Bacaan Ekaristi : Kis. 2:1-11; Mzm. 104:1ab,24ac,29c-30,31,34; Rm. 8:8-17; Yoh. 14:15-16,23-26.
Saudara-saudari
terkasih,
“Hari
telah menyingsing atas kita ketika..., dimuliakan melalui kenaikan-Nya ke surga
setelah kebangkitan-Nya, Tuhan Yesus Kristus mengutus Roh Kudus” (Santo
Agustinus, Khotbah 271, 1). Hari ini juga, apa yang terjadi di Ruang Atas
terjadi lagi di tengah-tengah kita. Seperti tiupan angin keras yang menerjang
kita, seperti benturan yang mengejutkan kita, seperti api yang menerangi kita,
karunia Roh Kudus turun atas kita (lihat Kis 2:1-11).
Sebagaimana
kita dengar dalam Bacaan Pertama, Roh Kudus melakukan sesuatu yang luar biasa
dalam kehidupan para Rasul. Setelah kematian Yesus, mereka telah menarik diri
di balik pintu-pintu yang tertutup, dalam ketakutan dan kesedihan. Sekarang
mereka menerima cara baru dalam melihat berbagai hal, suatu pemahaman batin
yang membantu mereka menafsirkan berbagai peristiwa yang terjadi dan mengalami
secara intim kehadiran Tuhan yang bangkit. Roh Kudus mengatasi ketakutan
mereka, menghancurkan belenggu batin mereka, menyembuhkan luka-luka mereka,
mengurapi mereka dengan kekuatan serta memberi mereka keberanian untuk pergi
kepada semua orang dan mewartakan karya Allah yang maha dahsyat.
Bacaan
dari Kisah Para Rasul memberitahu kita bahwa di Yerusalem pada waktu itu ada
banyak orang dari berbagai latar belakang, namun “mereka masing-masing mendengar
orang-orang percaya itu berbicara dalam bahasa mereka sendiri” (ayat 6).
Singkatnya, pada hari Pentakosta, pintu-pintu Ruang Atas terbuka karena Roh
Kudus membuka batas-batas. Sebagaimana dijelaskan Benediktus XVI: “Roh Kudus
menganugerahkan pengertian. Roh Kudus mengatasi ‘pelanggaran’ yang dimulai di
Babel, kebingungan pikiran dan hati yang membuat kita saling bertentangan. Roh
Kudus membuka batas-batas... Gereja harus selalu menjadi seperti apa adanya.
Gereja harus membuka batas-batas antara bangsa-bangsa dan meruntuhkan
penghalang di antara kelas dan ras. Dalam Gereja, tidak boleh ada orang-orang
yang diabaikan atau diremehkan. Dalam Gereja hanya ada orang-orang yang bebas,
saudara-saudari Yesus Kristus” (Homili Misa Hari Raya Pentakosta, 15 Mei 2005).
Di
sini kita memiliki gambaran yang mengesankan tentang Pentakosta, gambaran yang
ingin saya renungkan sejenak bersamamu.
Roh
Kudus membuka batas-batas, pertama-tama, di dalam hati kita. Ia adalah Karunia
yang membuka hidup kita terhadap kasih. Kehadiran-Nya menghancurkan kerasnya
hati, sempitnya pikiran, keegoisan kita, ketakutan yang membelenggu kita dan
narsisme yang membuat kita hanya memikirkan diri kita sendiri. Roh Kudus datang
menantang kita, membuat kita menghadapi kemungkinan bahwa hidup kita sedang
menyusut, terperangkap dalam pusaran individualisme. Sayangnya, anehnya, di
dunia media "sosial" yang sedang berkembang pesat, kita berisiko
semakin sendirian. Terus-menerus terhubung, tetapi tidak mampu
"berjejaring". Selalu tenggelam dalam kerumunan orang banyak, tetapi
menjadi pengembara yang bingung dan menyendiri.
Roh
Kudus memungkinkan kita menemukan cara baru dalam menjalani dan mengalami
kehidupan. Ia menghubungkan kita dengan diri kita yang terdalam, di balik semua
topeng yang kita kenakan. Ia menuntun kita untuk berjumpa Tuhan dengan mengajar
kita untuk mengalami sukacita yang merupakan karunia-Nya. Ia meyakinkan kita,
seperti yang baru saja kita dengar dalam sabda Yesus, bahwa hanya dengan
tinggal dalam kasih, kita akan menerima kekuatan untuk tetap setia pada
sabda-Nya dan membiarkannya mengubah diri kita. Roh Kudus membuka batas-batas
batin kita, sehingga kehidupan kita dapat menjadi tempat yang menyenangkan dan
menyegarkan.
