Liturgical Calendar

HOMILI PAUS LEO XIV DALAM MISA HARI RAYA PENTAKOSTA 8 Juni 2025

Bacaan Ekaristi : Kis. 2:1-11; Mzm. 104:1ab,24ac,29c-30,31,34; Rm. 8:8-17; Yoh. 14:15-16,23-26.

 

Saudara-saudari terkasih,

 

“Hari telah menyingsing atas kita ketika..., dimuliakan melalui kenaikan-Nya ke surga setelah kebangkitan-Nya, Tuhan Yesus Kristus mengutus Roh Kudus” (Santo Agustinus, Khotbah 271, 1). Hari ini juga, apa yang terjadi di Ruang Atas terjadi lagi di tengah-tengah kita. Seperti tiupan angin keras yang menerjang kita, seperti benturan yang mengejutkan kita, seperti api yang menerangi kita, karunia Roh Kudus turun atas kita (lihat Kis 2:1-11).

 

Sebagaimana kita dengar dalam Bacaan Pertama, Roh Kudus melakukan sesuatu yang luar biasa dalam kehidupan para Rasul. Setelah kematian Yesus, mereka telah menarik diri di balik pintu-pintu yang tertutup, dalam ketakutan dan kesedihan. Sekarang mereka menerima cara baru dalam melihat berbagai hal, suatu pemahaman batin yang membantu mereka menafsirkan berbagai peristiwa yang terjadi dan mengalami secara intim kehadiran Tuhan yang bangkit. Roh Kudus mengatasi ketakutan mereka, menghancurkan belenggu batin mereka, menyembuhkan luka-luka mereka, mengurapi mereka dengan kekuatan serta memberi mereka keberanian untuk pergi kepada semua orang dan mewartakan karya Allah yang maha dahsyat.

 

Bacaan dari Kisah Para Rasul memberitahu kita bahwa di Yerusalem pada waktu itu ada banyak orang dari berbagai latar belakang, namun “mereka masing-masing mendengar orang-orang percaya itu berbicara dalam bahasa mereka sendiri” (ayat 6). Singkatnya, pada hari Pentakosta, pintu-pintu Ruang Atas terbuka karena Roh Kudus membuka batas-batas. Sebagaimana dijelaskan Benediktus XVI: “Roh Kudus menganugerahkan pengertian. Roh Kudus mengatasi ‘pelanggaran’ yang dimulai di Babel, kebingungan pikiran dan hati yang membuat kita saling bertentangan. Roh Kudus membuka batas-batas... Gereja harus selalu menjadi seperti apa adanya. Gereja harus membuka batas-batas antara bangsa-bangsa dan meruntuhkan penghalang di antara kelas dan ras. Dalam Gereja, tidak boleh ada orang-orang yang diabaikan atau diremehkan. Dalam Gereja hanya ada orang-orang yang bebas, saudara-saudari Yesus Kristus” (Homili Misa Hari Raya Pentakosta, 15 Mei 2005).

 

Di sini kita memiliki gambaran yang mengesankan tentang Pentakosta, gambaran yang ingin saya renungkan sejenak bersamamu.

 

Roh Kudus membuka batas-batas, pertama-tama, di dalam hati kita. Ia adalah Karunia yang membuka hidup kita terhadap kasih. Kehadiran-Nya menghancurkan kerasnya hati, sempitnya pikiran, keegoisan kita, ketakutan yang membelenggu kita dan narsisme yang membuat kita hanya memikirkan diri kita sendiri. Roh Kudus datang menantang kita, membuat kita menghadapi kemungkinan bahwa hidup kita sedang menyusut, terperangkap dalam pusaran individualisme. Sayangnya, anehnya, di dunia media "sosial" yang sedang berkembang pesat, kita berisiko semakin sendirian. Terus-menerus terhubung, tetapi tidak mampu "berjejaring". Selalu tenggelam dalam kerumunan orang banyak, tetapi menjadi pengembara yang bingung dan menyendiri.

 

Roh Kudus memungkinkan kita menemukan cara baru dalam menjalani dan mengalami kehidupan. Ia menghubungkan kita dengan diri kita yang terdalam, di balik semua topeng yang kita kenakan. Ia menuntun kita untuk berjumpa Tuhan dengan mengajar kita untuk mengalami sukacita yang merupakan karunia-Nya. Ia meyakinkan kita, seperti yang baru saja kita dengar dalam sabda Yesus, bahwa hanya dengan tinggal dalam kasih, kita akan menerima kekuatan untuk tetap setia pada sabda-Nya dan membiarkannya mengubah diri kita. Roh Kudus membuka batas-batas batin kita, sehingga kehidupan kita dapat menjadi tempat yang menyenangkan dan menyegarkan.

