Dalam
kegelapan, suatu cahaya bersinar. Seorang malaikat muncul, kemuliaan Tuhan
bersinar di sekitar para gembala dan akhirnya pesan yang dinantikan selama
berabad-abad terdengar : "Hari ini telah lahir bagimu Juruselamat, yaitu
Kristus, Tuhan" (Luk 2:11). Selanjutnya malaikat itu mengatakan sesuatu
yang mengejutkan. Ia memberitahu para gembala bagaimana menemukan Allah yang
telah turun ke bumi : “Dan inilah tandanya bagimu: Kamu akan menjumpai seorang
bayi dibungkus dengan lampin dan terbaring di dalam palungan" (ayat 12).
Itulah tandanya : seorang anak, seorang bayi yang terbaring dalam kemiskinan
yang mengerikan di sebuah palungan. Tidak ada lagi cahaya terang atau paduan
suara para malaikat. Hanya seorang anak. Tidak ada yang lain, bahkan
sebagaimana telah dinubuatkan oleh Yesaya : “seorang anak telah lahir untuk
kita” (Yes 9:6).
Injil
menekankan kontras ini. Injil memaparkan kelahiran Yesus dimulai dengan Kaisar
Augustus, yang memerintahkan cacah jiwa di seluruh dunia : Injil menghadirkan
Kaisar pertama dalam seluruh keagungannya. Namun segera sesudahnya Injil
membawa kita ke Betlehem, di mana tidak ada keagungan sama sekali: hanya
seorang anak miskin yang terbungkus kain lampin, dengan para gembala berdiri di
sampingnya. Di situlah Allah berada, dalam kekecilan. Inilah pesannya : Allah
tidak muncul dalam keagungan, tetapi merendahkan diri-Nya ke dalam kekecilan.
Kekecilan adalah jalan yang dipilih-Nya untuk mendekati kita, menyentuh hati
kita, menyelamatkan kita dan membawa kita kembali kepada apa yang benar-benar
penting.
Saudara-saudari,
berdiri di depan kandang Natal, kita merenungkan apa yang sentral, di luar
semua lampu dan dekorasi. Kita merenungkan sang anak. Dalam kekecilannya, Allah
sungguh hadir. Marilah kita mengakui hal ini : "Bayi Yesus, Engkau adalah
Allah, Allah yang menjadi seorang anak". Marilah kita takjub dengan
kebenaran yang menghebohkan ini. Dia yang merangkul alam semesta perlu dipeluk
orang lain. Dia yang menciptakan matahari perlu dihangatkan. Kelembutan yang
menjelma perlu dimanjakan. Kasih yang tak terbatas memiliki hati yang sangat
kecil yang berdetak dengan lembut. Sabda yang kekal adalah seorang “bayi”,
seorang anak yang tidak bisa berkata-kata. Sang Roti kehidupan perlu diberi
makan. Sang Pencipta dunia tidak memiliki rumah. Hari ini, semuanya terjungkir
balik : Allah datang ke dunia dalam kekecilan. Keagungan-Nya tampak dalam
kekecilan.
Marilah kita
bertanya pada diri kita sendiri: dapatkah kita menerima cara Allah dalam
melakukan segala sesuatu? Inilah tantangan Natal : Allah menyatakan diri-Nya,
tetapi manusia gagal paham. Ia menjadikan diri-Nya kecil di mata dunia,
sementara kita terus mencari keagungan di mata dunia, bahkan mungkin atas
nama-Nya. Allah merendahkan diri dan kita berusaha menjadi besar. Yang
Mahatinggi pergi mencari para gembala, yang tak terlihat di tengah-tengah kita,
dan kita mencari keterlihatan. Yesus lahir untuk melayani, dan kita
menghabiskan hidup dengan mengejar kesuksesan. Allah tidak mencari kekuasaan
dan keperkasaan; Ia meminta kasih yang lembut dan kekecilan batin.
