Bacaan Ekaristi : Hag. 1:1-8; Mzm. 149:1-2,3-4,5-6a,9b; Luk. 9:7-9.
Hari ini sabda Allah memberi kita
tiga kata yang menantang kita sebagai umat Kristiani dan para uskup Eropa :
memperhatikan, membangun kembali, dan bertemu.
Memperhatikan. Jadi Tuhan memberitahu
kita, melalui nabi Hagai. Dua kali Ia berkata kepada umat : "Perhatikanlah
keadaanmu!" (Hag 1:5.7). “Keadaan” mana yang hendaknya diperhatikan oleh
umat Allah? Marilah kita mendengar apa yang dikatakan Tuhan : "Apakah
sudah tiba waktunya bagi kamu untuk mendiami rumah-rumahmu yang dipapani dengan
baik, sedang Rumah ini tetap menjadi reruntuhan?” (ayat 4). Umat, setelah
kembali dari pembuangan, peduli untuk membangun kembali rumah mereka; sekarang,
mereka nyaman berlindung di rumah, sementara rumah Allah tetap menjadi
reruntuhan, tanpa ada yang membangunnya kembali. Kata-kata tersebut –
“Perhatikanlah keadaanmu!” – menantang karena dewasa ini, di Eropa, kita umat
Kristiani dapat tergoda untuk tetap berlindung dengan nyaman dalam tatanan,
rumah, dan gereja kita, dalam keamanan yang disediakan oleh tradisi kita, puas
dengan tingkatan kesepakatan tertentu, sementara di sekitar kita gereja-gereja
kosong melompong dan Yesus semakin dilupakan.
Pertimbangkan berapa banyak orang
yang tidak lagi lapar dan haus akan Allah! Bukan karena mereka jahat, tetapi
karena tidak ada seorang pun yang membangkitkan dalam diri mereka rasa lapar
akan iman dan memuaskan kehausan dalam hati manusia, "kehausan bawaan dan
abadi" yang dikatakan Dante (Par., II, 19) dan yang berusaha ditekan oleh
kediktatoran konsumerisme dengan lembut tetapi terus-menerus. Begitu banyak
orang didorong untuk merasakan hanya kebutuhan materi, dan bukan kebutuhan akan
Allah. Tentu kita “diasyikkan” dengan hal ini, tetapi apakah kita benar-benar
“asyik” menanggapinya? Menilai orang-orang yang tidak percaya atau membuat
daftar alasan untuk sekularisasi sangatlah mudah, tetapi pada ujung-ujungnya
tidak ada gunanya. Sabda Allah menantang kita untuk melihat ke dalam diri kita.
Apakah kita merasa prihatin dan berbelas kasih kepada orang-orang yang tidak
memiliki sukacita perjumpaan dengan Yesus atau yang telah kehilangan sukacita
itu? Apakah kita nyaman karena jauh di lubuk hati kita berjalan seperti biasa,
atau apakah kita terganggu ketika melihat begitu banyak saudara dan saudari
kita jauh dari sukacita Yesus?
Melalui nabi Hagai, Tuhan meminta
umat-Nya untuk memperhatikan hal lain : “Kamu makan, tetapi tidak sampai
kenyang; kamu minum, tetapi tidak sampai puas; kamu berpakaian, tetapi badanmu
tidak sampai panas” (ayat 6). Dengan kata lain, umat memiliki semua yang mereka
inginkan, tetapi mereka tidak bahagia. Apa yang kurang dari mereka? Yesus
menyarankan jawabannya dengan kata-kata yang tampaknya menggemakan Hagai :
“Sebab ketika Aku lapar, kamu tidak memberi Aku makan; ketika Aku haus, kamu
tidak memberi Aku minum; ketika Aku telanjang, kamu tidak memberi Aku pakaian”
(Mat 25:42-43). Kurangnya amal kasih menyebabkan ketidakbahagiaan, karena hanya
kasih yang memuaskan hati manusia. Peduli hanya dengan urusan mereka, penduduk
Yerusalem telah kehilangan rasa tanpa pamrih. Hal ini juga bisa menjadi
persoalan kita : berkonsentrasi pada berbagai posisi dalam Gereja, pada
diskusi, agenda dan strategi, dan kehilangan pandangan akan program yang
sesungguhnya, yaitu Injil : dorongan cinta kasih, semangat tanpa pamrih. Solusi
untuk persoalan dan keasyikan diri selalu merupakan pemberian tanpa pamrih.
