Titus
Brandsma - Lazzaro, detto Devasahayam - César de Bus - Luigi Maria Palazzolo -
Giustino Maria Russolillo - Charles de Foucauld - Maria Rivier - Maria
Francesca di Gesù Rubatto - Maria di Gesù Santocanale - Maria Domenica
Mantovani
Bacaan
Ekaristi : Kis. 14:21b-27; Mzm.145:8-9,10-11,12-13ab; Why. 21:1-5a; Yoh.
13:31-33a,34-35.
Kita
telah mendengar apa yang diucapkan Yesus kepada murid-murid-Nya sebelum
meninggalkan dunia ini dan kembali kepada Bapa. Ia memberitahu kita apa artinya
menjadi umat Kristiani : “Sama seperti Aku telah mengasihi kamu demikian pula
kamu harus saling mengasihi” (Yoh 13:34). Inilah harta pusaka yang diwariskan
Kristus kepada kita, kriteria utama untuk membedakan apakah kita benar-benar
murid-Nya atau tidak. Perintah kasih. Marilah kita berhenti untuk menelaah dua
unsur hakiki perintah ini : kasih Yesus bagi kita – “sama seperti Aku telah
mengasihi kamu” – dan kasih yang Ia minta untuk kita tunjukkan kepada sesama –
“demikian pula kamu harus saling mengasihi”.
Pertama,
kata-kata “sama seperti Aku telah mengasihi kamu”. Bagaimana Yesus mengasihi
kita? Hingga kesudahan, hingga pemberian diri seutuhnya. Sangatlah mengejutkan
memikirkan bahwa Ia mengucapkan kata-kata ini pada malam kegelapan itu, ketika
di Ruang Atas bersuasana emosi dan kecemasan yang mendalam : emosi yang
mendalam, karena Sang Guru hendak mengucapkan selamat tinggal kepada
murid-murid-Nya; kecemasan karena Ia telah berucap bahwa salah seorang dari
mereka akan mengkhianati-Nya. Kita dapat membayangkan kesedihan yang memenuhi
hati Yesus, awan gelap yang sedang berkumpul di hati para rasul, dan kepahitan
mereka melihat Yudas yang, setelah menerima sepotong roti yang dicelupkan
untuknya oleh Sang Guru, meninggalkan ruangan untuk masuk ke dalam malam
pengkhianatan. Tetapi pada saat pengkhianatan terhadap-Nya, Yesus menegaskan
kembali kasih-Nya untuk para murid-Nya. Karena di tengah kegelapan dan prahara
kehidupan, itulah hal yang terpenting : Allah mengasihi kita.
Saudara-saudari,
semoga pesan ini menjadi inti iman kita dan seluruh cara kita mengungkapkannya
: “...: bukan kita yang telah mengasihi Allah, tetapi Allah yang telah
mengasihi kita” (1 Yoh 4:10). Jangan pernah kita melupakan hal ini. Kemampuan
dan pamrih kita bukanlah hal yang utama, melainkan kasih Allah yang tanpa
syarat, bebas dan tanpa pamrih. Hidup Kristiani kita tidak dimulai dengan
ajaran dan perbuatan baik, tetapi dengan keheranan yang lahir dari kesadaran
bahwa kita dikasihi, sebelum ada tanggapan dari pihak kita. Sementara dunia
sering berusaha meyakinkan kita bahwa kita dihargai hanya berkat apa yang dapat
kita hasilkan, Injil mengingatkan kita akan kebenaran hidup yang sebenarnya :
kita dikasihi. Seorang penulis rohani masa kini mengatakannya sebagai berikut :
“Jauh sebelum manusia manapun melihat kita, kita telah dilihat oleh mata kasih
Allah. Jauh sebelum ada yang mendengar kita menangis atau tertawa, kita sudah
didengar oleh Allah kita, yang menjadi telinga kita semua. Jauh sebelum ada
orang yang berbicara kepada kita di dunia ini, kita sudah diajak bicara oleh
suara kasih abadi” (H. Nouwen, Kehidupan Pribadi Yang Dikasihi). Ia
mengasihi kita terlebih dulu; Ia menanti kita; Ia tetap mengasihi kita. Inilah
jatidiri kita: kita adalah orang-orang yang dikasihi Allah. Inilah kekuatan
kita : kita dikasihi Allah.
