Liturgical Calendar

HOMILI PAUS FRANSISKUS DALAM MISA 1 Maret 2016 : AMPUNILAH SEAKAN-AKAN KALIAN TELAH LUPA

Bacaan Ekaristi : Dan 3:25,34-43; Mzm 25:4bc-5ab,6-7bc,8-9; Mat 18:21-35

Kerahiman adalah fokus permenungan Paus Fransiskus dalam homilinya selama Misa harian Selasa pagi 1 Maret 2016 di Casa Santa Marta, Vatikan. Konsep ini bergaung di seluruh liturgi. Dalam Mazmur Tanggapan kita mengulangi kalimat : "Ingat kerahiman-Mu, ya Tuhan". Hal ini, Paus Fransiskus menjelaskan, bagaikan "mengatakan : Ingatlah nama-Mu, ya Tuhan! Nama-Mu adalah kerahiman". Dalam bacaan pertama juga, yang diambil dari Kitab Nabi Daniel (3:25,34-43), permintaan akan kerahiman berada di pusat cerita. Bahwasanya, ia bercerita tentang "doa Azarya, salah satu orang muda yang dikirim ke tungku karena mereka tidak sudi menyembah patung emas". Azarya "memohonkan kerahiman, bagi dirinya sendiri dan bagi rakyat; ia memohonkan pengampunan kepada Allah". Ia tidak mencari "pengampunan yang dangkal", bukan penghapusan noda yang sederhana "seperti yang mereka lakukan ketika kita membawa pakaian ke binatu". Permintaan tersebut, Paus Fransiskus menekankan, adalah untuk "pengampunan yang tulus" yang, ketika ia berasal dari Allah, "selalu merupakan kerahiman".

Azarya "memohon dengan rendah hati. Demi nama-Mu ini, ingatlah Abraham, Ishak, Yakub". Dengan kata lain, ia "mengingatkan Allah akan segala janji-Nya", tetapi mengakui perlunya pengampunan : kita "dibawa merendah hari ini di seluruh dunia oleh karena dosa-dosa kita. Dan pada saat ini tidak ada penguasa, atau nabi, tidak ada korban bakaran".

Di sinilah, Paus Fransiskus mengatakan, tempat kata kunci kedua dari permenungan hari ini datang dalam: "pengampunan". Dinamikanya adalah sebagai berikut: "Aku berbalik kepada Allah, mengingatkan Dia akan kerahiman-Nya dan memohon pengampunan-Nya" - tetapi "pengampunan sebagaimana yang diberikan Allah".

Paus Fransiskus kemudian memperluas pada karakteristik pengampunan Allah, yang kesempurnaannya begitu tidak bisa dipahami oleh kita para laki-laki dan para perempuan : Ia mencapai titik "melupakan" dosa-dosa kita. "Ketika Allah mengampuni", Paus Fransiskus mengatakan, "pengampunan-Nya begitu besar sehingga seolah-olah 'Ia telah lupa". Dengan demikian, "segera sesudah kita berdamai dengan Allah melalui kerahiman-Nya", jika kita bertanya kepada Tuhan: "Apakah Engkau ingat akan hal yang buruk yang kulakukan?", Ia mungkin menjawab: "Hal yang mana? Aku tidak ingat ...".

Paus Fransiskus menjelaskan bahwa ini "benar-benar kebalikan dari apa yang kita lakukan", dan yang sering menjadi "pergunjingan kita : 'Orang ini melakukan hal ini, ia melakukan hal ini, ia melakukan hal itu ...'". Kita "tidak melupakan", dan kita mempertahankan "sejarah kuno, pertengahan, abad pertengahan dan modern" bagi banyak orang. Alasan untuk hal ini dapat ditemukan dalam kenyataan "bahwa kita tidak memiliki hati yang penuh kerahiman".

Berbalik kepada Tuhan, tetapi, Azarya mampu "mendesak" kerahiman-Nya, agar "Ia menganugerahkan kita pengampunan dan keselamatan serta melupakan dosa-dosa kita". Oleh karena itu ia memohon kepada Tuhan : "perlakukankanlah kami sesuai dengan kemurahan-Mu dan menurut besarnya kerahiman-Mu. Bebaskanlah kami!". Itulah doa yang sama yang berkumandang kembali dalam dalam Mazmur Tanggapan : "Ingatlah kerahiman-Mu, ya Tuhan".

