Liturgical Calendar

HOMILI PAUS LEO XIV DALAM MISA INAGURASINYA 18 Mei 2025

Bacaan Ekaristi : Kis 4:8-12; 1Ptr 5:1-5,10-11; Yoh 21:15-19.

 

Saudara-saudara para kardinal, saudara-saudara para uskup dan para imam yang terkasih, para pemimpin dan anggota korps diplomatik yang terhormat, dan mereka yang hadir di sini untuk merayakan Yubileum Persaudaraan Religius, saudara-saudari:

 

Saya menyapa kamu semua dengan hati yang penuh rasa syukur di awal pelayanan yang telah dipercayakan kepada saya. Santo Agustinus menulis: “Tuhan, Engkau telah menciptakan kami untuk diri-Mu, dan hati kami gelisah sampai ia beristirahat di dalam diri-Mu” (Pengakuan-pengakuan, I:1,1).

 

Pada hari-hari ini, kita telah mengalami emosi yang kuat. Meninggalnya Paus Fransiskus memenuhi hati kita dengan kesedihan. Pada saat-saat sulit itu, kita merasa seperti orang banyak yang menurut Injil “seperti domba yang tidak mempunyai gembala” (Mat 9:36). Namun pada Hari Minggu Paskah, kita menerima berkat terakhirnya dan, dalam terang kebangkitan, kita mengalami hari-hari berikutnya dengan keyakinan bahwa Tuhan tidak pernah meninggalkan umat-Nya, tetapi mengumpulkan mereka ketika mereka tercerai-berai dan menjaga mereka “seperti gembala terhadap kawanan dombanya” (Yer 31:10).

 

Dalam semangat iman ini, Dewan Kardinal mengadakan konklaf. Berasal dari latar belakang dan pengalaman yang berbeda, kami menyerahkan keinginan kami untuk memilih Penerus Petrus yang baru, Uskup Roma, ke dalam tangan Allah, seorang gembala yang mampu melestarikan warisan iman kristiani yang kaya dan, pada saat yang sama, memandang ke masa depan, untuk menghadapi pertanyaan, keprihatinan, dan tantangan dunia saat ini.

 

Diiringi doa-doamu, kami dapat merasakan karya Roh Kudus, yang mampu membawa kami ke dalam keselarasan, seperti alat musik, sehingga hati kami dapat bergetar dalam satu melodi. Saya dipilih, tanpa jasa apa pun dari diri saya, dan sekarang, dengan takut dan gentar, saya datang kepadamu sebagai seorang saudara, yang ingin menjadi hamba iman dan sukacitamu, berjalan bersamamu di jalan kasih Allah, karena Ia ingin kita semua bersatu dalam satu keluarga.

 

Kasih dan persatuan: inilah dua dimensi misi yang dipercayakan Yesus kepada Petrus. Kita melihat hal ini dalam Bacaan Injil hari ini, yang membawa kita ke Danau Galilea, tempat Yesus memulai misi yang diterima-Nya dari Bapa: menjadi "penjala" manusia untuk menariknya keluar dari air kejahatan dan kematian. Sambil berjalan di sepanjang pantai, Ia memanggil Petrus dan murid-murid pertama lainnya untuk menjadi, seperti Dia, "penjala manusia".

 

Sekarang, setelah kebangkitan, terserah kepada mereka untuk meneruskan misi ini, menebarkan jala mereka lagi dan lagi, membawa harapan Injil ke dalam "perairan" dunia, mengarungi lautan kehidupan sehingga semua orang dapat mengalami pelukan Allah.

 

Bagaimana Petrus dapat melaksanakan tugas ini? Bacaan Injil memberitahu kita bahwa hal itu mungkin hanya karena hidupnya tersentuh oleh kasih Allah yang tak terbatas dan tanpa syarat, bahkan di saat kegagalan dan penyangkalannya. Karena alasan ini, ketika Yesus menyapa Petrus, Bacaan Injil menggunakan kata kerja Yunani agapáo, yang merujuk pada kasih Allah kepada kita, pada persembahan diri-Nya yang tanpa syarat dan tanpa perhitungan. Sedangkan kata kerja yang digunakan dalam tanggapan Petrus menggambarkan kasih persahabatan kita satu sama lain.

 

Oleh karena itu, ketika Yesus bertanya kepada Petrus, “Simon, anak Yohanes, apakah engkau mengasihi Aku lebih daripada mereka ini?” (Yoh 21:15), ia mengacu kepada kasih Bapa. Seolah-olah Yesus berkata kepadanya, “Hanya jika engkau telah mengenal dan mengalami kasih Allah ini, yang tidak pernah gagal, engkau akan dapat menggembalakan domba-domba-Ku. Hanya dalam kasih Allah Bapa engkau akan dapat mengasihi saudara-saudarimu dengan ‘lebih’ yang sama, yaitu dengan mempersembahkan hidupmu bagi saudara-saudarimu.”

