Bacaan Ekaristi : Kis. 10:34-43; Flp. 3:20-4:1; Yoh. 21:15-19.
Di Lapangan Santo Petrus yang megah
ini, tempat Paus Fransiskus merayakan Ekaristi berkali-kali dan memimpin
pertemuan besar selama dua belas tahun terakhir, dengan hati yang sedih kita
berkumpul dalam doa di sekeliling jenazahnya. Namun, kita dikuatkan oleh
kepastian iman, yang meyakinkan kita bahwa keberadaan manusiawi tidak berakhir
di dalam kubur, tetapi di rumah Bapa, dalam kehidupan kebahagiaan yang tidak
akan pernah berakhir.
Atas nama Dewan Kardinal, saya
mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas kehadiran kamu semua.
Dengan penuh emosi, saya menyampaikan salam hormat dan terima kasih yang tulus
kepada para kepala negara, kepala pemerintahan, dan delegasi resmi yang datang
dari berbagai negara untuk mengungkapkan kasih sayang, penghormatan, dan
penghargaan mereka kepada mendiang Bapa Suci kita. Curahan kasih sayang yang
telah kita saksikan dalam beberapa hari terakhir setelah kepergiannya dari bumi
ini menuju keabadian menunjukkan kepada kita betapa mendalamnya pontifikasi
Paus Fransiskus menyentuh pikiran dan hati.
Gambaran terakhir yang kita miliki
tentang dirinya, yang akan tetap terukir dalam ingatan kita, adalah pada hari
Minggu lalu, Hari Minggu Paskah, ketika Paus Fransiskus, meskipun sedang dalam
masalah kesehatan yang serius, ingin memberikan kita berkatnya dari balkon
Basilika Santo Petrus. Ia kemudian turun ke Lapangan ini untuk menyambut banyak
orang yang berkumpul untuk Misa Paskah seraya menaiki mobil Paus beratap
terbuka. Dengan doa-doa kita, kita sekarang mempercayakan jiwa Paus kita yang
terkasih kepada Allah, agar Ia menganugerahinya kebahagiaan abadi dalam tatapan
yang cemerlang dan mulia dari kasih-Nya yang tak terhingga. Kita tercerahkan
dan dibimbing oleh Bacaan Injil, di mana suara Kristus sendiri bergema,
bertanya kepada wakil para rasul, "Petrus, apakah engkau mengasihi Aku
lebih daripada mereka ini?" Dengan cepat dan tulus Petrus menjawab,
"Tuhan, Engkau tahu segala sesuatu, Engkau tahu bahwa aku mengasihi
Engkau!" Yesus kemudian mempercayakan kepadanya misi besar,
"Peliharalah domba-domba-Ku." Inilah tugas berkesinambungan Petrus
dan para penggantinya, yaitu pelayanan kasih mengikuti jejak Kristus, Guru dan
Tuhan kita, yang “datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan
untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang” (Mrk 10:45).
Meskipun lemah dan menderita menjelang
akhir hayatnya, Paus Fransiskus memilih untuk mengikuti jalan pengurbanan diri
ini hingga hari terakhir hidupnya di dunia. Ia mengikuti jejak Tuhannya, Sang
Gembala yang baik, yang mengasihi domba-domba-Nya hingga rela memberikan
nyawa-Nya bagi mereka. Dan ia melakukannya dengan kekuatan dan ketenangan,
dekat dengan kawanan dombanya, Gereja Allah, seraya mengingat kata-kata Yesus
yang dikutip oleh Rasul Paulus: “Lebih berbahagia memberi daripada menerima”
(Kis 20:35).
Ketika Kardinal Bergoglio terpilih dalam
konklaf pada tanggal 13 Maret 2013 untuk menggantikan Paus Benediktus XVI, ia
telah memiliki pengalaman bertahun-tahun dalam kehidupan religius di Serikat
Yesus dan, terutama, diperkaya oleh dua puluh satu tahun pelayanan pastoral di
Keuskupan Agung Buenos Aires, pertama sebagai uskup auksiler, kemudian sebagai
uskup koajutor dan, terutama, sebagai uskup agung.