 

Roh Kudus juga membuka batas-batas dalam hubungan kita dengan sesama. Yesus memberitahu kita bahwa Sang Karunia ini adalah kasih antara diri-Nya dan Bapa yang datang untuk tinggal di dalam diri kita. Kita kemudian menjadi mampu membuka hati terhadap saudara-saudari kita, mengatasi kekakuan kita, melampaui rasa takut kita terhadap mereka yang berbeda, dan menguasai hasrat yang menggelora di dalam diri kita. Roh Kudus juga mengubah berbagai bahaya yang lebih dalam dan tersembunyi yang mengganggu hubungan kita, seperti kecurigaan, prasangka, atau keinginan untuk memanipulasi sesama kita. Saya juga berpikir, dengan penderitaan yang mendalam, tentang kasus-kasus di mana hubungan ditandai oleh keinginan yang tidak sehat untuk menguasai, suatu sikap yang sering mengarah pada kekerasan, sebagaimana ditunjukkan, secara tragis, oleh banyak kasus pembunuhan terhadap perempuan baru-baru ini.

 

Roh Kudus, di sisi lain, menghasilkan buah-buah yang memampukan kita untuk menumbuhkan hubungan yang baik dan sehat dalam diri kita: “kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan, penguasaan diri” (Gal 5:22). Dengan cara ini, Roh memperluas batas-batas hubungan kita dan membuka kita pada sukacita persaudaraan. Ini juga merupakan tolok ukur yang penting bagi Gereja. Karena kita sungguh Gereja Tuhan yang bangkit dan murid-murid Pentakosta jika tidak ada batas atau perpecahan di antara kita; jika kita mampu berdialog dan saling menerima di dalam Gereja, dan mendamaikan keberagaman kita; dan jika, sebagai Gereja, kita menjadi tempat yang ramah dan bersahabat bagi semua orang.

 

Akhirnya, Roh Kudus juga membuka batas-batas di antara bangsa-bangsa. Pada hari Pentakosta, para Rasul berbicara dalam bahasa-bahasa orang-orang yang mereka temui, dan kekacauan di Babel akhirnya terselesaikan oleh keselarasan yang ditimbulkan oleh Roh Kudus. Setiap kali "nafas" Allah menyatukan hati kita dan membuat kita memandang sesama kita sebagai saudara-saudari kita, perbedaan tidak lagi menjadi kesempatan untuk perpecahan dan pertikaian, melainkan warisan bersama yang dapat kita ambil manfaatnya, dan menempatkan kita semua dalam perjalanan bersama, dalam persaudaraan.

 

Roh Kudus merobohkan penghalang serta meruntuhkan tembok ketidakpedulian dan kebencian karena Ia “mengajarkan segala sesuatu kepada kita” dan “mengingatkan kita akan semua perkataan Yesus” (lihat Yoh 14:26). Ia mengajarkan kita, mengingatkan kita, dan menulis di dalam hati kita terlebih dahulu perintah kasih yang telah dijadikan Tuhan pusat dan puncak segala sesuatu. Di mana ada kasih, tidak ada ruang untuk prasangka, zona “keamanan” yang memisahkan kita dari sesama, pola pikir eksklusif yang, sayangnya, kini kita lihat juga muncul dalam nasionalisme politik.

 

Pada Hari Raya Pentakosta, Paus Fransiskus mencermati, “Di dunia kita saat ini, ada begitu banyak perselisihan, perpecahan yang begitu besar. Kita semua ‘terhubung’, tetapi mendapati diri kita terputus satu sama lain, dibius oleh ketidakpedulian dan diliputi oleh kesunyian” (Homili, 28 Mei 2023). Perang yang melanda dunia kita adalah tanda tragis dari hal ini. Marilah kita memohon Roh kasih dan perdamaian, agar Ia sudi membuka batas-batas, meruntuhkan berbagai tembok, menyingkirkan kebencian dan membantu kita untuk hidup sebagai anak-anak dari satu Bapa kita yang ada di surga.

 

Saudara-saudari, Pentakosta memperbarui Gereja dan dunia! Semoga tiupan angin Roh keras datang atas kita dan di dalam diri kita, membuka batas-batas hati kita, menganugerahkan kita rahmat perjumpaan dengan Allah, memperluas cakrawala kasih kita dan menopang upaya kita untuk membangun dunia di mana perdamaian berkuasa.

 

Semoga Santa Maria, Perempuan Pentakosta, Perawan yang dikunjungi Roh, Bunda yang penuh rahmat, menyertai kita dan menjadi perantara kita.

______

(Peter Suriadi - Bogor, 8 Juni 2025)

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.