Liturgical Calendar

HOMILI PAUS FRANSISKUS DALAM MISA DI BASILIKA SANTA MARIA, COLLEMAGGIO, L’AQUILA 28 Agustus 2022

Bacaan Ekaristi : Sir. 3:17-18,20,28-29; Mzm. 68:4-5ac,6-7ab,10-11; Ibr. 12:18-19,22-24a; Luk. 14:1,7-14.

 

Para kudus adalah penjelasan yang menarik tentang Injil. Kehidupan mereka adalah tempat istimewa yang daripadanya kita dapat melihat sekilas kabar baik yang diwartakan Yesus melalui kedatangan-Nya – yaitu, Allah adalah Bapa kita dan kita masing-masing dikasihi oleh-Nya. Ini adalah pokok Injil, dan Yesus adalah bukti dari kasih ini – penjelmaan-Nya, wajah-Nya.

 

Hari ini kita sedang merayakan Ekaristi pada hari khusus untuk kota ini dan Gereja ini : Pengampunan Selestinian. Di sini, relikui Paus Selestinus V disimpan. Orang ini tampaknya telah sepenuhnya mencapai apa yang kita dengar dalam Bacaan Pertama: "Makin besar engkau, makin patut kaurendahkan dirimu, supaya kaudapat karunia di hadapan Tuhan” (Sir 3:18). Kita secara keliru mengingat Selestinus V sebagai “orang yang membuat penolakan besar”, menurut ungkapan yang digunakan Dante dalam Komedi Ilahi-nya. Tetapi Selestinus V bukanlah seorang yang mengatakan "tidak", tetapi seorang yang mengatakan "ya".

 

Faktanya, tidak ada cara lain untuk mewujudkan kehendak Allah selain mengambil alih kekuatan orang yang rendah hati, tidak ada cara lain. Justru karena mereka demikian adanya, orang yang rendah hati tampak lemah dan pecundang di mata laki-laki dan perempuan, padahal kenyataannya mereka adalah pemenang sejati karena mereka adalah orang-orang yang percaya sepenuhnya kepada Tuhan dan mengetahui kehendak-Nya. Faktanya, "kepada yang hina-dina Allah mengungkapkan rahasia-Nya, dan oleh yang hina-dina Ia dihormati" (bdk. Sir 3:19-20). Dalam semangat dunia yang dikuasai kesombongan, Sabda Allah hari ini mengajak kita untuk rendah hati dan lemah lembut. Kerendahan hati tidak berupa meremehkan diri kita sendiri, melainkan dalam realisme sehat yang membuat kita mengenali potensi kita maupun kesengsaraan kita. Dimulai dengan kesengsaraan kita, kerendahan hati membuat kita mengalihkan pandangan dari diri kita sendiri untuk mengarahkannya kepada Allah, kepada Dia yang dapat melakukan segalanya dan yang bahkan memperolehkan bagi kita apa yang tidak akan berhasil kita peroleh sendiri. “Tidak ada yang mustahil bagi orang yang percaya!" (Mrk 9:23).

 

Kekuatan orang yang hina-dina adalah Tuhan, bukan strategi, sarana manusia, nalar dunia ini, perhitungan. Bukan, kekuatan orang yang hina-dina adalah Tuhan. Dalam pengertian itu, Selestinus V adalah saksi Injil yang berani karena tidak ada nalar atau kekuatan yang mampu memenjarakan atau mengendalikannya. Di dalam dirinya, kita mengagumi Gereja yang bebas dari nalar duniawi, memberi kesaksian sepenuhnya bagi nama Allah Sang Belas Kasihan. Ini adalah pokok Injil yang sesungguhnya, karena belas kasihan adalah memahami bahwa kita dikasihi dalam kesengsaraan kita. Keduanya berjalan seiring. Belas kasihan tidak dapat dipahami tanpa memahami kesengsaraan diri. Menjadi orang percaya tidak berarti mendekati Allah yang gelap dan menakutkan. Surat kepada orang Ibrani mengingatkan kita akan hal ini : “Sebab kamu tidak datang kepada gunung yang dapat disentuh dan api yang menyala-nyala, kepada kekelaman, kegelapan dan angin badai, kepada bunyi sangkakala dan bunyi suara yang membuat mereka yang mendengarnya memohon, supaya jangan lagi berbicara kepada mereka" (12:18-19). Tidak. Saudara-saudari yang terkasih, kita telah mendekat kepada Yesus, Sang Putra Allah, Sang Rahmat Bapa dan Kasih yang menyelamatkan. Ia adalah rahmat, dan hanya dengan belas kasihan-Nya Ia dapat berbicara tentang kesengsaraan kita. Jika salah satu dari kita berpikir bahwa mereka dapat mencapai belas kasihan dengan cara lain selain melalui kesengsaraan mereka sendiri, mereka telah mengambil jalan yang salah. Inilah pentingnya memahami kenyataan diri sendiri.

