Penjajahan budaya dan ideologi tidak mentolerir perbedaan dan menyamaratakan segalanya, mengakibatkan penindasan bahkan terhadap orang-orang percaya. Itulah permenungan Paus Fransiskus dalam homilinya selama Misa harian Selasa pagi 21 November 2017 di Casa Santa Marta, Vatikan. Beliau memusatkan homilinya pada kemartiran Eleazar yang diceritakan dalam kitab Makabe pada Bacaan Pertama (2Mak 6:18-31).
Paus Fransiskus mencatat bahwa ada tiga macam penindasan pokok : penindasan yang murni keagamaan; penindasan "campuran" yang memiliki motivasi keagamaan dan politik, seperti Perang Tiga Puluh Tahun atau Pembantaian Hari Santo Bartolomeus; dan semacam penindasan budaya, ketika sebuah budaya baru datang dalam keinginan untuk "menjadikan segala sesuatu baru dan membuat kehancuran dalam segala hal : budaya, hukum dan agama suatu umat". Macam penindasan terakhir inilah yang menyebabkan kemartiran Eleazar.
Kisah penindasan ini dimulai dalam bacaan liturgi hari Senin (1Mak 1:10-15,41-43,54-57,62-64). Beberapa orang Yahudi, melihat kekuatan dan keelokan yang luar biasa dari Antiokhus Epifanes (raja Yunani Kekaisaran Seleukus), ingin bersekutu dengannya. Mereka ingin tidak ketinggalan zaman dan modern, maka mereka mendekati raja dan meminta kepadanya untuk mengizinkan mereka "memperkenalkan lembaga-lembaga kafir bangsa-bangsa lain" di antara bangsa mereka sendiri. Belum tentu gagasan-gagasan atau dewa-dewa bangsa-bangsa tersebut, Paus Fransiskus mencatat, tetapi lembaga-lembaga. Dengan cara ini, bangsa tersebut terbawa sebuah budaya baru, "lembaga-lembaga baru" untuk membuat kehancuran dalam segala hal : "budaya, agama, hukum" mereka. Modernisasi ini, pembaharuan segalanya ini, Paus Fransiskus menekan, adalah sebuah penjajahan ideologi yang sesungguhnya yang ingin memaksakan pada bangsa Israel "praktik unik ini", yang berdasarkan padanya segalanya dilakukan dengan cara tertentu, dan tidak ada kebebasan untuk hal-hal lain. Beberapa orang menerimanya karena tampaknya baik menjadi seperti orang lain; dan maka tradisi-tradisi dikesampingkan, dan orang-orang mulai hidup dengan cara yang berbeda.
Tetapi untuk mempertahankan "tradisi-tradisi yang sesungguhnya" dari bangsa Israel, perlawanan bangkit, seperti perlawanan Eleazar, yang sangat bermartabat, dan dihormati oleh semua orang. Kitab Makabe, kata Paus Fransiskus, menceritakan tentang para martir ini, para pahlawan ini. Sebuah penindasan yang lahir dari penjajahan ideologi selalu berjalan dengan cara yang sama : menghancurkan, mencoba menyamaratakan semua orang. Penindasan semacam itu tidak mampu menoleransi perbedaan-perbedaan.
Kata kunci yang disoroti oleh Paus Fransiskus, yang dimulai dengan Bacaan hari Senin adalah "akar busuk" - yaitu Antiokhus Epifanes : akar yang datang untuk memperkenalkan ke dalam umat Allah, "dengan kuasa", kebiasaan-kebiasaan baru, kafir, duniawi ini :
"Dan inilah jalan penjajahan budaya yang akhirnya juga menindas orang-orang percaya. Tetapi kita tidak perlu pergi terlalu jauh untuk melihat beberapa contoh : kita memikirkan genosida-genosida abad yang lalu, yang merupakan sesuatu budaya yang baru : [mencoba membuat] semua orang sama rata; [sehingga] tidak ada tempat untuk perbedaan-perbedaan, tidak ada tempat bagi orang lain, tidak ada tempat bagi Allah. Penjajahan budaya adalah akar yang busuk. Berhadapan dengan penjajahan budaya ini, yang timbul dari kegigihan sebuah akar ideologis, Eleazar sendiri telah menjadi akar [yang menentang].
