Liturgical Calendar

HOMILI PAUS LEO XIV DALAM MISA HARI RAYA SANTO PETRUS DAN SANTO PAULUS 29 Juni 2025

Bacaan Ekaristi : Kis. 12:1-11; Mzm. 34:2-3,4-5,6-7,8-9; 2Tim. 4:6-8,17-18; Mat. 16:13-19.


Saudara-saudari terkasih,

 

Hari ini kita merayakan dua saudara seiman, Petrus dan Paulus, yang kita hormati sebagai pilar Gereja dan junjung tinggi sebagai santo pelindung Keuskupan dan Kota Roma.


Kisah kedua Rasul ini menyampaikan banyak hal kepada kita, komunitas murid-murid Tuhan, saat kita menjalani perziarahan kita di dunia saat ini. Setelah merenungkannya, saya ingin menekankan dua aspek khusus iman mereka: persekutuan gerejawi dan vitalitas iman.

 

Pertama, persekutuan gerejawi. Liturgi hari ini mengingatkan kita bagaimana Petrus dan Paulus dipanggil untuk ambil bagian dalam nasib yang sama, yaitu kemartiran, yang secara definitif mempersatukan mereka dengan Kristus. Dalam Bacaan Pertama, kita melihat Petrus mendekam di dalam penjara sambil menanti keputusan pengadilan (bdk. Kis 12:1-11). Dalam Bacaan Kedua, Rasul Paulus, yang juga dirantai, memberitahu kita, dalam semacam wasiat terakhir, bahwa darahnya akan segera dicurahkan dan dipersembahkan kepada Allah (bdk. 2Tim 4:6-8,17-18). Petrus dan Paulus sama-sama siap mengorbankan nyawa mereka demi Injil.

 

Namun persekutuan kedua Rasul dalam satu pengakuan iman ini merupakan kesimpulan dari perjalanan panjang di mana masing-masing memeluk iman dan menjalani kerasulannya dengan caranya sendiri. Persaudaraan mereka dalam Roh tidak meniadakan perbedaan latar belakang mereka. Simon adalah seorang nelayan dari Galilea, sementara Saulus berpendidikan tinggi dan anggota kelompok Farisi. Petrus segera meninggalkan segalanya untuk mengikuti Tuhan, sementara Paulus menganiaya orang-orang kristiani sebelum perjumpaannya dengan Kristus yang bangkit mengubah hidupnya. Petrus berkhotbah terutama kepada orang-orang Yahudi, sedangkan Paulus terdorong untuk membawa Kabar Baik kepada orang-orang bukan Yahudi.

 

Sebagaimana kita ketahui, keduanya berselisih pendapat tentang cara yang tepat untuk menghadapi orang-orang bukan Yahudi yang bertobat, sedemikian rupa sehingga Paulus memberitahu kita bahwa, "ketika Kefas datang ke Antiokhia, aku terang-terangan menentangnya, sebab ia salah" (Gal 2:11). Dalam Konsili Yerusalem, kedua Rasul itu kembali memperdebatkan masalah tersebut.

 

Sahabat-sahabat terkasih, kisah Petrus dan Paulus menunjukkan kepada kita bahwa Tuhan memanggil kita untuk mengikuti persekutuan yang berupa kesesuaian antara ucapan dan kepribadian yang tidak meniadakan kebebasan siapa pun. Kedua santo pelindung kita mengikuti jalan yang berbeda, memiliki gagasan yang berbeda dan kadang-kadang saling berdebat dengan keterusterangan injili. Namun, ini tidak menghalangi mereka untuk menjalani concordia apostolorum, yaitu, persekutuan yang hidup dalam Roh, keselarasan yang berbuah dalam keberagaman. Sebagaimana dikatakan Santo Agustinus, “pesta kedua Rasul itu dirayakan pada satu hari. Keduanya juga satu. Karena meskipun keduanya menjadi martir pada hari yang berbeda, keduanya satu” (Khotbah 295, 7.7).

 

Semua ini mengajak kita untuk merenungkan hakikat persekutuan gerejawi. Dibangkitkan oleh inspirasi Roh Kudus, persekutuan itu menyatukan perbedaan dan membangun jembatan persatuan berkat kekayaan berragam karisma, karunia, dan pelayanan. Penting bagi kita untuk belajar mengalami persekutuan dengan cara ini — sebagai kesatuan dalam keberagaman — sehingga berbagai karunia, yang disatukan dalam satu pengakuan iman, dapat mengembangkan pewartaan Injil. Kita dipanggil untuk bertekun di sepanjang jalan ini, mengikuti teladan Petrus dan Paulus, karena kita semua membutuhkan persaudaraan semacam itu. Seluruh Gereja membutuhkan persaudaraan, yang harus hadir dalam semua hubungan kita, baik antara kaum awam dan para imam, para imam dan para uskup, para uskup dan Paus. Persaudaraan juga dibutuhkan dalam pelayanan pastoral, dialog ekumenis, dan hubungan persahabatan yang ingin dipertahankan Gereja dengan dunia. Oleh karena itu, marilah kita berupaya mengubah perbedaan kita menjadi tempat kerja persatuan dan persekutuan, persaudaraan dan rekonsiliasi, sehingga setiap orang dalam Gereja, masing-masing dengan sejarah pribadinya, dapat belajar untuk berjalan berdampingan.