Mengakui
kebenaran ini membutuhkan pertobatan dalam cara yang sering kita pikirkan
tentang kekudusan. Kadang-kadang, dengan terlalu menekankan upaya kita untuk
melakukan pekerjaan baik, kita telah menciptakan cita-cita kekudusan secara
berlebihan berdasarkan pada diri kita sendiri, kepahlawanan pribadi kita,
kemampuan kita untuk meninggalkan keduniawian, kesiapan kita untuk mengorbankan
diri guna mencapai pamrih. Hal ini kadang-kadang tampak sebagai cara memandang
kehidupan dan kekudusan yang terlalu “pelagian”. Kita telah mengubah kekudusan
menjadi tujuan yang tidak dapat dicapai. Kita telah memisahkannya dari
kehidupan sehari-hari, alih-alih mengusahakan dan merangkulnya dalam rutinitas
kita sehari-hari, di dalam debu jalanan, dalam pencobaan kehidupan nyata dan,
dalam kata-kata Teresa dari Avila kepada para biarawatinya, “di antara panci
dan wajan". Menjadi murid Yesus dan berkembang di jalan kekudusan berarti
pertama-tama dan terutama memperkenankan diri kita diubah rupa oleh kuasa kasih
Allah. Janganlah kita pernah melupakan keutamaan Allah atas diri, keutamaan Roh
atas daging, rahmat atas perbuatan. Karena terkadang kita lebih mementingkan
diri sendiri, daging dan perbuatan. Tidak, keutamaan Allah di atas diri, Roh di
atas daging, rahmat di atas perbuatan.
Kasih
yang kita terima dari Tuhan adalah kekuatan yang mengubah rupa hidup kita.
Kasih itu membuka hati kita dan memungkinkan kita untuk mengasihi. Karena
alasan ini, Yesus berkata – inilah unsur kedua – “sama seperti Aku telah
mengasihi kamu demikian pula kamu harus saling mengasihi”. Kata “sama seperti”
tersebut bukan sekadar ajakan untuk meneladan kasih Yesus; kata tersebut
memberitahu kita bahwa kita dapat mengasihi hanya karena Ia telah mengasihi
kita, karena Ia mencurahkan ke dalam hati kita Roh-Nya, Roh kekudusan, kasih
yang menyembuhkan dan mengubah rupa. Hasilnya, kita dapat membuat keputusan dan
menunjukkan karya kasih dalam setiap situasi dan kepada setiap saudara dan
saudari yang kita temui, karena kita dikasihi dan memiliki kekuatan untuk
mengasihi. Sama seperti aku dikasihi, demikian pula aku hendaknya mengasihi
sesama. Kasih yang kuberikan dipersatukan dengan kasih Yesus untukku. “Sama
seperti” Ia mengasihiku, demikian pula aku hendaknya mengasihi sesama. Hidup
Kristiani sesederhana itu. Jangan menjadikannya semakin rumit dengan begitu
banyak hal. Sesederhana itu.
Dalam
pelaksanaannya, apa artinya menghayati kasih ini? Sebelum memberikan perintah
ini kepada kita, Yesus telah membasuh kaki para murid; kemudian, setelah
memberikannya, ia menyerahkan diri-Nya pada kayu salib. Mengasihi berarti hal
ini : melayani dan memberikan hidup kita. Melayani, yaitu, tidak mengutamakan
kepentingan kita : membersihkan sistem kita dari racun keserakahan dan
persaingan; menentang kanker ketidakpedulian dan cacing acuan diri; berbagi
karisma dan karunia yang telah diberikan Allah kepada kita. Secara khusus, kita
harus bertanya pada diri kita sendiri, “Apa yang kuperbuat untuk sesama?”