Inilah yang
hendaknya kita mohonkan kepada Yesus pada hari Natal : rahmat kekecilan.
“Tuhan, ajarilah kami untuk mencintai kekecilan. Tolonglah kami untuk memahami
bahwa kekecilan adalah jalan menuju kebesaran sejati”. Apa artinya, secara
nyata, menerima kekecilan? Pertama, percaya bahwa Allah ingin datang ke dalam
hal-hal kecil dalam hidup kita; Ia ingin menghuni kehidupan kita sehari-hari,
hal-hal yang kita lakukan setiap hari di rumah, dalam keluarga kita, di sekolah
dan di tempat kerja. Di tengah pengalaman hidup kita yang biasa, Ia ingin
melakukan hal-hal yang luar biasa. Pesan-Nya adalah pesan harapan yang sangat
besar. Yesus meminta kita untuk menemukan kembali dan menghargai hal-hal kecil
dalam kehidupan. Jika Ia hadir di sana, apa lagi yang kita butuhkan? Marilah
kita berhenti merindukan keagungan yang bukan milik kita. Marilah kita
singkirkan keluhan dan wajah murung kita, serta keserakahan yang tak pernah
terpuaskan!
Namun lebih
dari itu. Yesus tidak ingin datang hanya dalam hal-hal kecil dalam kehidupan
kita, tetapi juga dalam kekecilan kita : dalam pengalaman ketika kita merasa
lemah, rapuh, tidak berdaya, bahkan mungkin “tidak karuan”. Saudara-saudari
terkasih, jika, seperti di Betlehem, kegelapan malam menguasaimu, jika kamu
merasa dikelilingi oleh ketidakpedulian yang tak berperasaan, jika luka batinmu
berteriak, “Kamu tidak penting; kamu tidak berharga; kamu tidak akan pernah dikasihi
seperti yang kamu inginkan”, malam ini Allah kembali menjawab. Malam ini Ia
memberitahumu : “Aku mengasihimu apa adanya. Kekecilanmu tidak membuat-Ku
takut, kegagalanmu tidak menyusahkan-Ku. Aku menjadi kecil demi kamu. Demi
menjadi Allahmu, Aku menjadi saudaramu. Saudara terkasih, saudari terkasih,
jangan takut pada-Ku. Temukan dalam diri-Ku ukuran kebesaranmu. Aku dekat
denganmu, dan hanya satu hal yang Kumohon : percayalah dan bukalah hatimu
untuk-Ku”.
Menerima
kekecilan berarti sesuatu yang lain juga. Menerima kekecilan berarti merangkul
Yesus dalam diri orang-orang kecil dewasa ini. Mengasihi-Nya, yaitu, dalam diri
saudara-saudari kita. Melayani-Nya dalam diri kaum miskin, orang-orang yang
paling serupa Yesus yang lahir dalam kemiskinan. Di dalam diri mereka Ia ingin
dihormati. Pada malam kasih ini, semoga kita hanya memiliki satu ketakutan :
yaitu menghina kasih Allah, menyakiti-Nya dengan meremehkan kaum miskin dengan
ketidakpedulian kita. Yesus sangat mengasihi mereka, dan suatu hari mereka akan
menyambut kita di surga. Seorang penyair pernah menulis: “Barangsiapa telah
menemukan surga – di bawah – akan gagal di atas” (E. Dickinson, Puisi, P96-17).
Janganlah kita melupakan surga; marilah kita merawat Yesus sekarang,
membelai-Nya dalam diri orang-orang yang membutuhkan, karena di dalam diri
mereka, Ia mnjadikan diri-Nya dikenal.