Tidak ada yang lain. Ini adalah sesuatu yang harus diperhatikan.
Setelah memperhatikan, ada langkah
lain : membangun kembali. “Bangunlah Rumah itu", firman Tuhan melalui nabi
Hagai (Hag 1:8), dan umat membangun kembali Bait Suci. Mereka berhenti merasa
puas dengan pemberian penuh kedamaian dan mulai bekerja untuk masa depan. Namun
karena beberapa orang menentang hal ini, Kitab Tawarikh memberitahu kita bahwa
orang-orang bekerja dengan satu tangan di atas batu, untuk membangun, dan
tangan lainnya di atas pedang, untuk mempertahankan proses pembangunan kembali
ini. Bukan hal yang mudah untuk membangun kembali bait suci. Inilah yang
diperlukan untuk membangun rumah bersama Eropa : meninggalkan kemanfaatan
jangka pendek dan kembali ke visi para pendiri negara yang berpandangan jauh ke
depan, apa yang saya berani sebutkan sebagai visi kenabian secara keseluruhan.
Mereka tidak mencari kesepakatan singkat, tetapi memimpikan masa depan untuk
semuanya. Beginilah cara dinding rumah Eropa didirikan, dan hanya dengan cara
ini dinding rumah Eropa dapat dibangun. Hal yang sama berlaku untuk Gereja,
rumah Allah. Untuk membuatnya indah dan ramah, kita perlu bersama-sama melihat
ke masa depan, bukan mengembalikan masa lalu. Sayangnya, “restorasi” tertentu
dari masa lalu saat ini sedang populer, yang membunuh kita semua. Tentu kita
harus mulai dari landasan, ya benar-benar dari akar kita, karena di situlah
pembangunan kembali dimulai : dari tradisi Gereja yang hidup, yang didasarkan
pada apa yang paling penting, Kabar Baik, kedekatan dan kesaksian. Kita perlu membangun
kembali Gereja dari landasannya di setiap waktu dan tempat, dari menyembah
Allah dan mengasihi sesama, dan bukan dari selera kita, bukan dari persekutuan
atau negosiasi apa pun yang mungkin kita buat untuk membela Gereja atau
Kekristenan.
Saudara-saudara terkasih, saya ingin
mengucapkan terima kasih atas pekerjaan pembangunan kembali yang sedang kamu
kejar berkat rahmat Allah; ini tidak mudah. Terima kasih untuk lima puluh tahun
pertama dalam pelayanan Gereja dan Eropa ini. Marilah kita saling menyemangati,
tanpa pernah berputus asa atau menyerah pada kepasrahan. Tuhan memanggil kita
untuk pekerjaan yang luar biasa, pekerjaan membuat rumah-Nya semakin ramah,
sehingga setiap orang dapat masuk dan tinggal di sana, sehingga Gereja dapat
membuka pintu bagi semua orang dan tidak seorang pun akan tergoda untuk hanya
memikirka menjaga pintu dan mengganti kunci, godaan sederhana itu. Tidak,
perubahan terjadi di tempat lain: perubahan berasal dari akarnya. Dari sanalah
pembangunan kembali terjadi.
Orang Israel membangun kembali Bait
Suci dengan tangan mereka sendiri. Begitu pula para pembangun besar iman di
benua ini. Marilah kita lihat para kudus pelindungnya. Mereka melakukan bagian
kecil mereka, percaya kepada Allah. Saya memikirkan para kudus seperti Martinus,
Fransiskus, Dominikus, Pio dari Pietrelcina, yang pestanya kita rayakan hari
ini; para kudus pelindung seperti Benediktus, Sirilus dan Metodius, Bridget,
Katarina dari Siena dan Teresa Benedicta dari Salib. Mereka memulai dengan diri
mereka, dengan mengubah hidup mereka dengan menerima rahmat Allah. Mereka tidak
peduli dengan masa-masa kekelaman, kesulitan dan perpecahan yang selalu hadir.
Mereka tidak membuang waktu untuk mengkritik atau menyalahkan. Mereka
menghayati Injil, tanpa mengkhawatirkan sangkut-paut atau politik. Jadi, dengan
kekuatan kasih Allah yang lembut, mereka mewujudkan gaya kedekatan, kasih
sayang, dan kelembutan-Nya – karena itulah gaya Allah. Mereka membangun biara,
mereklamasi tanah, menghidupkan semangat individu dan negara. Mereka tidak
memiliki program "sosial", tetapi Injil semata. Dan mereka
melaksanakan Injil.