 

Selama berabad-abad, L'Aquila tetap menghidupkan karunia yang ditinggalkan oleh Paus Selestinus V. Karunia itu adalah keistimewaan untuk mengingatkan semua orang bahwa dengan belas kasihan, dan hanya dengan belas kasihan, kehidupan setiap pria dan wanita dapat dijalani dengan sukacita. Belas kasihan adalah pengalaman merasa disambut, berdiri kembali, dikuatkan, disembuhkan, didorong. Diampuni berarti mengalami di sini dan sekarang apa yang paling dekat dengan kebangkitan. Pengampunan adalah perjalanan dari kematian menuju kehidupan, dari pengalaman penderitaan dan rasa bersalah menuju kebebasan dan kegembiraan. Semoga gereja ini selalu menjadi tempat di mana orang-orang dapat berdamai dan mengalami rahmat yang membuat kita bangkit lagi dan memberi kita kesempatan lagi. Allah kita adalah Allah kesempatan kedua – “Berapa kali, Tuhan? Satu kali? Tujuh kali?” – “Tujuh puluh kali tujuh kali”. Tuhanlah yang selalu memberimu kesempatan lagi. Semoga ada gereja pengampunan, bukan setahun sekali, tetapi selalu, setiap hari. Karena dengan cara ini perdamaian dibangun, melalui pengampunan yang diterima dan diberikan.

 

Dimulai dengan kesengsaraan kita dan melihat hal itu, mencoba mencari cara untuk mencapai pengampunan, karena bahkan dalam kesengsaraan kita akan selalu menemukan cahaya yang merupakan jalan menuju Tuhan. Ia memberi kita cahaya dalam kesengsaraan kita. Pagi ini, misalnya, saya memikirkan hal ini ketika, ketika kami tiba di L'Aquila dan kami tidak dapat mendarat – kabut tebal, semuanya gelap, kamu tidak dapat mendarat. Pilot helikopter itu berputar-putar, berputar-putar, berputar-putar…. Pada akhirnya, ia melihat sebuah lubang kecil dan ia melewatinya – ia berhasil, seorang sokopilot. Dan saya memikirkan kesengsaraan ini dan bagaimana hal yang sama terjadi dengan kesengsaraan kita. Berapa kali kita melihat siapa kita – tidak ada apa-apanya, melebihi tidak ada apa-apanya – dan kita berputar-putar, berputar-putar…. Tetapi terkadang, Tuhan membuat lubang kecil. Tempatkan dirimu di sana, itu adalah luka-luka Tuhan! Di situlah belas kasihan berada, tetapi di dalam kesengsaraanmu. Ada lubang dalam kesengsaraanmu yang dibuat Tuhan agar kamu masuk ke dalamnya. Belas kasihan yang masuk ke dalam dirimu, ke dalam diriku, ke dalam kesengsaraan kita.

 

Saudara-saudari terkasih, kamu telah banyak menderita karena gempa bumi. Dan sebagai penduduk, kamu mencoba untuk bangkit dan bangkit kembali. Tetapi mereka yang telah menderita harus dapat menciptakan khazanah dari penderitaan mereka, mereka harus memahami bahwa dalam kegelapan yang mereka alami, mereka juga menerima karunia untuk memahami penderitaan orang lain. Kamu dapat menghargai karunia belas kasih karena kamu tahu apa artinya kehilangan segalanya, melihat semua yang telah dibangun runtuh, meninggalkan semua yang kamu sayangi, merasakan lubang yang ditinggalkan oleh ketidakhadiran orang-orang yang kamu cintai. Kamu dapat menghargai belas kasihan karena kamu telah mengalami belas kasihan.