 

Santo Petrus dan Santo Paulus juga menantang kita untuk berpikir tentang vitalitas iman kita. Dalam kehidupan kita sebagai murid, kita selalu dapat berisiko jatuh ke dalam kebiasaan, rutinitas, kecenderungan untuk mengikuti rencana pastoral lama yang sama tanpa mengalami pembaruan batin dan kemauan untuk menanggapi tantangan baru. Namun, kedua Rasul itu dapat menginspirasi kita melalui teladan keterbukaan mereka terhadap perubahan, terhadap peristiwa baru, perjumpaan, dan situasi nyata dalam kehidupan komunitas mereka, dan melalui kesiapan mereka untuk mempertimbangkan pendekatan baru terhadap penginjilan dalam menanggapi masalah dan kesulitan yang diajukan oleh saudara-saudari seiman kita.

 

Inti Bacaan Injil hari ini adalah pertanyaan yang diajukan Yesus kepada para murid-Nya. Hari ini, Ia mengajukan pertanyaan yang sama kepada kita, menantang kita untuk memeriksa apakah kehidupan iman kita tetap berenergi dan bersemangat, serta apakah api hubungan kita dengan Tuhan masih menyala terang: "Menurutmu, siapakah Aku ini?" (Mat 16:15).

 

Setiap hari, di setiap momen dalam sejarah, kita harus selalu mengingat pertanyaan ini. Jika kita ingin menjaga jatidiri kita sebagai orang kristiani agar tidak terpuruk menjadi peninggalan masa lalu, sebagaimana sering diingatkan Paus Fransiskus, melangkah maju melampaui iman yang lelah dan stagnan penting. Kita perlu bertanya pada diri sendiri: Siapakah Yesus Kristus bagi kita saat ini? Di mana tempat yang ditempati-Nya dalam kehidupan kita dan dalam kehidupan Gereja? Bagaimana kita dapat memberi kesaksian tentang pengharapan ini dalam kehidupan kita sehari-hari dan mewartakannya kepada orang-orang yang kita jumpai?

 

Saudara-saudari, penerapan pembedaan roh yang lahir dari pertanyaan-pertanyaan ini dapat memampukan iman kita dan iman Gereja untuk terus diperbarui dan menemukan jalan-jalan baru serta pendekatan-pendekatan baru untuk mewartakan Injil. Hal ini, bersama dengan persekutuan, harus menjadi keinginan kita yang terbesar. Hari ini saya ingin berbicara kepada Gereja di Roma khususnya, karena Gereja terutama dipanggil untuk menjadi tanda kesatuan dan persekutuan, Gereja yang berapi-api dengan iman yang hidup, komunitas para murid yang memberi kesaksian tentang sukacita dan penghiburan Injil di mana pun mereka berada.

 

Seraya kehidupan Santo Petrus dan Santo Paulus mengajak kita untuk mengembangkan sukacita persekutuan, saya menyapa saudara-saudara para uskup agung yang hari ini menerima pallium. Saudara-saudara terkasih, tanda tanggung jawab pastoral yang dipercayakan kepadamu ini juga mengungkapkan persekutuanmu dengan Uskup Roma, sehingga dalam kesatuan iman Katolik, kamu masing-masing dapat membangun persekutuan itu dalam Gereja-gereja lokalmu.

 

Saya juga ingin menyapa para anggota Sinode Gereja Katolik Yunani Ukraina. Saya berterima kasih atas kehadiranmu di sini dan atas semangat pastoralmu. Semoga Tuhan menganugerahkan kedamaian bagi umatmu!

 

Dan dengan rasa syukur yang mendalam, saya menyapa Delegasi Patriarkat Ekumenis, yang diutus ke sini oleh saudara saya terkasih, Yang Mulia Bartolomeus.

 

Saudara-saudari terkasih, dikuatkan oleh kesaksian rasul kudus Petrus dan Paulus, marilah kita berjalan bersama dalam iman dan persekutuan serta memohon pengantaraan mereka bagi diri kita sendiri, kota Roma, Gereja, dan seluruh dunia.

______

(Peter Suriadi - Bogor, 29 Juni 2025)

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.