Roh
Kudus juga membuka batas-batas dalam hubungan kita dengan sesama. Yesus
memberitahu kita bahwa Sang Karunia ini adalah kasih antara diri-Nya dan Bapa
yang datang untuk tinggal di dalam diri kita. Kita kemudian menjadi mampu
membuka hati terhadap saudara-saudari kita, mengatasi kekakuan kita, melampaui
rasa takut kita terhadap mereka yang berbeda, dan menguasai hasrat yang
menggelora di dalam diri kita. Roh Kudus juga mengubah berbagai bahaya yang
lebih dalam dan tersembunyi yang mengganggu hubungan kita, seperti kecurigaan,
prasangka, atau keinginan untuk memanipulasi sesama kita. Saya juga berpikir,
dengan penderitaan yang mendalam, tentang kasus-kasus di mana hubungan ditandai
oleh keinginan yang tidak sehat untuk menguasai, suatu sikap yang sering
mengarah pada kekerasan, sebagaimana ditunjukkan, secara tragis, oleh banyak
kasus pembunuhan terhadap perempuan baru-baru ini.
Roh
Kudus, di sisi lain, menghasilkan buah-buah yang memampukan kita untuk
menumbuhkan hubungan yang baik dan sehat dalam diri kita: “kasih, sukacita,
damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan,
penguasaan diri” (Gal 5:22). Dengan cara ini, Roh memperluas batas-batas
hubungan kita dan membuka kita pada sukacita persaudaraan. Ini juga merupakan
tolok ukur yang penting bagi Gereja. Karena kita sungguh Gereja Tuhan yang
bangkit dan murid-murid Pentakosta jika tidak ada batas atau perpecahan di
antara kita; jika kita mampu berdialog dan saling menerima di dalam Gereja, dan
mendamaikan keberagaman kita; dan jika, sebagai Gereja, kita menjadi tempat
yang ramah dan bersahabat bagi semua orang.
Akhirnya,
Roh Kudus juga membuka batas-batas di antara bangsa-bangsa. Pada hari
Pentakosta, para Rasul berbicara dalam bahasa-bahasa orang-orang yang mereka
temui, dan kekacauan di Babel akhirnya terselesaikan oleh keselarasan yang
ditimbulkan oleh Roh Kudus. Setiap kali "nafas" Allah menyatukan hati
kita dan membuat kita memandang sesama kita sebagai saudara-saudari kita,
perbedaan tidak lagi menjadi kesempatan untuk perpecahan dan pertikaian,
melainkan warisan bersama yang dapat kita ambil manfaatnya, dan menempatkan
kita semua dalam perjalanan bersama, dalam persaudaraan.
Roh
Kudus merobohkan penghalang serta meruntuhkan tembok ketidakpedulian dan
kebencian karena Ia “mengajarkan segala sesuatu kepada kita” dan “mengingatkan
kita akan semua perkataan Yesus” (lihat Yoh 14:26). Ia mengajarkan kita,
mengingatkan kita, dan menulis di dalam hati kita terlebih dahulu perintah
kasih yang telah dijadikan Tuhan pusat dan puncak segala sesuatu. Di mana ada
kasih, tidak ada ruang untuk prasangka, zona “keamanan” yang memisahkan kita
dari sesama, pola pikir eksklusif yang, sayangnya, kini kita lihat juga muncul
dalam nasionalisme politik.
Pada
Hari Raya Pentakosta, Paus Fransiskus mencermati, “Di dunia kita saat ini, ada
begitu banyak perselisihan, perpecahan yang begitu besar. Kita semua
‘terhubung’, tetapi mendapati diri kita terputus satu sama lain, dibius oleh
ketidakpedulian dan diliputi oleh kesunyian” (Homili, 28 Mei 2023). Perang yang
melanda dunia kita adalah tanda tragis dari hal ini. Marilah kita memohon Roh
kasih dan perdamaian, agar Ia sudi membuka batas-batas, meruntuhkan berbagai
tembok, menyingkirkan kebencian dan membantu kita untuk hidup sebagai anak-anak
dari satu Bapa kita yang ada di surga.
Saudara-saudari,
Pentakosta memperbarui Gereja dan dunia! Semoga tiupan angin Roh keras datang
atas kita dan di dalam diri kita, membuka batas-batas hati kita,
menganugerahkan kita rahmat perjumpaan dengan Allah, memperluas cakrawala kasih
kita dan menopang upaya kita untuk membangun dunia di mana perdamaian berkuasa.
Semoga
Santa Maria, Perempuan Pentakosta, Perawan yang dikunjungi Roh, Bunda yang
penuh rahmat, menyertai kita dan menjadi perantara kita.
______
(Peter Suriadi - Bogor, 8 Juni 2025)
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.