Sebenarnya, Eleazar meninggal memikirkan orang-orang muda, meninggalkan mereka sebuah teladan yang mulia. "Ia memberikan nyawa[-nya]; karena mengasihi Allah Tuhan dan hukum ia dijadikan sebuah akar masa depan". Jadi, dalam menghadapi akar busuk yang menghasilkan penjajahan ideologi dan budaya tersebut", ada akar lain ini yang memberikan nyawa[-nya] bagi masa depan untuk bertumbuh".
Apa yang berasal dari kerajaan Antiokhus adalah sesuatu hal yang baru. Tetapi tidak semua hal baru adalah buruk, kata Paus Fransiskus : coba pikirkanlah Injil Yesus, yang merupakan sesuatu hal yang baru. Ketika sampai pada hal-hal baru, Paus Fransiskus berkata, kita harus bisa membuat pembedaan-pembedaan :
"Ada kebutuhan untuk membedakan 'hal-hal baru' : Apakah hal baru ini berasal dari Tuhan, apakah hal baru ini berasal dari Roh Kudus, apakah hal baru ini berakar pada Allah? Atau apakah kebaruan ini berasal dari akar yang busuk? Tetapi sebelumnya, [misalnya] ya, membunuh anak-anak adalah sebuah dosa; tetapi hari ini bukan sebuah masalah, itu adalah hal baru yang busuk. Kemarin, perbedaan-perbedaannya jelas, sebagaimana Allah menjadikannya, ciptaan dihormati; tetapi hari ini [orang-orang mengatakan] kita sedikit modern ... kamu bertindak ... kamu mengerti ... semuanya tidak begitu berbeda ... dan berbagai hal tercampur aduk".
"Hal-hal baru" Allah, di sisi lain, tidak pernah membuat sebuah "negosiasi" tetapi tumbuh dan melihat masa depan:
"Penjajahan ideologis dan budaya hanya melihat ke masa sekarang; mereka menyangkal masa lalu, dan tidak melihat masa depan. Mereka hidup pada saat ini, tidak tepat waktu, dan karena itu mereka tidak dapat menjanjikan apapun kepada kita. Dan dengan sikap membuat setiap orang sama rata dan menolak perbedaan-perbedaan ini, mereka berbuat, mereka membuat sebuah penghujatan yang sangat buruk terhadap Allah Sang Pencipta. Setiap kali penjajahan budaya dan ideologis muncul, penjajahan tersebut berdosa terhadap Allah Sang Pencipta karena ia ingin mengubah Ciptaan yang dijadikan oleh-Nya. Dan bertentangan dengan kenyataan ini yang sering terjadi dalam sejarah, hanya ada satu penawar : memberikan kesaksian; yakni, kemartiran.
Eleazar, pada kenyataannya, memberi kesaksian dengan memberikan nyawanya, mengingat warisan yang akan ia tinggalkan oleh keteladanannya : "Saya telah hidup demikian. Ya, saya berdialog dengan orang-orang yang berpikiran sebaliknya, tetapi kesaksian saya adalah demikian, sesuai dengan hukum Allah". Eleazar tidak berpikir untuk meninggalkan uang atau apapun yang semacam itu, tetapi melihat masa depan", harta peninggalan kesaksiannya", melihat kesaksian itu yang akan menjadi "sebuah janji keberhasilan bagi kaum muda". Oleh karena itu, memberikan nyawa bagi orang lain adalah sebuah akar. Dan Paus Fransiskus mengakhiri homilinya dengan harapan agar keteladanan itu "dapat membantu kita pada saat-saat kebingungan dalam menghadapi penjajahan budaya dan rohani yang sedang ditawarkan kepada kita".
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.