Liturgical Calendar

HOMILI PAUS FRANSISKUS DALAM MISA 13 September 2016 : BEKERJA BAGI SEBUAH BUDAYA PERJUMPAAN

Bacaan Ekaristi : 1Kor. 12:12-14,27-31a; Mzm. 100:2,3,4,5; Luk. 7:11-17

Undangan untuk bekerja bagi "budaya perjumpaan" dengan cara yang sederhana "seperti yang dilakukan Yesus" : tidak hanya melihat tetapi memperhatikan, tidak hanya mendengar tetapi mendengarkan, tidak hanya melewati orang-orang tetapi berhenti bersama mereka, tidak hanya mengatakan "Sungguh memalukan, orang-orang miskin", tetapi membiarkan diri kalian tergerak oleh belas kasihan; "dan kemudian mendekat, menjamah dan mengatakan : 'Janganlah menangis' dan memberikan setidaknya satu tetes kehidupan". Paus Fransiskus menggunakan kata-kata ini dalam homilinya selama Misa harian Selasa pagi 13 September 2016 di Casa Santa Marta, Vatikan, untuk menggambarkan pesan yang terkandung dalam bacaan-bacaan liturgi.

Berfokus khususnya pada kisah Injil Lukas tentang janda Nain (7:11-17), Paus Fransiskus menyoroti bagaimana bagian dari "Sabda Allah" ini berbicara tentang "sebuah perjumpaan. Ada sebuah perjumpaan di antara orang-orang, sebuah perjumpaan di antara orang-orang yang berada di jalan". Dan ini, beliau mengulas, adalah "sesuatu yang tidak lumrah". Bahkan, "ketika kita pergi ke jalan, setiap orang memikirkan dirinya sendiri : ia melihat, tetapi tidak memperhatikan; ia mendengar, tetapi tidak mendengarkan "; singkatnya, semua orang menjalani jalan mereka sendiri. Dan akibatnya "orang-orang melewati satu sama lain, tetapi mereka tidak saling berjumpa". Karena, beliau menjelaskan, "sebuah perjumpaan adalah sesuatu yang lain" sama sekali, dan itulah "apa yang diwartakan Injil hari ini kepada kita : sebuah perjumpaan antara seorang pria dan seorang wanita, antara anak tunggal yang masih hidup dan anak tunggal yang sudah mati; antara sekelompok orang yang bahagia - bahagia karena mereka telah berjumpa Yesus dan mengikuti-Nya - dan sekelompok orang yang menangis ketika mereka menemani wanita tersebut", yang sudah menjanda dan pergi untuk menguburkan anak tunggalnya.

"Injil mengatakan : 'Ketika Tuhan melihat janda itu, tergeraklah hati-Nya oleh belas kasihan'". Dalam hal ini, Paus Fransiskus mengatakan bahwa bukanlah "pertama kalinya" Injil berbicara tentang belas kasihan Kristus. "Ketika Yesus melihat orang banyak, pada hari penggandaan roti", Ia juga tersita dengan belas kasihan yang besar, Paus Fransiskus mengatakan, "dan di depan makam sahabat-Nya Lazarus, Ia menangis".

Belas kasihan ini, Paus Fransiskus mengingatkan, tidak sama dengan apa yang biasanya kita rasakan "ketika, misalnya, kita pergi keluar ke jalan dan melihat sesuatu yang menyedihkan : 'Sungguh memalukan!'". Lagipula, "Yesus tidak mengatakan : 'Betapa seorang wanita yang miskin!'". Sebaliknya, "Ia melangkah lebih jauh. Ia ditangkap dengan belas kasihan. "Dan Ia mendekat dan berbicara kepadanya. Ia mengatakan kepadanya : Jangan menangis'". Dengan cara ini, "Yesus, dengan kasih sayang-Nya, melibatkan dirinya dengan masalah perempuan itu. "Ia mendekat, Ia berbicara kepadanya dan ia menjamah'. Injil mengatakan bahwa Ia menjamah peti mati. Tentunya, bagaimanapun, ketika Ia mengatakan 'jangan menangis', ia menjamah janda juga. Sebuah pelukan. Karena Yesus tergerak. Dan kemudian Ia melakukan mukjizat": yaitu, Ia mengangkat orang kepada kehidupan.