Itulah apa artinya mengasihi, menjalani kehidupan kita sehari-hari dalam
semangat pelayanan, dengan kasih yang sederhana dan tanpa mencari pamrih apa
pun.
Kemudian,
memberikan hidup kita. Ini lebih dari sekadar menawarkan sesuatu dari milik
kita kepada sesama; ini tentang memberi mereka diri kita sendiri. Saya suka
bertanya kepada orang-orang yang meminta nasihat saya apakah mereka memberi
sedekah. Dan jika mereka melakukannya, apakah mereka menyentuh tangan penerima
atau hanya, secara suci hama, melempar sedekah. Orang-orang itu biasanya
tersipu dan mengatakan tidak. Dan saya bertanya apakah, dalam memberi sedekah,
mereka menatap mata orang tersebut, atau memandang ke arah lain. Mereka
mengatakan tidak. Menyentuh dan melihat, menyentuh dan memandang daging Kristus
yang menderita di dalam saudara-saudari kita. Ini sangat penting; berkenaan
dengan apa artinya memberikan kehidupan kita.
Kekudusan
tidak berupa beberapa perilaku heroik, tetapi berupa banyak perbuatan kecil
kasih sehari-hari. “Apakah kamu seorang anggota hidup bakti? Kamu begitu banyak
di sini hari ini! Jadilah kudus dengan menghayati persembahan dirimu dengan
sukacita. Apakah kamu menikah? Jadilah kudus dengan mengasihi dan memperhatikan
suami atau istrimu, sebagaimana Kristus lakukan kepada Gereja-Nya. Apakah kamu
seorang pekerja? Jadilah
kudus dengan melakukan pekerjaanmu dengan kejujuran dan kemampuan untuk
melayani sesama. Apakah kamu orangtua atau kakek-nenek? Jadilah kudus dengan
mengajarkan dengan sabar anak atau cucu untuk mengikuti Yesus. Katakan
kepadaku, apakah kamu sedang memiliki kekuasaan? Begitu banyak orang yang
sedang memiliki kekuasaan di sini hari ini! Jadilah kudus dengan berjuang demi
kesejahteraan bersama dan melepaskan kepentingan pribadi” (Gaudete et
Exsultate, 14). Inilah jalan kekudusan, dan sangat sederhana! Melihat Yesus
senantiasa dalam diri sesama.
Melayani
Injil dan saudara-saudari kita, menawarkan hidup kita tanpa mengharapkan pamrih
apa pun, kemuliaan duniawi apa pun : inilah rahasianya dan merupakan panggilan
kita. Begitulah cara rekan-rekan peziarah kita yang dikanonisasi hari ini
menghayati kekudusan mereka. Dengan antusias menyambut panggilan mereka –
sebagai imam, sebagai biarawati, sebagai awam – mereka mengabdikan hidup mereka
untuk Injil. Mereka menemukan sukacita yang tak tertandingi dan mereka menjadi
cermin cemerlang dari Sang Empunya sejarah. Untuk itulah para kudus : cermin
bercahaya dari Sang Empunya sejarah. Semoga kita berusaha untuk melakukan hal
yang sama. Jalan kekudusan tidak terhalang; jalan kekudusan bersifat universal
dan dimulai dengan Pembaptisan. Marilah kita berusaha keras untuk mengikutinya,
karena kita masing-masing dipanggil menuju kekudusan, menuju bentuk kekudusan
kita semua. Kekudusan selalu “asli”, seperti yang biasa dikatakan Beato Carlo
Cutis : kekudusan bukan fotokopi, tetapi “asli”, kekudusanku, kekudusanmu,
kekudusan kita semua. Kekudusan kita unik. Sungguh, Tuhan memiliki rencana
kasih bagi setiap orang. Ia memiliki impian untuk hidupmu, untuk hidupku, untuk
hidup kita masing-masing. Apa lagi yang bisa saya katakan? Kejarlah impian itu
dengan sukacita.
_____
(Peter Suriadi - Bogor, 15 Mei 2022)
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.