengenali keletihan kita dan harapan yang membuat
kita terus maju. Ia memahami kebutuhan setiap orang. Karena di mata Allah,
tidak ada orang banyak tanpa nama, hanya pribadi-pribadi dengan rasa lapar dan
haus mereka. Tatapan Yesus bersifat kontemplatif. Ia melihat ke dalam hidup
kita; Ia melihat dan memahami.
Kakek-nenek dan lansia kita telah
melihat kehidupan kita dengan tatapan yang sama. Begitulah cara mereka peduli
terhadap kita, sejak kita masih kanak-kanak. Meskipun hidup dengan kerja keras
dan pengorbanan, mereka tidak pernah terlalu sibuk terhadap kita, atau acuh tak
acuh terhadap kita. Mereka memandang kita dengan penuh kepedulian dan kasih
yang lembut. Ketika kita sedang bertumbuh dewasa dan merasa disalahpahami atau
takut akan tantangan hidup, mereka mengawasi kita; mereka tahu apa yang kita
rasakan, air mata kita yang tersembunyi dan mimpi rahasia kita. Mereka memeluk
kita dan memangku kita. Cinta itu membantu kita bertumbuh dewasa.
Dan bagaimana dengan kita? Bagaimana
kita melihat kakek-nenek dan lansia kita? Kapan terakhir kali kita mengunjungi
atau menelepon seorang lansia untuk menunjukkan kedekatan kita dan mengambil
manfaat dari apa yang mereka katakan kepada kita? Saya khawatir ketika saya
melihat masyarakat yang penuh dengan orang-orang yang bergerak terus-menerus,
terlalu sibuk dengan urusan mereka sendiri sehingga tidak punya waktu untuk
melirik, menyapa, atau berpelukan. Saya mengkhawatir masyarakat di mana pribadi
hanyalah bagian dari orang banyak tanpa nama, di mana kita tidak bisa lagi
saling melihat dan mengenali. Kakek-nenek kita, yang memelihara hidup kita,
sekarang lapar akan perhatian kita dan cinta kita; mereka merindukan kedekatan
kita. Marilah kita memandang sekeliling kita dan melihat mereka, sama seperti
Yesus melihat kita.
Berbagi. Melihat orang-orang
kelaparan, Yesus ingin memberi mereka makan. Namun hal ini hanya terjadi berkat
seorang anak muda yang menawarkan lima roti jelai dan dua ikan. Betapa
menyentuh, bahwa di pokok mukjizat ini, yang dengannya sekitar lima ribu orang
dewasa diberi makan, kita menemukan seorang anak muda yang mau berbagi apa yang
ia miliki.
Dewasa ini, kita membutuhkan
perjanjian baru antara kaum tua dan kaum muda. Kita perlu berbagi harta
kehidupan, bermimpi bersama, mengatasi pertikaian antargenerasi dan
mempersiapkan masa depan bagi semua orang. Tanpa berbagi kehidupan, impian, dan
masa depan seperti itu, kita beresiko mati kelaparan, karena hubungan yang
rusak, kesepian, keegoisan, dan kekuatan peluruhan secara bertahap meningkat.
Dalam masyarakat kita, kita sering kali menyerah pada gagasan "setiap
orang untuk dirinya sendiri". Tetapi hal ini mematikan! Injil meminta kita
untuk berbagi diri kita apa adanya dan apa yang kita miliki, karena hanya
dengan cara ini kita akan menemukan penggenapan. Saya telah sering menyebutkan
kata-kata nabi Yoel tentang pertemuan kaum tua dan kaum muda (bdk. Yl 3:1).
Kaum muda, sebagai nabi masa depan, yang menghargai sejarah mereka. Kaum tua,
yang terus bermimpi dan berbagi pengalaman dengan kaum muda, tanpa menghalangi
jalan mereka. Tua dan muda, kekayaan tradisi dan kesegaran Roh. Tua dan muda
bersama-sama. Dalam masyarakat dan dalam Gereja, bersama-sama.
Melanggengkan. Setelah orang banyak
makan, Injil menceritakan bahwa banyak roti yang tersisa. Maka Yesus berkata
kepada para murid : “Kumpulkanlah potongan-potongan yang lebih supaya tidak ada
yang terbuang" (Yoh 6:12). Hal ini mengungkapkan hati Allah : Ia tidak
hanya memberi kita lebih dari yang kita butuhkan, Ia juga peduli bahwa tidak
ada satupun yang hilang, bahkan sepotong pun. Sepotong roti mungkin tampak
kecil, tetapi di mata Allah, tidak ada satupun yang dimaksudkan untuk dibuang.
Terlebih lagi, tidak ada orang yang pernah dibuang. Kita perlu membuat
panggilan kenabian ini terdengar di antara kita dan di dunia kita :
mengumpulkan, melanggengkan dengan kepedulian, melindungi. Kakek-nenek dan
lansia bukanlah sisa-sisa kehidupan, sisa-sisa untuk dibuang. Mereka adalah
potongan-potongan roti berharga yang tersisa di atas meja kehidupan yang masih
dapat menyehatkan kita dengan keharuman yang telah kita hilangkan, “aroma
ingatan”.
Jangan sampai kita kehilangan ingatan
yang dilanggengkan oleh kaum tua, karena kita adalah anak-anak dari sejarah
itu, dan tanpa akar, kita akan layu. Mereka melindungi kita saat kita tumbuh,
dan sekarang terserah kita untuk melindungi hidup mereka, meringankan kesulitan
mereka, memenuhi kebutuhan mereka dan memastikan bahwa mereka dibantu dalam
kehidupan sehari-hari dan tidak merasa sendirian. Marilah kita bertanya pada
diri sendiri : “Apakah aku telah mengunjungi kakek-nenekku, kerabatku yang
sudah lanjut usia, orang-orang tua di lingkunganku? Sudahkah aku mendengarkan
mereka? Sudahkah aku menghabiskan waktu bersama mereka?” Marilah kita
melindungi mereka, sehingga tidak ada kehidupan dan impian mereka yang hilang.
Semoga kita tidak pernah menyesali bahwa kita tidak cukup memperhatikan mereka
yang mencintai kita dan memberi kita kehidupan.
Saudara-saudara, kakek-nenek dan lansia adalah roti yang memelihara hidup kita. Kita berterima kasih kepada mereka untuk mata yang waspada yang merawat kita, lengan yang menopang kita dan lutut tempat kita duduk. Karena tangan yang memegang dan mengangkat kita, karena permainan yang mereka mainkan bersama kita dan karena kenyamanan belaian mereka. Tolong, jangan biarkan kita melupakan mereka. Marilah kita membuat perjanjian dengan mereka. Marilah kita belajar untuk mendekati mereka, mendengarkan mereka dan tidak pernah membuang mereka. Marilah kita menghargai mereka dan menghabiskan waktu bersama mereka. Kita akan menjadi yang lebih baik untuk itu. Dan, bersama-sama, baik tua maupun muda, kita akan menemukan kepuasan di meja berbagi, diberkati oleh Allah.
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.