Liturgical Calendar

HOMILI PAUS FRANSISKUS DALAM MISA HARI RAYA KABAR SUKACITA DI TAMAN MONZA - MILAN, ITALIA - 25 Maret 2017 : TIGA KUNCI AGAR DAPAT MENERIMA PERUTUSAN

Bacaan Ekaristi : Yes. 7:10-14; 8:10; Mzm. 40:7-8a,8b-9,10,11; Ibr. 10:4-10; Luk. 1:26-38

Kita baru saja mendengar pengumuman yang paling penting dari sejarah kita : Kabar Sukacita kepada Maria (bdk. Luk 1:26-38) - sebuah perikop yang padat, penuh kehidupan, yang saya suka baca dalam terang pengumuman lain : pengumuman kelahiran Yohanes Pembaptis (bdk. Luk 1:5-20). Dua pengumuman yang berturutan dan yang dipersatukan; dua pengumuman yang, bila diperbandingkan dengan jelas, menunjukkan kepada kita apa yang diberikan Allah kepada kita di dalam Putra-Nya.

Kabar Sukacita tentang Yohanes Pembaptis terjadi ketika Zakharia, sang imam, siap sedia untuk memulai upacara liturgi memasuki Ruang Kudus Bait Allah, sementara segenap hadirin sedang berada di luar menunggu. Kabar Sukacita tentang Yesus, sebaliknya, terjadi di suatu tempat terpencil di Galilea, di sebuah kota pinggiran dan tanpa reputasi baik tertentu (bdk. Yoh 1:46), dalam rumah tak terknal seorang gadis yang bernama Maria.

Sebuah perbandingan yang jelas, yang tidak menyebutkan satu per satu, yang menunjukkan bahwa Bait Allah yang baru, perjumpaan baru Allah dengan umat-Nya akan berlangsung di tempat-tempat yang umumnya tidak kita harap, di perbatasan, di pinggiran. Di sana, mereka akan bertemu, di sana mereka akan saling berjumpa, Allah akan menjadi daging di sana untuk berjalan bersama-sama kita dari rahim Bunda-Nya. Sekarang Ia tidak akan lagi berada di sebuah tempat yang disediakan untuk beberapa orang sementara kebanyakan orang tetap berada di luar dengan pengharapan. Tak satu pun dan tak seorang pun yang akan acuh tak acuh terhadap-Nya, tidak ada situasi yang akan terampas dari hadirat-Nya : sukacita keselamatan dimulai dalam kehidupan sehari-hari rumah seorang gadis dari Nazaret.

Allah sendiri adalah sosok yang mengambil prakarsa dan memilih untuk memasukkan diri-Nya, seperti yang Ia lakukan bersama Maria, dalam rumah-rumah kita, dalam perjuangan-perjuangan sehari-hari, sarat kecemasan-kecemasan bersama-sama dengan keinginan-keinginan kita. Dan pada kenyataannya di dalam kota-kota kita, sekolah-sekolah dan universitas-universitas, lapangan-lapangan dan rumah-rumah sakit kitalah pengumuman paling yang paling indah itu kita bisa dengar terpenuhi : "Bersukacitalah, Tuhan besertamu". Sukacitalah yang menghasilkan kehidupan, yang menghasilkan pengharapan, yang menjadi daging dalam cara kita melihat hari esok, dalam sikap yang dengannya kita melihat orang lain. Sukacitalah yang menjadi kesetiakawanan, keramahtamahan, dan kerahiman terhadap semua orang.

Seperti Maria, kita juga bisa menjadi galau. "Bagaimana hal ini akan terjadi" di saat-saat begitu sarat pertimbangan? Ada pertimbangan tentang kehidupan, tentang pekerjaan, tentang keluarga. Ada pertimbangan tentang orang miskin dan tentang para migran; ada pertimbangan tentang orang-orang muda dan tentang masa depan mereka. Semua tampaknya dikurangi menjadi angka-angka, melupakan, di sisi lain, bahwa kehidupan sehari-hari begitu banyak keluarga diwarnai dengan kerawanan dan ketidakamanan. Sementara kesedihan mengetuk banyak pintu, sementara begitu banyak orang muda tumbuh tidak puas karena kurangnya kesempatan-kesempatan nyata, pertimbangan berlimpah-limpah di mana-mana.

Irama yang memusingkan yang kita alami pasti tampaknya merampok kita dari pengharapan dan sukacita. Tekanan-tekanan dan kemandulan dalam menghadapi begitu banyak situasi tampaknya melayukan pikiran dan membuat kita tidak peka dalam menghadapi tantangan-tantangan yang tak terhitung banyaknya. Dan, secara lawan asas, ketika segalanya dipercepat untuk membangun - dalam teori - sebuah masyarakat yang lebih baik, pada akhirnya tidak ada waktu untuk apa pun atau siapa pun. Kita kehilangan waktu untuk keluarga, waktu untuk jemaat, kita kehilangan waktu untuk persahabatan, untuk kesetiakawanan dan untuk mengingat.

Akan ada baiknya kita bertanya kepada kita diri sendiri : Bagaimana mungkin menghayati sukacita Injil hari ini di dalam kota-kota kita? Mungkinkah pengharapan kristiani dalam situasi ini, di sini dan kini?

