Bacaan Ekaristi : 1Ptr 1:3-9; Mzm 111:1-2,5-6,9,10c; Mrk 10:17-27
"Kartu identitas seorang Kristen adalah sukacita". "Ketakjuban" di hadapan "keagungan Allah", di hadapan "kasih"-Nya dan "keselamatan" yang telah Ia berikan kepada umat manusia, menuntun orang percaya untuk bersukacita bahwa tidak ada salib kehidupan yang dapat menodai, karena bahkan percobaan-pencobaan membuat kita yakin "bahwa Yesus berada bersama kita".
Diilhami oleh bacaan liturgi hari itu, homili Paus Fransiskus dalam Misa harian Senin pagi, 23 Mei 2016, di Casa Santa Marta, Vatikan, adalah sebuah madah pujian sejati untuk bersukacita. Paus Fransiskus menginginkan secara khusus membaca ulang kata-kata pembuka lagu yang diambil dari Surat Pertama Petrus (1:3-9) yang, beliau mengatakan, oleh karena "nadanya yang gembira", "keceriaan" -nya dan cara sang rasul berperan serta "dengan kekuatan yang penuh", mengenang pembukaan "Oratorio Natal" karya Bach. Petrus, bahkan, menulis : "Terpujilah Allah dan Bapa Tuhan kita Yesus Kristus, yang karena rahmat-Nya yang besar telah melahirkan kita kembali oleh kebangkitan Yesus Kristus dari antara orang mati, kepada suatu hidup yang penuh pengharapan, untuk menerima suatu bagian yang tidak dapat binasa, yang tidak dapat cemar dan yang tidak dapat layu, yang tersimpan di sorga bagi kamu. Yaitu kamu, yang dipelihara dalam kekuatan Allah karena imanmu sementara kamu menantikan keselamatan yang telah tersedia untuk dinyatakan pada zaman akhir".
"Kartu identitas seorang Kristen adalah sukacita". "Ketakjuban" di hadapan "keagungan Allah", di hadapan "kasih"-Nya dan "keselamatan" yang telah Ia berikan kepada umat manusia, menuntun orang percaya untuk bersukacita bahwa tidak ada salib kehidupan yang dapat menodai, karena bahkan percobaan-pencobaan membuat kita yakin "bahwa Yesus berada bersama kita".
Diilhami oleh bacaan liturgi hari itu, homili Paus Fransiskus dalam Misa harian Senin pagi, 23 Mei 2016, di Casa Santa Marta, Vatikan, adalah sebuah madah pujian sejati untuk bersukacita. Paus Fransiskus menginginkan secara khusus membaca ulang kata-kata pembuka lagu yang diambil dari Surat Pertama Petrus (1:3-9) yang, beliau mengatakan, oleh karena "nadanya yang gembira", "keceriaan" -nya dan cara sang rasul berperan serta "dengan kekuatan yang penuh", mengenang pembukaan "Oratorio Natal" karya Bach. Petrus, bahkan, menulis : "Terpujilah Allah dan Bapa Tuhan kita Yesus Kristus, yang karena rahmat-Nya yang besar telah melahirkan kita kembali oleh kebangkitan Yesus Kristus dari antara orang mati, kepada suatu hidup yang penuh pengharapan, untuk menerima suatu bagian yang tidak dapat binasa, yang tidak dapat cemar dan yang tidak dapat layu, yang tersimpan di sorga bagi kamu. Yaitu kamu, yang dipelihara dalam kekuatan Allah karena imanmu sementara kamu menantikan keselamatan yang telah tersedia untuk dinyatakan pada zaman akhir".
Ini adalah kata-kata yang di dalamnya kita mengartikan "keheranan di hadapan keagungan Allah", di hadapan "kelahiran kembali yang Tuhan - 'di dalam Yesus Kristus dan melalui Yesus Kristus'- telah buat di dalam diri kita". Ia adalah sebuah ketakjuban yang penuh akan kemenangan dan keceriaan". Segera sesudahnya, Paus Fransiskus mencatat, kita melihat "frasa kunci" teks surat tersebut, yaitu : "Bergembiralah akan hal itu".
