Bacaan Ekaristi : Yes. 8:23b-9:3; Mzm. 27:1,4,13-14; 1Kor. 1:10-13,17; Mat. 4:12-23.
Yesus meninggalkan kehidupan Nazaret yang tenang dan tersembunyi serta pindah
ke Kapernaum, sebuah kota pelabuhan yang terletak di sepanjang Danau Galilea,
di persimpangan berbagai bangsa dan budaya. Kemendesakan yang mendorong-Nya
adalah pewartaan Sabda Allah, yang harus disampaikan kepada setiap orang.
Memang, kita melihat dalam Injil bahwa Tuhan mengundang semua orang untuk
bertobat dan memanggil para murid pertama agar mereka juga dapat menyebarkan
terang Sabda Allah kepada orang lain (bdk. Mat 4:12-23). Marilah kita
menghargai dinamisme ini, yang akan membantu kita menghayati Hari Minggu Sabda
Allah : Sabda Allah adalah untuk semua orang, Sabda Allah memanggil setiap
orang untuk bertobat, Sabda Allah menjadikan kita para pewarta.
Sabda
Allah adalah untuk semua orang. Bacaan Injil menyajikan kepada kita Yesus yang
selalu bergerak, dalam perjalanan-Nya kepada orang lain. Tidak pernah dalam
kehidupan publik-Nya Ia memberi kita gagasan bahwa Ia adalah seorang guru yang
tidak bergerak, seorang guru besar yang duduk di kursi; sebaliknya, kita
melihat-Nya sebagai seorang pengembara, kita melihat-Nya sebagai seorang
peziarah, bepergian melalui kota dan desa, menjumpai wajah-wajah dan kisah
mereka. Kaki-Nya adalah kaki utusan yang mewartakan kabar baik tentang kasih
Allah (bdk. Yes 52:7-8). Di Galilea, wilayah bangsa-bangsa lain, di jalur laut,
di seberang sungai Yordan, di mana Yesus berkhotbah, ada – catatan teks –
bangsa yang diam dalam kegelapan : orang-orang asing, para penyembah berhala,
manusia dari berbagai daerah dan budaya (bdk. Mat 4: 15-16). Kini mereka juga
bisa melihat terang. Maka Yesus “memperbesar batas” : Sabda Allah, yang
menyembuhkan dan membangkitkan, tidak hanya diperuntukkan bagi orang benar
Israel, tetapi untuk semua orang; dia ingin menjangkau mereka yang jauh, Ia
ingin menyembuhkan orang-orang sakit, Ia ingin menyelamatkan para pendosa, Ia
ingin mengumpulkan domba-domba yang hilang dan mengangkat orang-orang yang
hatinya lelah dan tertindas. Singkatnya, Yesus 'menjangkau' untuk memberitahu
kita bahwa belas kasihan Allah adalah untuk semua orang. Janganlah kita
melupakan hal ini : belas kasihan Allah adalah untuk semua orang, untuk kita
masing-masing. Setiap orang bisa berkata, “belas kasihan Allah untukku”.
