Bacaan Ekaristi : Kis 4:8-12; 1Ptr 5:1-5,10-11; Yoh 21:15-19.
Saudara-saudara
para kardinal, saudara-saudara para uskup dan para imam yang terkasih, para
pemimpin dan anggota korps diplomatik yang terhormat, dan mereka yang hadir di
sini untuk merayakan Yubileum Persaudaraan Religius, saudara-saudari:
Saya
menyapa kamu semua dengan hati yang penuh rasa syukur di awal pelayanan yang
telah dipercayakan kepada saya. Santo Agustinus menulis: “Tuhan, Engkau telah
menciptakan kami untuk diri-Mu, dan hati kami gelisah sampai ia beristirahat di
dalam diri-Mu” (Pengakuan-pengakuan, I:1,1).
Pada
hari-hari ini, kita telah mengalami emosi yang kuat. Meninggalnya Paus
Fransiskus memenuhi hati kita dengan kesedihan. Pada saat-saat sulit itu, kita
merasa seperti orang banyak yang menurut Injil “seperti domba yang tidak
mempunyai gembala” (Mat 9:36). Namun pada Hari Minggu Paskah, kita menerima
berkat terakhirnya dan, dalam terang kebangkitan, kita mengalami hari-hari
berikutnya dengan keyakinan bahwa Tuhan tidak pernah meninggalkan umat-Nya,
tetapi mengumpulkan mereka ketika mereka tercerai-berai dan menjaga mereka
“seperti gembala terhadap kawanan dombanya” (Yer 31:10).
Dalam
semangat iman ini, Dewan Kardinal mengadakan konklaf. Berasal dari latar
belakang dan pengalaman yang berbeda, kami menyerahkan keinginan kami untuk
memilih Penerus Petrus yang baru, Uskup Roma, ke dalam tangan Allah, seorang
gembala yang mampu melestarikan warisan iman kristiani yang kaya dan, pada saat
yang sama, memandang ke masa depan, untuk menghadapi pertanyaan, keprihatinan,
dan tantangan dunia saat ini.
Diiringi
doa-doamu, kami dapat merasakan karya Roh Kudus, yang mampu membawa kami ke
dalam keselarasan, seperti alat musik, sehingga hati kami dapat bergetar dalam
satu melodi. Saya dipilih, tanpa jasa apa pun dari diri saya, dan sekarang,
dengan takut dan gentar, saya datang kepadamu sebagai seorang saudara, yang
ingin menjadi hamba iman dan sukacitamu, berjalan bersamamu di jalan kasih
Allah, karena Ia ingin kita semua bersatu dalam satu keluarga.
Kasih
dan persatuan: inilah dua dimensi misi yang dipercayakan Yesus kepada Petrus.
Kita melihat hal ini dalam Bacaan Injil hari ini, yang membawa kita ke Danau
Galilea, tempat Yesus memulai misi yang diterima-Nya dari Bapa: menjadi
"penjala" manusia untuk menariknya keluar dari air kejahatan dan
kematian. Sambil berjalan di sepanjang pantai, Ia memanggil Petrus dan
murid-murid pertama lainnya untuk menjadi, seperti Dia, "penjala
manusia".
Sekarang,
setelah kebangkitan, terserah kepada mereka untuk meneruskan misi ini,
menebarkan jala mereka lagi dan lagi, membawa harapan Injil ke dalam
"perairan" dunia, mengarungi lautan kehidupan sehingga semua orang
dapat mengalami pelukan Allah.
Bagaimana
Petrus dapat melaksanakan tugas ini? Bacaan Injil memberitahu kita bahwa hal
itu mungkin hanya karena hidupnya tersentuh oleh kasih Allah yang tak terbatas
dan tanpa syarat, bahkan di saat kegagalan dan penyangkalannya. Karena alasan
ini, ketika Yesus menyapa Petrus, Bacaan Injil menggunakan kata kerja Yunani
agapáo, yang merujuk pada kasih Allah kepada kita, pada persembahan diri-Nya
yang tanpa syarat dan tanpa perhitungan. Sedangkan kata kerja yang digunakan
dalam tanggapan Petrus menggambarkan kasih persahabatan kita satu sama lain.
Oleh
karena itu, ketika Yesus bertanya kepada Petrus, “Simon, anak Yohanes, apakah
engkau mengasihi Aku lebih daripada mereka ini?” (Yoh 21:15), ia mengacu kepada
kasih Bapa. Seolah-olah Yesus berkata kepadanya, “Hanya jika engkau telah
mengenal dan mengalami kasih Allah ini, yang tidak pernah gagal, engkau akan
dapat menggembalakan domba-domba-Ku. Hanya dalam kasih Allah Bapa engkau akan
dapat mengasihi saudara-saudarimu dengan ‘lebih’ yang sama, yaitu dengan
mempersembahkan hidupmu bagi saudara-saudarimu.”
