Liturgical Calendar

HOMILI PAUS FRANSISKUS DALAM MISA MALAM NATAL DI BASILIKA SANTO PETRUS, VATIKAN 24 Desember 2021 : NATAL BERKAITAN DENGAN KEKECILAN

Bacaan Ekaristi : Yes. 9:1-6; Mzm. 96:1-2a,2b-3,11-12,13; Tit. 2:11-14; Luk. 2:1-14.

 

Dalam kegelapan, suatu cahaya bersinar. Seorang malaikat muncul, kemuliaan Tuhan bersinar di sekitar para gembala dan akhirnya pesan yang dinantikan selama berabad-abad terdengar : "Hari ini telah lahir bagimu Juruselamat, yaitu Kristus, Tuhan" (Luk 2:11). Selanjutnya malaikat itu mengatakan sesuatu yang mengejutkan. Ia memberitahu para gembala bagaimana menemukan Allah yang telah turun ke bumi : “Dan inilah tandanya bagimu: Kamu akan menjumpai seorang bayi dibungkus dengan lampin dan terbaring di dalam palungan" (ayat 12). Itulah tandanya : seorang anak, seorang bayi yang terbaring dalam kemiskinan yang mengerikan di sebuah palungan. Tidak ada lagi cahaya terang atau paduan suara para malaikat. Hanya seorang anak. Tidak ada yang lain, bahkan sebagaimana telah dinubuatkan oleh Yesaya : “seorang anak telah lahir untuk kita” (Yes 9:6).

 

Injil menekankan kontras ini. Injil memaparkan kelahiran Yesus dimulai dengan Kaisar Augustus, yang memerintahkan cacah jiwa di seluruh dunia : Injil menghadirkan Kaisar pertama dalam seluruh keagungannya. Namun segera sesudahnya Injil membawa kita ke Betlehem, di mana tidak ada keagungan sama sekali: hanya seorang anak miskin yang terbungkus kain lampin, dengan para gembala berdiri di sampingnya. Di situlah Allah berada, dalam kekecilan. Inilah pesannya : Allah tidak muncul dalam keagungan, tetapi merendahkan diri-Nya ke dalam kekecilan. Kekecilan adalah jalan yang dipilih-Nya untuk mendekati kita, menyentuh hati kita, menyelamatkan kita dan membawa kita kembali kepada apa yang benar-benar penting.

 

Saudara-saudari, berdiri di depan kandang Natal, kita merenungkan apa yang sentral, di luar semua lampu dan dekorasi. Kita merenungkan sang anak. Dalam kekecilannya, Allah sungguh hadir. Marilah kita mengakui hal ini : "Bayi Yesus, Engkau adalah Allah, Allah yang menjadi seorang anak". Marilah kita takjub dengan kebenaran yang menghebohkan ini. Dia yang merangkul alam semesta perlu dipeluk orang lain. Dia yang menciptakan matahari perlu dihangatkan. Kelembutan yang menjelma perlu dimanjakan. Kasih yang tak terbatas memiliki hati yang sangat kecil yang berdetak dengan lembut. Sabda yang kekal adalah seorang “bayi”, seorang anak yang tidak bisa berkata-kata. Sang Roti kehidupan perlu diberi makan. Sang Pencipta dunia tidak memiliki rumah. Hari ini, semuanya terjungkir balik : Allah datang ke dunia dalam kekecilan. Keagungan-Nya tampak dalam kekecilan.

 

Marilah kita bertanya pada diri kita sendiri: dapatkah kita menerima cara Allah dalam melakukan segala sesuatu? Inilah tantangan Natal : Allah menyatakan diri-Nya, tetapi manusia gagal paham. Ia menjadikan diri-Nya kecil di mata dunia, sementara kita terus mencari keagungan di mata dunia, bahkan mungkin atas nama-Nya. Allah merendahkan diri dan kita berusaha menjadi besar. Yang Mahatinggi pergi mencari para gembala, yang tak terlihat di tengah-tengah kita, dan kita mencari keterlihatan. Yesus lahir untuk melayani, dan kita menghabiskan hidup dengan mengejar kesuksesan. Allah tidak mencari kekuasaan dan keperkasaan; Ia meminta kasih yang lembut dan kekecilan batin.