Aspek
ini juga dasariah bagi kita. Aspek ini mengingatkan kita bahwa Sabda Allah
adalah karunia yang ditujukan kepada setiap orang; oleh karena itu kita tidak
pernah dapat membatasi ranah tindakannya, karena di luar semua perhitungan
kita, Sabda Allah muncul secara spontan, tidak terduga dan tidak dapat
diprediksi (bdk. Mrk 4:26-28), dengan cara dan waktu yang diketahui oleh Roh
Kudus. Terlebih lagi, jika keselamatan ditakdirkan untuk semua orang, bahkan
orang yang paling jauh dan hilang, maka pewartaan Sabda Allah harus menjadi
prioritas utama komunitas gerejawi, seperti halnya Yesus. Semoga tidak terjadi kita
mengakui Allah dengan hati yang luas, namun menjadi Gereja dengan hati yang
tertutup – hal ini, saya berani katakan, akan menjadi kutukan; semoga tidak
terjadi kita mengkhotbahkan keselamatan untuk semua orang, namun menjadikan
cara untuk menerimanya menjadi tidak praktis; semoga tidak terjadi kita
menyadari bahwa kita dipanggil untuk mewartakan Kerajaan, namun mengabaikan
Sabda Allah, kehilangan diri kita dalam begitu banyak kegiatan atau diskusi
sekunder. Marilah kita belajar dari Yesus untuk menempatkan Sabda Allah sebagai
pusat, memperluas batasan kita, membuka diri kita terhadap orang lain, dan
mengembangkan pengalaman perjumpaan dengan Tuhan, menyadari bahwa Sabda Allah
“tidak terbungkus dalam rumusan abstrak atau statis, tetapi memiliki kekuatan dinamis
dalam sejarah yang berupa orang-orang dan peristiwa-peristiwa, perkataan dan
perbuatan, perkembangan dan ketegangan”.[1]
Sekarang
marilah kita sampai pada aspek kedua : Sabda Allah, yang ditujukan kepada semua
orang, mengajak semua orang untuk bertobat. Nyatanya, Yesus mengulangi dalam
khotbah-Nya : “"Bertobatlah, sebab Kerajaan Sorga sudah dekat!” (Mat
4:17). Ini berarti kedekatan dengan Allah bukanlah hal yang remeh,
kehadiran-Nya tidak meninggalkan segala sesuatu sebagaimana adanya, tidak menganjurkan
kehidupan yang tenang. Sebaliknya, Sabda-Nya mengguncang kita, mengganggu kita,
mendorong kita untuk berubah, untuk bertobat. Sabda-Nya melemparkan kita ke
dalam krisis karena Sabda-Nya “hidup dan kuat dan lebih tajam dari pada pedang
bermata dua mana pun; ia menusuk amat dalam sampai memisahkan jiwa dan roh,
sendi-sendi dan sumsum; ia sanggup membedakan pertimbangan dan pikiran hati
kita” (Ibr 4:12). Seperti pedang, Sabda Allah menembus kehidupan, memampukan
kita melakukan pembedaan roh terhadap perasaan dan pikiran hati, yaitu, membuat
kita melihat di mana terang kebaikan harus diberi ruang dan di mana,
sebaliknya, kegelapan pekat kejahatan dan dosa harus ditentang. Saat memasuki
diri kita, Sabda Allah mengubah hati dan pikiran kita; sabda Allah mengubah
diri kita dan menuntun kita untuk mengarahkan hidup kita kepada Tuhan.
Inilah
undangan Yesus : Allah telah datang dekat denganmu; kenali kehadiran-Nya,
berikan ruang untuk sabda-Nya, dan kamu akan mengubah pandangan hidupmu. Saya
juga bisa mengatakannya seperti ini : letakkan hidupmu di bawah sabda Allah.
Inilah jalan yang ditunjukkan Gereja kepada kita. Kita semua, bahkan para gembala
Gereja, berada di bawah otoritas sabda Allah. Bukan karena selera,
kecenderungan dan kecenderungan kita, tetapi di bawah satu Sabda Allah yang
membentuk kita, mempertobatkan kita dan memanggil kita untuk dipersatukan dalam
satu Gereja Kristus. Jadi, saudara-saudari, kita bisa bertanya pada diri kita sendiri
: Ke mana arah hidupku, dari mana pedomannya? Dari banyak “perkataan” yang kudengar,
dari ideologi, atau dari sabda Allah yang menuntun dan menyucikan diriku? Apa
saja aspek dalam diriku yang membutuhkan perubahan dan pertobatan?