Kedua pertanyaan ini menyentuh jatidiri kita, kehidupan keluarga-keluarga kita, kehidupan negara-negara kita <dan> kehidupan kota-kota kita. Mereka menyentuh kehidupan anak-anak kita, kehidupan orang-orang muda kita dan mereka menuntut pada pihak kita sebuah cara baru penempatan diri kita dalam sejarah. Jika sukacita dan pengharapan kristiani terus menjadi mungkin kita tidak bisa, kita tidak ingin tetap di hadapan begitu banyak situasi yang menyakitkan hanya sebagai penonton yang memandang langit berharap agar "hujan berhenti". Semua yang terjadi menuntut dari kita agar kita memandang masa sekarang dengan keberanian, dengan keberanian orang yang memahami bahwa sukacita keselamatan mengambil bentuk dalam kehidupan sehari-hari rumah seorang gadis dari Nazaret.

Berhadapan dengan kegalauan Maria, berhadapan dengan kegalauan kita, ada tiga kunci yang ditawarkan Malaikat kepada kita untuk membantu kita menerima perutusan yang dipercayakan kepada kita.

1. Membangkitkan ingatan.

Hal pertama yang dilakukan Malaikat adalah membangkitkan ingatan, sehingga membeberkan kehadiran Maria terhadap seluruh sejarah keselamatan. Ia membangkitkan janji dibuat terhadap Daud sebagai buah Perjanjian dengan Yakub. Maria adalah putri Perjanjian. Kita juga diundang hari ini untuk mengingat, untuk melihat masa lalu kita agar tidak melupakan dari mana kita berasal, agar tidak melupakan nenek moyang kita, kakek-nenek kita dan semua yang mereka alami datang ke tempat kita berada hari ini. Tanah ini dan penduduknya telah mengenal kesedihan dua perang dunia dan kadang-kadang telah melihat kemasyuran yang pantas dari industri dan peradaban mereka tercemar oleh ambisi-ambisi yang sukar dikendalikan. Ingatan tersebut membantu kita untuk tidak tetap tertawan wacana-wacana yang menaburkan keretakan dan perpecahan sebagai satu-satunya cara untuk menyelesaikan perseteruan-perseteruan. Membangkitkan ingatan adalah penangkal terbaik terhadap watak kita dalam menghadapi penyelesaian-penyelesaian perpecahan dan keterasingan yang sakti.

2. Milik Umat Allah.

Ingatan memungkinkan Maria memperuntukkan dirinya menjadi milik umat Allah. Ada baiknya bagi kita untuk mengingat bahwa kita adalah anggota-anggota umat Allah! Umat Milan, ya, umat Ambrosius, tentu saja, tetapi bagian umat Allah yang besar - sebuah umat yang terdiri dari ribuan wajah, sejarah, asal usul, sebuah umat yang beragam budaya dan beragam etnis. Inilah salah satu kekayaan kita. Sebuah umat dipanggil untuk menyambut perbedaan, memadukan mereka dengan rasa hormat dan daya cipta serta merayakan kebaruan yang berasal dari orang lain; sebuah umat yang tidak takut merangkul perbatasan, sepadan; sebuah umat yang tidak takut untuk memberikan keramahan kepada orang yang membutuhkan karena ia tahu bahwa Tuhannya hadir di sana.

3. Kemungkinan dari yang tidak mungkin.

"Tidak ada yang mustahil bagi Allah" (Luk 1:37) : demikianlah akhirnya jawaban Malaikat kepada Maria. Ketika kita percaya bahwa segala sesuatu tergantung pada kemampuan kita, pada kekuatan kita, pada cakrawala kita yang bersifat rabun jauh, ketika, sebagai gantinya, kita siap untuk membiarkan diri kita dibantu, membiarkan diri kita dinasihati, ketika kita membuka diri terhadap rahmat, tampaknya yang tidak mungkin mulai menjadi mungkin. Tanah-tanah ini memahami dengan baik bahwa, dalam perjalanan sejarah mereka, telah menghasilkan begitu banyak karisma, begitu banyak misionaris, begitu banyak kekayaan untuk kehidupan Gereja! Berkali-kali bahwa, mengatasi kemandulan dan pesimisme yang memecah belah, mereka membuka diri mereka terhadap prakarsa Allah dan dapat menjadi tanda-tanda bagaimana berlimpahnya sebuah tanah yang tidak tertutup dalam gagasan-gagasannya sendiri, dalam keterbatasannya dan dalam kemampuannnya serta terbuka kepada orang lain.


Seperti kemarin, Allah terus mencari rekan, Ia terus mencari laki-laki dan perempuan mampu percaya, mampu mengingat, mampu merasakan bagian umat-Nya untuk bekerja sama dengan daya cipta Roh Kudus. Allah terus melangkahi pinggiran-pinggiran kota dan jalan-jalan kita. Ia memaksakan diri-Nya di setiap tempat dalam mencari hati yang mampu mendengarkan undangan-Nya dan membuatnya menjadi daging di sini dan sekarang. Mengartikan Santo Ambrosius dalam ulasannya tentang bagian ini, kita dapat mengatakan : Allah terus mencari hati seperti hati Maria, mau percaya bahkan dalam kondisi yang sama sekali luar biasa (bdk. Esposizione del vangelo sec Luca II: 17: PL 15, 1559). Semoga Tuhan membuat iman ini dan pengharapan ini tumbuh dalam diri kita.

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.