Dalam kehidupan mereka, setiap orang, bahkan tanpa hidup melalui gempa bumi, dapat mengalami “gempa jiwa”, sehingga dapat dikatakan, yang membuat kita berhubungan dengan kelemahan kita, keterbatasan kita, kesengsaraan kita. Dalam pengalaman ini, kita bisa kehilangan segalanya, tetapi kita juga bisa belajar kerendahan hati yang sejati. Dalam keadaan seperti itu, kita bisa membiarkan hidup membuat kita pahit, atau kita bisa belajar kelembutan. Jadi, kerendahan hati dan kelemahlembutan adalah ciri orang-orang yang mengemban misi memelihara dan bersaksi tentang belas kasihan. Ya, karena belas kasihan, ketika datang kepada kita dan karena kita menghargainya, kita juga bisa menjadi saksi atas belas kasihan ini. Belas kasihan adalah karunia bagi saya, bagi kesengsaraan saya, tetapi belas kasihan ini juga harus ditularkan kepada orang lain sebagai karunia Tuhan.

 

Namun, ada panggilan yang membangunkan yang memberitahu kita jika kita salah jalan. Bacaan Injil hari ini mengingatkan kita akan hal ini (bdk. Luk 14:1,7-14). Yesus diundang untuk makan malam, kita mendengar, di rumah seorang Farisi, dan dengan penuh perhatian mengamat-amati berapa banyak yang berlarian untuk mendapatkan tempat duduk terbaik di meja. Hal ini mengisyaratkan-Nya untuk menceritakan sebuah perumpamaan yang tetap berlaku bahkan bagi kita hari ini : “Kalau seorang mengundang engkau ke pesta perkawinan, janganlah duduk di tempat kehormatan, sebab mungkin orang itu telah mengundang seorang yang lebih terhormat dari padamu, supaya orang itu, yang mengundang engkau dan dia, jangan datang dan berkata kepadamu: Berilah tempat ini kepada orang itu. Lalu engkau dengan malu harus pergi duduk di tempat yang paling rendah” (ayat 8-9). Terlalu sering orang-orang mendasarkan nilai mereka pada tempat yang mereka tempati di dunia. Seseorang bukanlah posisi yang dipegangnya. Seseorang adalah kebebasan yang mampu ia diwujudkan sepenuhnya ketika ia menempati tempat terakhir, atau ketika tempat disediakan untuk orang itu di Kayu Salib.

 

Orang Kristiani tahu bahwa hidupnya bukanlah karier menurut cara dunia, tetapi karier menurut cara Kristus yang berkata tentang diri-Nya sendiri bahwa Ia datang untuk melayani dan bukan untuk dilayani (bdk. Mrk 10:45). Kecuali kita memahami bahwa revolusi Injil terkandung dalam jenis kebebasan ini, kita akan terus menyaksikan perang, kekerasan dan ketidakadilan, yang tidak lain adalah gejala lahiriah dari ketiadaan kebebasan batiniah. Di mana tidak ada kebebasan batiniah, keegoisan, individualisme, kepentingan pribadi, dan penindasan, dan semua kesengsaraan ini, menemukan jalan masuknya. Dan kesengsaraan mengambil kendali.

 

Saudara-saudari, semoga L'Aquila benar-benar menjadi ibu kota pengampunan, ibu kota perdamaian dan rekonsiliasi! Semoga L'Aquila tahu bagaimana menawarkan kepada semua orang perubahan rupa yang dilantunkan Maria dalam Magnificat : “Ia menurunkan orang-orang yang berkuasa dari takhtanya dan meninggikan orang-orang yang rendah” (Luk 1:52), perubahan rupa yang diingatkan Yesus kepada kita dalam Bacaan Injil hari ini, “Sebab barangsiapa meninggikan diri, ia akan direndahkan dan barangsiapa merendahkan diri, ia akan ditinggikan” (Luk 14:11). Dan tepatnya kepada Maria, yang kamu hormati dengan gelar Keselamatan Umat L'Aquila, kita ingin mempercayakan resolusi untuk hidup sesuai dengan Injil. Semoga pengantaraan keibuannya mendapatkan pengampunan dan kedamaian bagi seluruh dunia. Kesadaran akan kesengsaraan kita dan keindahan belas kasihan.
____

(Peter Suriadi - Bogor, 28 Agustus 2022)

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.