Keputusan untuk memakai nama Fransiskus
segera tampak menunjukkan rencana dan gaya pastoral yang ingin ia jadikan dasar
pontifikasinya, dengan mengambil inspirasi dari semangat Santo Fransiskus dari
Asisi.
Ia mempertahankan perangai dan bentuk
kepemimpinan pastoralnya, dan melalui kepribadiannya yang tegas, segera
meninggalkan jejaknya pada tata kelola Gereja. Ia menjalin kontak langsung
dengan individu dan masyarakat, ingin dekat dengan semua orang, dengan
perhatian yang nyata kepada mereka yang sedang dalam kesulitan, memberikan
dirinya tanpa batas, terutama kepada mereka yang terpinggirkan, yang paling
kecil di antara kita. Ia adalah seorang Paus di antara orang-orang, dengan hati
yang terbuka terhadap semua orang. Ia juga seorang Paus yang memperhatikan
tanda-tanda zaman dan apa yang sedang dibangkitkan Roh Kudus dalam Gereja.
Dengan kosakata dan bahasanya yang
khas, kaya akan gambaran dan metafora, ia selalu berusaha untuk menjelaskan
masalah-masalah zaman kita dengan kebijaksanaan Injil. Ia melakukannya dengan
memberikan tanggapan yang dibimbing oleh terang iman dan mendorong kita untuk
hidup sebagai umat kristiani di tengah tantangan dan pertentangan dalam
beberapa tahun terakhir, yang ia gambarkan sebagai "perubahan zaman."
Ia memiliki spontanitas yang luar biasa dan cara yang informal dalam menyapa
setiap orang, bahkan mereka yang jauh dari Gereja.
Kaya akan kehangatan manusiawi dan sangat
peka terhadap tantangan masa kini, Paus Fransiskus benar-benar turut merasakan
kecemasan, penderitaan, dan harapan di era globalisasi ini. Ia memberikan
dirinya dengan menghibur dan menyemangati kita dengan pesan yang mampu
menyentuh hati orang-orang secara langsung dan segera.
Karismanya yang ramah dan mau
mendengarkan, dipadukan dengan sikap yang sesuai dengan kepekaan zaman
sekarang, menyentuh hati dan berusaha membangkitkan kembali kepekaan moral dan
spiritual. Evangelisasi merupakan prinsip utama pontifikasinya. Dengan visi
misi yang jelas, ia menyebarkan sukacita Injil, yang merupakan judul dari
seruan apostoliknya yang pertama, Evangelii Gaudium. Sukacita itulah yang
memenuhi hati semua orang yang mempercayakan diri kepada Allah dengan keyakinan
dan harapan.
Benang merah misinya juga adalah
keyakinan bahwa Gereja adalah rumah bagi semua orang, rumah yang pintunya
selalu terbuka. Ia sering menggunakan gambaran Gereja sebagai "rumah sakit
lapangan" setelah pertempuran yang menyebabkan banyak orang terluka;
Gereja yang bertekad untuk menangani masalah-masalah manusiawi dan kecemasan
besar yang mencabik-cabik dunia masa kini; Gereja yang mampu membungkuk kepada
setiap orang, terlepas dari keyakinan atau kondisi mereka, dan menyembuhkan
luka-luka mereka.
Sikap dan dorongannya untuk membantu
para pengungsi dan orang-orang terlantar tidak terhitung banyaknya.
Kegigihannya untuk bekerja bagi orang miskin terus berlanjut. Penting untuk
dicatat bahwa perjalanan pertama Paus Fransiskus adalah ke Lampedusa, sebuah
pulau yang melambangkan tragedi migrasi, yang menyebabkan ribuan orang
tenggelam di laut. Hal yang sama juga terjadi dalam perjalanannya ke Lesbos,
bersama dengan Patriark Ekumenis dan Uskup Agung Athena, serta perayaan Misa di
perbatasan antara Meksiko dan Amerika Serikat selama perjalanannya ke Meksiko.