 

Dengan demikian, Petrus dipercayakan dengan tugas untuk "lebih mengasihi" dan menyerahkan hidupnya bagi kawanan domba. Pelayanan Petrus dibedakan justru oleh kasih yang rela berkurban ini, karena Gereja Roma memimpin dalam kasih dan otoritasnya yang sejati adalah kasih Kristus. Ini bukan perihal menangkap orang lain dengan paksa, dengan propaganda agama atau dengan sarana kekuasaan. Sebaliknya, selalu dan hanya perihal mengasihi seperti yang dilakukan Yesus.

 

Rasul Petrus sendiri mengatakan kepada kita bahwa Yesus “adalah batu yang dibuang oleh tukang-tukang bangunan - yaitu kamu sendiri - namun Ia telah menjadi batu penjuru” (Kis 4:11). Lebih jauh lagi, jika batu karang itu adalah Kristus, Petrus harus menggembalakan kawanan domba tanpa pernah menyerah pada godaan untuk menjadi seorang otokrat, memerintah atas mereka yang dipercayakan kepadanya (lih. 1Ptr 5:3). Sebaliknya, ia dipanggil untuk melayani iman saudara-saudarinya, dan berjalan bersama mereka, karena kita semua adalah “batu hidup” (1Ptr 2:5), dipanggil melalui baptisan kita untuk membangun rumah Allah dalam persekutuan persaudaraan, dalam keselarasan Roh, dalam hidup berdampingan keberagaman. Santo Agustinus mengatakan, “Gereja terdiri dari semua orang yang selaras dengan saudara-saudari mereka dan mengasihi sesama mereka” (Khotbah 359,9).

 

Saudara-saudari, saya ingin agar keinginan besar pertama kita adalah Gereja yang bersatu, tanda persatuan dan persekutuan, yang menjadi ragi bagi dunia yang diperdamaikan. Di zaman kita ini, kita masih melihat terlalu banyak perselisihan, terlalu banyak luka yang disebabkan oleh kebencian, kekerasan, prasangka, ketakutan akan perbedaan, dan paradigma ekonomi yang mengeksploitasi sumber daya bumi dan meminggirkan yang termiskin.

 

Dari pihak kita, kita ingin menjadi ragi kecil persatuan, persekutuan, dan persaudaraan di dunia. Kita ingin berkata kepada dunia, dengan kerendahan hati dan sukacita: Pandanglah Kristus! Datanglah lebih dekat kepada-Nya! Sambutlah sabda-Nya yang mencerahkan dan menghibur! Dengarkanlah tawaran kasih-Nya dan jadilah satu keluarga-Nya: dalam satu Kristus, kita adalah satu. Inilah jalan yang harus kita tempuh bersama-sama, bukan hanya di antara kita tetapi juga dengan gereja-gereja kristiani saudari kita, dengan mereka yang mengikuti jalan keagamaan lain, dengan mereka yang sedang mencari Allah, dengan semua wanita dan pria yang berkehendak baik, untuk membangun dunia baru di mana perdamaian berkuasa!

 

Inilah semangat misioner yang harus menggerakkan kita; tidak menutup diri dalam kelompok-kelompok kecil kita, atau merasa lebih unggul dari dunia. Kita dipanggil untuk menawarkan kasih Allah kepada semua orang, mencapai kesatuan yang tidak meniadakan perbedaan tetapi menghargai sejarah pribadi serta budaya sosial dan agama setiap orang.

 

Saudara-saudari, inilah saatnya untuk mengasihi! Pokok Injil adalah kasih Allah yang menjadikan kita saudara-saudari. Bersama pendahulu saya, Leo XIII, kita dapat bertanya kepada diri kita sendiri hari ini: Jika kriteria ini “berlaku di dunia, bukankah setiap pertikaian akan berakhir dan perdamaian akan kembali?” (Rerum Novarum, 21).

 

Dengan terang dan kekuatan Roh Kudus, marilah kita membangun Gereja yang didirikan atas dasar kasih Allah, tanda persatuan, Gereja misioner yang membuka tangannya kepada dunia, mewartakan sabda, membiarkan dirinya dibuat "gelisah" oleh sejarah, dan menjadi ragi keselarasan bagi umat manusia. Bersama-sama, sebagai satu umat, sebagai saudara-saudari, marilah kita berjalan menuju Allah dan saling mengasihi.

_____

(Peter Suriadi - Bogor, 18 Mei 2025)

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.