Jadi Paus menunjukkan sebuah analogi : "Anak tunggal yang sudah meninggal menyerupai Yesus, dan ia berubah menjadi anak tunggal yang masih hidup, seperti Yesus. Dan tindakan Yesus benar-benar menunjukkan kelembutan sebuah perjumpaan, serta tidak hanya kelembutan, tetapi kesuburan sebuah perjumpaan. 'Orang yang meninggal tersebut duduk dan mulai berbicara, dan Yesus mengembalikannya kepada ibunya'. Ia tidak mengatakan : 'mukjizat telah terjadi'. Tidak, Ia berkata : 'Marilah, bawalah dia, ia adalah milikmu'". Itulah sebabnya "setiap perjumpaan berbuah. Setiap perjumpaan mengembalikan orang-orang dan hal-hal ke tempat mereka"..

Kotbah ini juga menjangkau orang-orang saat ini, yang jauh yang begitu "terbiasa terhadap sebuah budaya ketidakpedulian" dan yang oleh karena itu perlu "bekerja dan memohon rahmat untuk membangun sebuah budaya perjumpaan, budaya perjumpaan yang berbuah ini, perjumpaan ini yang mengembalikan kepada setiap orang martabat mereka sebagai anak-anak Allah, martabat orang-orang yang hidup". Kita "terbiasa terhadap ketidakpedulian ini", kata Paus Fransiskus, entah "ketika kita melihat bencana dunia ini" atau ketika dihadapkan dengan "hal-hal kecil". Kita membatasi diri kita dengan mengatakan : "Oh, sungguh memalukan, orang-orang miskin, mereka sangat menderita", dan kemudian kita berjalan terus. Paus Fransiskus menjelaskan bahwa sebuah perjumpaan, bagaimanapun juga, berbeda : "Jika aku tidak memperhatikan, - melihat tidaklah cukup, tidak : memperhatikan - jika aku tidak berhenti, jika aku tidak memperhatikan, jika aku tidak menjamah, jika aku tidak berbicara, jika aku tidak dapat menciptakan sebuah perjumpaan dan aku tidak bisa membantu untuk menciptakan sebuah budaya perjumpaan".

Menggambarkan adegan Injil selanjutnya, Paus Fransiskus menyoroti itu pada melihat mukjizat yang dilakukankan Yesus, "orang-orang tersita oleh rasa takut dan memuliakan Allah. Dan saya ingin melihat di sini juga", Paus Fransiskus menjelaskan, "perjumpaan hari demi hari antara Yesus dan mempelai-Nya, Gereja, yang menanti kedatangan-Nya. Dan setiap kali Yesus menemukan orang yang kesakitan, orang berdosa, orang di jalan, Ia memandang mereka, Ia berbicara kepada mereka, Ia kembali kepada mempelai-Nya". Oleh karena itu, "inilah pesan hari ini : perjumpaan Yesus dengan umat-Nya; perjumpaan Yesus yang melayani, yang menolong, yang adalah hamba, yang merendahkan diri-Nya, yang penuh belas kasihan dengan semua orang yang membutuhkan". "Ketika kita mengatakan 'mereka yang membutuhkan' kita tidak hanya memikirkan para tunawisma", tetapi juga "diri kita sendiri, yang membutuhkan", Paus Fransiskus mengatakan, "membutuhkan kata-kata Yesus, pelukan-Nya - dan juga membutuhkan orang-orang yang kita kasihi". Menawarkan contoh nyata, Paus Fransiskus menjelaskan gambaran sebuah keluarga yang berkumpul di meja : "begitu sering orang-orang makan sambil menonton televisi atau menulis pesan pada telepon mereka. Setiap orang acuh tak acuh terhadap perjumpaan itu. Bahkan tepat di sanalah inti masyarakat, yang merupakan keluarga, tidak ada perjumpaan", beliau berkata. Oleh karena itu nasehat akhir "bekerjalah bagi budaya perjumpaan, dengan cara sederhana, seperti yang dilakukan Yesus".

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.