Sukacita yang Paulus bicarakan adalah abadi. Karena alasan ini, Paus Fransiskus menjelaskan, Petrus menambahkan dalam surat bahwa, bahkan sekalipun sekarang ini kalian dipaksa untuk "menderita berbagai-bagai pencobaan", sukacita ini sejak permulaan "tidak akan diambil". Bahkan, ia berasal dari "apa yang telah dilakukan Allah di dalam diri kita : Ia telah melahirkan kita di dalam Kristus dan telah memberi kita harapan". Sebuah harapan "yang digambarkan orang-orang Kristen perdana sebagai sebuah jangkar di surga", dan yang, Paus Fransiskus mengatakan, juga merupakan jangkar kita. Ini adalah dari apakah sukacita tersebut berasal. Petrus menyimpulkan pesannya dengan mengundang semua orang untuk "bergembira karena sukacita yang mulia dan yang tidak terkatakan".
Dari semua hal ini, Paus Fransiskus menekankan, kita memahami bahwa sukacita adalah benar-benar "keutamaan orang Kristen". Orang Kristen, beliau mencatat, "adalah pria atau wanita yang memiliki sukacita dalam hati mereka". Bahkan lebih : "Tidak akan ada orang Kristen tanpa sukacita". Seseorang mungkin berkeberatan, mengatakan : "Tetapi Bapa, aku telah melihat banyak!". Orang-orang ini "bukan orang-orang Kristen : mereka mengatakan bahwa mereka orang-orang Kristen, tetapi mereka bukan orang-orang Kristen, mereka sedang kehilangan sesuatu". Itulah sebabnya, Paus Fransiskus mengatakan, "kartu identitas orang Kristen adalah sukacitanya, sukacita Injil, sukacita telah dipilih oleh Yesus, diselamatkan oleh Yesus, dibangkitkan kembali oleh Yesus; sukacita harapan bahwa Yesus sedang menanti kita". Paus Fransiskus menambahkan bahwa "dalam salib dan penderitaan kehidupan ini", orang-orang Kristen menghayati sukacita itu, mengungkapkannya dengan cara lain, dengan "kedamaian" yang berasal dari "jaminan bahwa Yesus menyertai kita, bahwa Ia berada bersama kita". Bahkan, orang-orang Kristen melihat bahwa "sukacita ini tumbuh dengan percaya kepada Allah". Mereka tahu betul bahwa "Allah mengingat mereka, Allah mengasihi mereka, Allah menyertai mereka dan sedang menanti mereka. Inilah sukacita".
Dalam kontras dengan madah pujian untuk bersukacita ini, liturgi hari itu mengusulkan "kata yang lain", kata yang terkait dengan adegan dari Injil Markus (10:17-27) yang di dalamnya kita membaca tentang seorang muda "yang mendekati Yesus dalam rangka untuk mengikuti-Nya". Ia adalah seorang "pria muda yang baik", mampu "menaklukkan hati Yesus", yang, kita baca, "menatap-Nya" dan "mengasihi-Nya". Yesus membuat sebuah usulan kepada orang muda ini : "Hanya satu lagi kekuranganmu : pergilah, juallah apa yang kaumiliki dan berikanlah itu kepada orang-orang miskin, maka engkau akan beroleh harta di sorga, kemudian datanglah ke mari dan ikutlah Aku"; tetapi setelah mendengar kata-kata ini pria itu "wajahnya muram dan ia pergi dengan sedih".