 

Inilah yang hendaknya kita mohonkan kepada Yesus pada hari Natal : rahmat kekecilan. “Tuhan, ajarilah kami untuk mencintai kekecilan. Tolonglah kami untuk memahami bahwa kekecilan adalah jalan menuju kebesaran sejati”. Apa artinya, secara nyata, menerima kekecilan? Pertama, percaya bahwa Allah ingin datang ke dalam hal-hal kecil dalam hidup kita; Ia ingin menghuni kehidupan kita sehari-hari, hal-hal yang kita lakukan setiap hari di rumah, dalam keluarga kita, di sekolah dan di tempat kerja. Di tengah pengalaman hidup kita yang biasa, Ia ingin melakukan hal-hal yang luar biasa. Pesan-Nya adalah pesan harapan yang sangat besar. Yesus meminta kita untuk menemukan kembali dan menghargai hal-hal kecil dalam kehidupan. Jika Ia hadir di sana, apa lagi yang kita butuhkan? Marilah kita berhenti merindukan keagungan yang bukan milik kita. Marilah kita singkirkan keluhan dan wajah murung kita, serta keserakahan yang tak pernah terpuaskan!

 

Namun lebih dari itu. Yesus tidak ingin datang hanya dalam hal-hal kecil dalam kehidupan kita, tetapi juga dalam kekecilan kita : dalam pengalaman ketika kita merasa lemah, rapuh, tidak berdaya, bahkan mungkin “tidak karuan”. Saudara-saudari terkasih, jika, seperti di Betlehem, kegelapan malam menguasaimu, jika kamu merasa dikelilingi oleh ketidakpedulian yang tak berperasaan, jika luka batinmu berteriak, “Kamu tidak penting; kamu tidak berharga; kamu tidak akan pernah dikasihi seperti yang kamu inginkan”, malam ini Allah kembali menjawab. Malam ini Ia memberitahumu : “Aku mengasihimu apa adanya. Kekecilanmu tidak membuat-Ku takut, kegagalanmu tidak menyusahkan-Ku. Aku menjadi kecil demi kamu. Demi menjadi Allahmu, Aku menjadi saudaramu. Saudara terkasih, saudari terkasih, jangan takut pada-Ku. Temukan dalam diri-Ku ukuran kebesaranmu. Aku dekat denganmu, dan hanya satu hal yang Kumohon : percayalah dan bukalah hatimu untuk-Ku”.

 

Menerima kekecilan berarti sesuatu yang lain juga. Menerima kekecilan berarti merangkul Yesus dalam diri orang-orang kecil dewasa ini. Mengasihi-Nya, yaitu, dalam diri saudara-saudari kita. Melayani-Nya dalam diri kaum miskin, orang-orang yang paling serupa Yesus yang lahir dalam kemiskinan. Di dalam diri mereka Ia ingin dihormati. Pada malam kasih ini, semoga kita hanya memiliki satu ketakutan : yaitu menghina kasih Allah, menyakiti-Nya dengan meremehkan kaum miskin dengan ketidakpedulian kita. Yesus sangat mengasihi mereka, dan suatu hari mereka akan menyambut kita di surga. Seorang penyair pernah menulis: “Barangsiapa telah menemukan surga – di bawah – akan gagal di atas” (E. Dickinson, Puisi, P96-17). Janganlah kita melupakan surga; marilah kita merawat Yesus sekarang, membelai-Nya dalam diri orang-orang yang membutuhkan, karena di dalam diri mereka, Ia mnjadikan diri-Nya dikenal.