Dengan
demikian, Petrus dipercayakan dengan tugas untuk "lebih mengasihi"
dan menyerahkan hidupnya bagi kawanan domba. Pelayanan Petrus dibedakan justru
oleh kasih yang rela berkurban ini, karena Gereja Roma memimpin dalam kasih dan
otoritasnya yang sejati adalah kasih Kristus. Ini bukan perihal menangkap orang
lain dengan paksa, dengan propaganda agama atau dengan sarana kekuasaan.
Sebaliknya, selalu dan hanya perihal mengasihi seperti yang dilakukan Yesus.
Rasul
Petrus sendiri mengatakan kepada kita bahwa Yesus “adalah batu yang dibuang
oleh tukang-tukang bangunan - yaitu kamu sendiri - namun Ia telah menjadi batu
penjuru” (Kis 4:11). Lebih jauh lagi, jika batu karang itu adalah Kristus,
Petrus harus menggembalakan kawanan domba tanpa pernah menyerah pada godaan
untuk menjadi seorang otokrat, memerintah atas mereka yang dipercayakan
kepadanya (lih. 1Ptr 5:3). Sebaliknya, ia dipanggil untuk melayani iman
saudara-saudarinya, dan berjalan bersama mereka, karena kita semua adalah “batu
hidup” (1Ptr 2:5), dipanggil melalui baptisan kita untuk membangun rumah Allah
dalam persekutuan persaudaraan, dalam keselarasan Roh, dalam hidup berdampingan
keberagaman. Santo Agustinus mengatakan, “Gereja terdiri dari semua orang yang
selaras dengan saudara-saudari mereka dan mengasihi sesama mereka” (Khotbah
359,9).
Saudara-saudari,
saya ingin agar keinginan besar pertama kita adalah Gereja yang bersatu, tanda
persatuan dan persekutuan, yang menjadi ragi bagi dunia yang diperdamaikan. Di
zaman kita ini, kita masih melihat terlalu banyak perselisihan, terlalu banyak
luka yang disebabkan oleh kebencian, kekerasan, prasangka, ketakutan akan
perbedaan, dan paradigma ekonomi yang mengeksploitasi sumber daya bumi dan
meminggirkan yang termiskin.
Dari
pihak kita, kita ingin menjadi ragi kecil persatuan, persekutuan, dan
persaudaraan di dunia. Kita ingin berkata kepada dunia, dengan kerendahan hati
dan sukacita: Pandanglah Kristus! Datanglah lebih dekat kepada-Nya! Sambutlah
sabda-Nya yang mencerahkan dan menghibur! Dengarkanlah tawaran kasih-Nya dan
jadilah satu keluarga-Nya: dalam satu Kristus, kita adalah satu. Inilah jalan
yang harus kita tempuh bersama-sama, bukan hanya di antara kita tetapi juga
dengan gereja-gereja kristiani saudari kita, dengan mereka yang mengikuti jalan
keagamaan lain, dengan mereka yang sedang mencari Allah, dengan semua wanita
dan pria yang berkehendak baik, untuk membangun dunia baru di mana perdamaian
berkuasa!
Inilah
semangat misioner yang harus menggerakkan kita; tidak menutup diri dalam
kelompok-kelompok kecil kita, atau merasa lebih unggul dari dunia. Kita
dipanggil untuk menawarkan kasih Allah kepada semua orang, mencapai kesatuan
yang tidak meniadakan perbedaan tetapi menghargai sejarah pribadi serta budaya
sosial dan agama setiap orang.
Saudara-saudari,
inilah saatnya untuk mengasihi! Pokok Injil adalah kasih Allah yang menjadikan
kita saudara-saudari. Bersama pendahulu saya, Leo XIII, kita dapat bertanya
kepada diri kita sendiri hari ini: Jika kriteria ini “berlaku di dunia,
bukankah setiap pertikaian akan berakhir dan perdamaian akan kembali?” (Rerum
Novarum, 21).
Dengan
terang dan kekuatan Roh Kudus, marilah kita membangun Gereja yang didirikan
atas dasar kasih Allah, tanda persatuan, Gereja misioner yang membuka tangannya
kepada dunia, mewartakan sabda, membiarkan dirinya dibuat "gelisah"
oleh sejarah, dan menjadi ragi keselarasan bagi umat manusia. Bersama-sama,
sebagai satu umat, sebagai saudara-saudari, marilah kita berjalan menuju Allah
dan saling mengasihi.
_____
(Peter Suriadi - Bogor, 18 Mei 2025)
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.