Orang muda tersebut, Paus Fransiskus mencatat, "tidak mampu membuka hatinya untuk bersukacita dan memilih kesedihan". Mengapa hal ini? Jawabannya jelas : "Karena ia memiliki banyak harta. Ia melekat pada barang". Selanjutnya, Yesus sendiri memperingatkan bahwa "kita tidak dapat mengabdi kepada dua tuan : kamu melayani Tuhan atau kamu melayani kekayaan". Mengacu tema yang beliau bicarakan beberapa hari yang lalu, Paus Fransiskus menjelaskan : "kekayaan tidaklah buruk dalam diri mereka sendiri", tetapi ia buruk ketika kita "melayani kekayaan ini". Dan maka orang muda itu pergi dengan sedih : "Wajahnya muram dan ia pergi dengan sedih".
Adegan ini juga menyoroti kehidupan kita sehari-hari "dalam paroki-paroki, komunitas-komunitas dan lembaga-lembaga". Memang, Paus Fransiskus mengatakan, jika "kita menemukan orang-orang yang mengatakan mereka Kristen, dan ingin menjadi Kristen, tetapi sedih", itu berarti bahwa ada sesuatu yang "tidak benar". Tugas setiap orang untuk membantu orang-orang ini "untuk menemukan Yesus, untuk mencampakkan kesedihan itu, sehingga mereka dapat bersukacita dalam Injil dan memiliki sukacita ini yang benar-benar dari Injil".
Paus Fransiskus ingin memperluas atas konsep pokok ini, dan mengaitkan sukacita dengan ketakjuban yang muncul - sebagaimana diingatkan Petrus dalam suratnya - "di hadapan pewahyuan, di hadapan kasih Allah, di hadapan perasaan-perasaan akan Roh Kudus". Oleh karena itu kita dapat mengatakan bahwa "orang Kristen adalah pria atau wanita ketakjuban".
Satu kata - "ketakjuban" - yang juga kembali pada akhir perikop Injil hari itu, "ketika Yesus menjelaskan kepada para rasul bagaimana orang muda yang baik ini tidak bisa mengikuti-Nya, karena ia melekat pada kekayaan, dan mengatakan bahwa sangatlah sulit bagi orang-orang kaya, orang-orang yang melekat pada kekayaan, untuk masuk ke dalam kerajaan Surga". Kita membaca bahwa mereka "lebih terkejut" dan bertanya : "siapa yang dapat diselamatkan?".
Paus Fransiskus menjelaskan bahwa seorang manusia, seorang Kristen, bisa begitu kagum di hadapan keagungan dan keindahan seperti itu, yang ia mungkin berpikir : "Aku tidak bisa melakukannya. Aku tidak tahu bagaimana melakukannya!". Tetapi memandang wajah murid-murid-Nya, Yesus memberi mereka jawaban yang menghibur : "Bagi manusia hal itu tidak mungkin, tetapi bukan demikian bagi Allah!". Kita bisa, oleh karena itu, menghayati "sukacita Kristen", "keheranan sukacita" dan diselamatkan "dari sebuah kehidupan yang melekat pada benda-benda, pada keduniawian", hanya "dengan kekuatan Allah, kekuatan Roh Kudus".
Oleh karena itu, Paus Fransiskus mengakhiri homilinya dengan sebuah undangan, dengan mengatakan "marilah kita mohon kepada Tuhan hari ini untuk memberikan kita ketakjuban di hadapan-Nya, di hadapan banyak harta rohani yang telah Ia berikan kepada kita; dan dengan ketakjuban ini agar Ia memberi kita sukacita, sukacita kehidupan kita dan sukacita hidup di tengah-tengah banyak kesulitan dengan kedamaian dalam hati kita; semoga Ia melindungi kita dari mencari kebahagiaan dalam banyak hal yang akhirnya membuat kita sedih : hal-hal yang menjanjikan banyak, tetapi tidak akan memberi kita apa-apa". Kesimpulannya, "ingatlah hal ini dengan baik : orang Kristen adalah pria atau wanita sukacita, sukacita di dalam Tuhan; pria atau wanita keheranan".
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.