Tema yang sama muncul lagi dalam perikop Injil hari itu (Mat 18:21-25). Di sini tokoh utamanya adalah Petrus, yang "telah mendengar Tuhan berkali-kali berbicara tentang pengampunan, tentang kerahiman". Sang Rasul, tampaknya, dalam kesederhanaannya, - karena "ia tidak belajar banyak; ia bukan seorang terpelajar; ia adalah seorang nelayan"- tidak sepenuhnya memahami pentingnya kata-kata tersebut. Namun, "ia datang kepada Yesus dan berkata kepada-Nya, 'Tuhan, sampai berapa kali aku harus mengampuni saudaraku jika ia berbuat dosa terhadap aku? Sampai tujuh kali?'". Tujuh kali sesungguhnya bahkan tampak "bermurah hati" bagi Petrus. Tetapi "Yesus berkata kepadanya, 'Bukan! Aku berkata kepadamu: Bukan sampai tujuh kali, melainkan sampai tujuh puluh kali tujuh kali'".

Untuk lebih menjelaskan hal ini, Yesus mengatakan perumpamaan tentang raja "yang ingin menyelesaikan hutang piutang dengan para hamba-Nya". Alkitab menceritakan bahwa seorang hamba datang kepadanya, orang "yang berutang sepuluh ribu dinar", suatu jumlah yang besar yang karenanya, "menurut hukum zaman itu", ia akan dipaksa untuk menjual "semua yang ia miliki, bahkan istri, anak-anak dan ladangnya". Pada titik ini, Paus Fransiskus mengatakan, hamba yang berhutang "mulai menangis, memohon belas kasihan, memohon pengampunan", hingga "sang tuan memiliki 'rasa iba'".

"Rasa iba", Paus Fransiskus menjelaskan, adalah kata lain yang datang dengan mudah di samping konsep kerahiman. Ketika Injil-injil berbicara tentang Yesus dan ketika mereka menggambarkan perjumpaan-Nya dengan seorang yang sakit, Injil-injil tersebut mengatakan dalam kenyataannya bahwa Ia "memiliki 'rasa iba' terhadapnya".

Perumpamaan kemudian berlanjut dengan sang tuan yang "membebaskan" hamba tersebut dan "menghapuskan hutangnya". Itu adalah "sebuah hutang yang besar". Namun, ketika hamba itu kemudian bertemu "hamba lainnya yang berutang kepadanya 100 dinar, ia ingin menjebloskannya ke penjara". Orang itu, Sri Paus Fransiskus menjelaskan, "tidak mengerti apa yang telah dilakukan raja terhadapnya" dan dengan demikian ia "berperilaku egois". Pada akhir cerita raja memanggil kembali sang hamba dan menjebloskannya ke dalam penjara karena ia tidak "bermurah hati". Dengan kata lain, ia tidak berbuat "terhadap temannya seperti yang telah Allah perbuat terhadapnya".

Dalam mengakhiri permenungannya, Paus Fransiskus mempertimbangkan kesulitan-kesulitan kita sehari-hari : "Tidaklah mudah untuk mengampuni; tidaklah mudah", beliau mengakui. Beliau mengingatkan agar dalam keluarga-keluarga ada "saudara-saudara kandung yang memperdebatkan warisan dari para orang tua mereka, dan kemudian tidak menyapa satu sama lain sepanjang sisa hidup mereka; begitu banyak pasangan bertengkar, lalu kebencian tumbuh dan tumbuh, dan keluarga yang berakhir hancur". Orang-orang ini "tidak mampu mengampuni. Ini buruk".

Paus Fransiskus kemudian mengungkapkan harapan agar Masa Prapaskah "mempersiapkan hati kita untuk menerima pengampunan Allah. Tetapi menerimanya dan kemudian melakukan hal yang sama dengan orang lain : pengampunan yang tulus". Memiliki, dengan kata lain, sikap yang menuntun kita untuk mengatakan : "Engkau mungkin tidak pernah menyapaku, tetapi dalam hatiku, aku telah mengampuni kamu".

Ini adalah cara terbaik, Paus Fransiskus mengakhiri, untuk lebih dekat dengan "begitu agungnya" Allah, dan "itulah kerahiman". Memang, "dalam pengampunan kita membuka hati kita terhadap kerahiman Allah untuk masuk dan mengampuni kita". Kita semua memiliki alasan-alasan untuk memohon pengampunan Allah : "Marilah kita mengampuni, dan kita akan diampuni".

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.