Sekali lagi
kita menatap kandang Natal, dan kita melihat bahwa pada saat kelahiran-Nya
Yesus justru dikelilingi oleh orang-orang kecil, oleh kaum miskin. Siapa
mereka? Para gembala. Mereka adalah orang-orang yang paling sederhana, dan
paling dekat dengan Tuhan. Mereka menemukan-Nya karena mereka tinggal di
padang, “menjaga kawanan ternak mereka pada waktu malam” (Luk 2:8). Mereka
berada di sana untuk bekerja, karena mereka miskin. Mereka tidak punya jadwal
dalam kehidupan mereka ; semuanya tergantung pada kawanan ternak mereka. Di
mana dan bagaimana mereka hidup tidak dapat sesuai dengan keinginan mereka,
tetapi berdasarkan kebutuhan domba yang mereka gembalakan. Di sanalah Yesus
dilahirkan: dekat mereka, dekat orang-orang pinggiran yang terlupakan. Ia
datang di mana martabat manusia diuji. Ia datang untuk memuliakan orang-orang
yang dikucilkan dan Ia pertama kali mengungkapkan dirinya kepada mereka : bukan
kepada orang-orang terpelajar dan penting, tetapi kepada kaum pekerja miskin.
Malam ini dengan bermartabat Allah datang untuk menggenapi kesederhanaan kerja.
Ia mengingatkan kita pentingnya menganugerahkan martabat kepada manusia melalui
kerja, tetapi juga memberikan martabat pada kerja manusia itu sendiri, karena
manusia adalah tuannya dan bukan budaknya. Pada hari Kehidupan, marilah kita
ulangi : tidak ada lagi kematian di tempat kerja! Dan marilah kita berkomitmen
untuk memastikan hal ini.
Saat kita
memandang kandang Natal untuk terakhir kalinya, di kejauhan, kita melihat
sekilas para Majus, yang melakukan perjalanan untuk menyembah Tuhan. Saat kita
melihat lebih dekat, kita melihat bahwa di sekitar Yesus segala sesuatu datang
bersama-sama : kita tidak hanya memandang kaum miskin, para gembala, tetapi
juga orang-orang terpelajar dan orang-orang kaya, para Majus. Di Betlehem,
kaya-miskin berkumpul, mereka yang menyembah, seperti orang Majus, dan mereka
yang bekerja, seperti para gembala. Semuanya bersatu ketika Yesus berada di
pusat : bukan gagasan kita tentang Yesus, tetapi Yesus sendiri, Sosok yang
hidup.
Jadi,
saudara-saudari terkasih, marilah kita kembali ke Betlehem, marilah kita
kembali ke asal-usul : pokok iman, cinta pertama kita, adorasi dan amal kasih.
Marilah kita memandang para Majus yang melakukan peziarahan mereka, dan sebagai
Gereja sinodal, Gereja yang melakukan perjalanan, marilah kita pergi ke
Betlehem, di mana Allah ada di dalam manusia dan manusia di dalam Allah. Di
sana Allah menempati tempat pertama dan disembah; di sana kaum miskin memiliki
tempat terdekat dengan-Nya; di sana para gembala dan para Majus bergabung dalam
persaudaraan melampaui semua penamaan dan penggolongan. Semoga Allah memampukan
kita menjadi Gereja yang menyembah, miskin dan bersaudara. Itulah apa yang
terpenting. Marilah kita kembali ke Betlehem.
Ada baiknya
kita pergi ke sana, taat kepada Injil Natal, yang menunjukkan kepada kita
Keluarga Kudus, para gembala, para Majus : semua orang yang berada dalam
perjalanan. Saudara-saudari, marilah kita berangkat, karena hidup itu sendiri
adalah peziarahan. Marilah kita membangunkan diri kita, karena malam ini sebuah
terang telah dinyalakan, terang yang ramah, mengingatkan kita bahwa, dalam
kekecilan kita, kita adalah putra-putri terkasih, anak-anak terang (bdk. 1 Tes
5:5). Marilah kita bersukacita bersama, karena tidak ada seorang pun yang mampu
memadamkan terang ini, terang Yesus, yang malam ini bersinar terang di dunia
kita.
_____
(Peter Suriadi - Bogor, 25 Desember 2021)
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.