 

Sekali lagi kita menatap kandang Natal, dan kita melihat bahwa pada saat kelahiran-Nya Yesus justru dikelilingi oleh orang-orang kecil, oleh kaum miskin. Siapa mereka? Para gembala. Mereka adalah orang-orang yang paling sederhana, dan paling dekat dengan Tuhan. Mereka menemukan-Nya karena mereka tinggal di padang, “menjaga kawanan ternak mereka pada waktu malam” (Luk 2:8). Mereka berada di sana untuk bekerja, karena mereka miskin. Mereka tidak punya jadwal dalam kehidupan mereka ; semuanya tergantung pada kawanan ternak mereka. Di mana dan bagaimana mereka hidup tidak dapat sesuai dengan keinginan mereka, tetapi berdasarkan kebutuhan domba yang mereka gembalakan. Di sanalah Yesus dilahirkan: dekat mereka, dekat orang-orang pinggiran yang terlupakan. Ia datang di mana martabat manusia diuji. Ia datang untuk memuliakan orang-orang yang dikucilkan dan Ia pertama kali mengungkapkan dirinya kepada mereka : bukan kepada orang-orang terpelajar dan penting, tetapi kepada kaum pekerja miskin. Malam ini dengan bermartabat Allah datang untuk menggenapi kesederhanaan kerja. Ia mengingatkan kita pentingnya menganugerahkan martabat kepada manusia melalui kerja, tetapi juga memberikan martabat pada kerja manusia itu sendiri, karena manusia adalah tuannya dan bukan budaknya. Pada hari Kehidupan, marilah kita ulangi : tidak ada lagi kematian di tempat kerja! Dan marilah kita berkomitmen untuk memastikan hal ini.

 

Saat kita memandang kandang Natal untuk terakhir kalinya, di kejauhan, kita melihat sekilas para Majus, yang melakukan perjalanan untuk menyembah Tuhan. Saat kita melihat lebih dekat, kita melihat bahwa di sekitar Yesus segala sesuatu datang bersama-sama : kita tidak hanya memandang kaum miskin, para gembala, tetapi juga orang-orang terpelajar dan orang-orang kaya, para Majus. Di Betlehem, kaya-miskin berkumpul, mereka yang menyembah, seperti orang Majus, dan mereka yang bekerja, seperti para gembala. Semuanya bersatu ketika Yesus berada di pusat : bukan gagasan kita tentang Yesus, tetapi Yesus sendiri, Sosok yang hidup.

 

Jadi, saudara-saudari terkasih, marilah kita kembali ke Betlehem, marilah kita kembali ke asal-usul : pokok iman, cinta pertama kita, adorasi dan amal kasih. Marilah kita memandang para Majus yang melakukan peziarahan mereka, dan sebagai Gereja sinodal, Gereja yang melakukan perjalanan, marilah kita pergi ke Betlehem, di mana Allah ada di dalam manusia dan manusia di dalam Allah. Di sana Allah menempati tempat pertama dan disembah; di sana kaum miskin memiliki tempat terdekat dengan-Nya; di sana para gembala dan para Majus bergabung dalam persaudaraan melampaui semua penamaan dan penggolongan. Semoga Allah memampukan kita menjadi Gereja yang menyembah, miskin dan bersaudara. Itulah apa yang terpenting. Marilah kita kembali ke Betlehem.

 

Ada baiknya kita pergi ke sana, taat kepada Injil Natal, yang menunjukkan kepada kita Keluarga Kudus, para gembala, para Majus : semua orang yang berada dalam perjalanan. Saudara-saudari, marilah kita berangkat, karena hidup itu sendiri adalah peziarahan. Marilah kita membangunkan diri kita, karena malam ini sebuah terang telah dinyalakan, terang yang ramah, mengingatkan kita bahwa, dalam kekecilan kita, kita adalah putra-putri terkasih, anak-anak terang (bdk. 1 Tes 5:5). Marilah kita bersukacita bersama, karena tidak ada seorang pun yang mampu memadamkan terang ini, terang Yesus, yang malam ini bersinar terang di dunia kita.

_____


(Peter Suriadi - Bogor, 25 Desember 2021)

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.