Akhirnya
– langkah ketiga – Sabda Allah, yang ditujukan kepada semua orang dan memanggil
kita untuk bertobat, menjadikan kita pewarta. Memang, Yesus berjalan di
sepanjang pantai Danau Galilea dan memanggil Simon dan Andreas, dua bersaudara
yang adalah nelayan. Dengan Sabda-Nya Ia mengundang mereka untuk mengikuti-Nya,
memberitahu mereka bahwa Ia akan menjadikan mereka "penjala manusia"
(Mat. 4:19) : tidak lagi hanya mahir dalam urusan perahu, jala dan ikan, tetapi
mahir dalam mencari sesama. Dan sama seperti dalam berlayar dan menangkap ikan
mereka telah belajar untuk meninggalkan pantai dan menebarkan jala ke tempat
yang dalam, dengan cara yang sama mereka akan menjadi rasul yang mampu berlayar
di laut lepas dunia, pergi keluar untuk berjumpa saudara-saudari mereka dan
mewartakan sukacita Injil. Inilah dinamisme Sabda Allah : Sabda Allah menarik
kita ke dalam “jaring” kasih Bapa dan menjadikan kita para rasul yang digerakkan
oleh keinginan yang tak terpadamkan untuk membawa semua orang yang kita jumpai
ke dalam perahu Kerajaan Allah. Ini bukan penyebaran agama karena sabda Allahlah
yang memanggil kita, bukan perkataan kita sendiri.
Hari
ini marilah kita juga mendengar ajakan untuk menjadi penjala manusia : marilah
kita merasa bahwa kita dipanggil oleh Yesus secara pribadi untuk mewartakan
Sabda-Nya, memberikan kesaksian tentangnya dalam kehidupan sehari-hari,
menghayatinya dalam keadilan dan amal kasih, dipanggil untuk “mendagingkannya”
dengan merawat orang-orang yang menderita dengan lembut. Inilah perutusan kita
: menjadi pencari orang yang tersesat, tertindas dan putus asa, bukan untuk
membawakan mereka diri kita, tetapi penghiburan Sabda Allah, pewartaan Allah
yang mengganggu yang mengubah rupa kehidupan, membawa sukacita memahami Ia
adalah Bapa kita yang menyapa kita masing-masing, membawa keindahan dengan
mengatakan, “Saudara, saudari, Allah telah datang dekat denganmu, dengarkanlah
dan kamu akan menemukan dalam sabda-Nya karunia yang menakjubkan!”.
Saudara-saudari,
saya ingin mengakhiri dengan berterima kasih semata kepada mereka yang bekerja
untuk memastikan bahwa Sabda Allah dibagikan, diwartakan dan ditempatkan di
pusat kehidupan kita. Terima kasih kepada mereka yang mempelajari dan mendalami
kekayaan Sabda Allah. Terima kasih kepada para pekerja pastoral dan kepada
semua umat Kristiani yang terlibat dalam karya memperdengarkan dan menyebarkan
Sabda Allah, terutama para lektor dan katekis. Hari ini saya akan
menganugerahkan pelayanan ini kepada beberapa dari kamu. Terima kasih kepada
mereka yang telah menerima banyak undangan yang telah saya buat untuk membawa
Injil ke mana-mana dan membacanya setiap hari. Dan akhirnya, saya secara khusus
berterima kasih kepada para diakon dan imam kita. Terima kasih saudara-saudara
terkasih, karena kamu tidak membiarkan umat Allah yang kudus kehilangan
santapan sabda Allah. Terima kasih telah berkomitmen untuk merenungkannya,
mengamalkannya, dan mewartakannya. Terima kasih atas jasa dan pengorbananmu.
Kiranya sukacita manisnya pewartaan Sabda keselamatan menjadi penghiburan dan
ganjaran bagi kita semua.
(Peter Suriadi - Bogor, 22 Januari 2023)
[1]Sabda Allah dalam
Kehidupan dan Perutusan Gereja, Sarana Kerja untuk Sidang Umum Biasa Sinode
Para Uskup XII, 2008, no. 10.
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.