Membangun kembali rumah-Ku. Di sini
kata kerja "membangun kembali" dalam bentuk jamak. Semua pembangunan
kembali terjadi bersama-sama, dalam kesatuan, dengan orang lain. Visi boleh
berbeda, tetapi persatuan harus selalu dijaga. Karena jika kita memelihara
rahmat secara keseluruhan, Tuhan terus membangun, bahkan ketika kita sendiri
gagal. Rahmat secara keseluruhan. Inilah panggilan kita : menjadi Gereja,
bersama-sama, sebagai satu Tubuh. Inilah panggilan kita sebagai para gembala :
mengumpulkan kawanan domba; tidak mencerai-beraikannya atau menjaganya tetap
tertutup oleh pagar halus, yang sebenarnya akan membunuhnya. Membangun kembali
berarti menjadi pengrajin persekutuan, penjalin persatuan di setiap tingkatan :
bukan dengan tipu muslihat tetapi dengan Injil.
Jika kita membangun kembali dengan
cara ini, kita akan memungkinkan saudara-saudari kita untuk melihat. Inilah
kata ketiga, yang muncul di akhir Bacaan Injil hari ini. Herodes berusaha
supaya dapat "bertemu" dengan Yesus (bdk. Luk 9:9). Sekarang seperti
dulu, banyak orang berbicara tentang Yesus. Pada masa itu, mereka mengatakan :
“Yohanes telah bangkit dari antara orang mati ... Elia telah muncul kembali ...
seorang dari nabi-nabi dahulu telah bangkit” (Luk 9:7-8). Semua orang itu
menghormati Yesus, tetapi mereka tidak memahami kebaruan-Nya; mereka
memasukkan-Nya ke dalam gagasan yang terbentuk sebelumnya : Yohanes, Elia, para
nabi. Tetapi, Yesus tidak dapat dimasukkan ke dalam kotak desas-desus atau déja
vu. Yesus selalu baru, selalu. Perjumpaan dengan-Nya selalu menimbulkan
keheranan, dan jika kamu tidak merasakan keheranan itu dalam perjumpaan, kamu
belum berjumpa dengan Yesus.
Begitu banyak orang di Eropa melihat
iman sebagai déja vu, peninggalan masa lalu. Mengapa? Karena mereka
belum melihat Yesus bekerja dalam hidup mereka. Seringkali hal ini adalah
karena kita, dengan hidup kita, belum cukup menunjukkan Dia kepada mereka.
Allah menjadikan diri-Nya terlihat dalam wajah dan tindakan manusia yang
diubahrupa oleh kehadiran-Nya. Jika umat Kristiani, alih-alih memancarkan
sukacita Injil yang menjangkit, terus berbicara dalam bahasa religius
intelektual dan moralistik yang sudah usang, orang tidak akan dapat melihat
Sang Gembala yang Baik. Mereka tidak akan mengenali Dia yang mengasihi setiap
domba-Nya, memanggil mereka dengan namanya, dan memanggul mereka di pundak-Nya.
Mereka tidak akan melihat Dia yang sengsara-Nya luar biasa yang kita beritakan
: karena itu adalah sengsara yang menghanguskan, sengsara demi umat manusia.
Kasih yang ilahi, penuh belas kasihan dan kuat ini dengan sendirinya merupakan
kebaruan Injil yang abadi. Saudara-saudara terkasih, kita dituntut membuat
keputusan yang bijaksana dan berani, yang dibuat atas nama kasih yang gila yang
dengannya Kristus telah menyelamatkan kita. Yesus tidak meminta kita untuk
membuat alasan untuk Allah, Ia meminta kita untuk menunjukkan kepada-Nya, sama
seperti yang dilakukan para kudus, bukan dengan kata-kata tetapi dengan hidup
kita. Ia memanggil kita menuju doa dan kemiskinan, kreativitas dan
ketanpapamrihan. Marilah kita membantu Eropa dewasa ini – pingsan karena
kelelahan yang merupakan penyakit Eropa dewasa ini – untuk menemukan kembali
wajah muda Yesus dan Mempelai-Nya. Bagaimana kita bisa gagal mengabdikan diri
sepenuhnya untuk membuat semua orang melihat keindahan yang tak pernah pudar
ini?
_____
(Peter Suriadi - Bogor, 24 September 2021)
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.