Dari 47 perjalanan apostoliknya yang
menguras tenaga, perjalanan ke Irak pada tahun 2021, yang menantang segala
risiko, akan tetap sangat berkesan. Perjalanan apostolik yang sulit itu menjadi
obat mujarab bagi luka menganga rakyat Irak, yang telah sangat menderita akibat
tindakan ISIS yang tidak manusiawi. Perjalanan itu juga merupakan perjalanan
penting untuk dialog antaragama, dimensi penting lain dari karya pastoralnya.
Dengan perjalanan apostoliknya tahun 2024 ke empat negara di Asia-Oseania, Paus
mencapai "pinggiran paling pinggiran dunia."
Paus Fransiskus selalu menempatkan
Injil belas kasih di pusat perhatian, berulang kali menekankan bahwa Allah
tidak pernah lelah mengampuni kita. Ia selalu mengampuni, apa pun situasinya
bagi orang yang memohon pengampunan dan kembali ke jalan yang benar. Ia
mencanangkan Yubileum Luar Biasa Kerahiman untuk menyoroti bahwa belas kasih
adalah "inti Injil."
Belas kasih dan sukacita Injil adalah
dua kata kunci bagi Paus Fransiskus. Berbeda dengan apa yang disebutnya sebagai
"budaya membuang," ia berbicara tentang budaya perjumpaan dan
kesetiakawanan. Tema persaudaraan mengalir sepanjang masa pontifikasinya dengan
nada-nada yang menggetarkan. Dalam ensikliknya Fratelli Tutti, ia ingin
menghidupkan kembali aspirasi persaudaraan di seluruh dunia, karena kita semua
adalah anak-anak dari satu Bapa yang ada di surga. Dengan tegas ia sering
mengingatkan kita bahwa kita semua adalah bagian dari satu keluarga manusiawi.
Pada tahun 2019, selama perjalanannya
ke Uni Emirat Arab, Paus Fransiskus menandatangani Dokumen tentang Persaudaraan
Manusia untuk Perdamaian Dunia dan Hidup Bersama, yang mengingatkan kita akan
kebapaan bersama Allah. Dalam Ensiklik Laudato Si’, ia berbicara kepada
orang-orang di seluruh dunia dan menarik perhatian kita pada tugas dan tanggung
jawab bersama untuk rumah kita bersama, dengan menyatakan, “Tidak seorang pun
diselamatkan sendirian.”
Menghadapi perang yang berkecamuk dalam
beberapa tahun terakhir, dengan kengerian yang tidak manusiawi dan kematian
serta kehancuran yang tak terhitung jumlahnya, Paus Fransiskus terus-menerus
menyerukan perdamaian dan menyerukan akal sehat serta negosiasi yang jujur untuk menemukan solusi yang memungkinkan. Perang, katanya,
mengakibatkan kematian orang-orang dan kehancuran rumah, rumah sakit, dan
sekolah. Perang selalu membuat dunia lebih buruk daripada sebelumnya: selalu
merupakan kekalahan yang menyakitkan dan tragis bagi semua orang.
“Bangunlah jembatan, bukan tembok”
adalah seruan yang diulang-ulangnya berkali-kali, dan pelayanan imannya sebagai
penerus Rasul Petrus selalu dikaitkan dengan pelayanan kepada umat manusia
dalam segala lingkupnya.
Bersatu secara spiritual dengan segenap
umat kristiani, kita hadir dalam jumlah besar untuk mendoakan Paus Fransiskus,
agar Allah sudi menyambutnya ke dalam kasih-Nya yang tak terbatas. Paus
Fransiskus biasa mengakhiri pidato dan pertemuannya dengan mengatakan,
"Jangan lupa untuk mendoakan saya."
Paus Fransiskus yang terkasih, kami
sekarang memohon kepadamu untuk mendoakan kami. Semoga engkau memberkati
Gereja, memberkati Roma, dan memberkati seluruh dunia dari surga seperti yang
kamu lakukan hari Minggu lalu dari balkon Basilika ini dalam pelukan terakhir
dengan segenap umat Allah, seraya merangkul umat manusia yang mencari kebenaran
dengan hati yang tulus dan memegang tinggi obor pengharapan.
_____
(Peter Suriadi - Bogor, 26 April 2025)
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.