Liturgical Calendar

HOMILI PAUS FRANSISKUS DALAM MISA HARI MINGGU BIASA XXVIII (MISA KANONISASI BEATO GIOVANNI BATTISTA SCALABRINI DAN BEATO ARTEMIDE ZATTI) 9 Oktober 2022 : BERJALAN BERSAMA DAN MENGUCAP SYUKUR

Bacaan Ekaristi : 2Raj. 5:14-17; Mzm. 98:1,2-3ab,3cd-4; 2Tim. 2:8-13; Luk. 17:11-19.

 

Ketika Yesus sedang berjalan, datanglah sepuluh orang kusta menemui Dia dan berteriak, "Kasihanilah kami!" (Luk 17:13). Kesepuluh orang itu disembuhkan, namun hanya satu dari mereka yang kembali untuk mengucap syukur kepada Yesus. Ia adalah seorang Samaria, semacam bidaah bagi orang-orang Yahudi. Pada mulanya, mereka berjalan bersama, tetapi kemudian orang Samaria itu meninggalkan yang lainnya dan “kembali sambil memuliakan Allah dengan suara nyaring” (ayat 15). Marilah kita berhenti dan merenungkan dua aspek Injil hari ini : berjalan bersama dan mengucap syukur.

 

Pertama, berjalan bersama. Di awal kisah, tidak ada perbedaan antara orang Samaria dan sembilan orang lainnya. Kita hanya mendengar bahwa mereka adalah penderita kusta, yang bersama-sama, sebagai kelompok, mendekati Yesus. Kusta, sebagaimana kita ketahui, bukan hanya penyakit fisik yang sampai sekarang harus kita upayakan untuk memberantasnya, tetapi juga merupakan “penyakit sosial”, karena pada masa itu, karena takut menulari, penderita kusta harus dipisahkan dari masyarakat (bdk. Im 13:46). Oleh karena itu, mereka tidak bisa memasuki desa; mereka dijauhkan, dikucilkan dan diasingkan ke pinggiran kehidupan sosial dan bahkan kehidupan keagamaan. Dengan berjalan bersama, para penderita kusta ini menuntut masyarakat yang mengucilkan mereka. Kita juga harus mencatat bahwa orang Samaria, meskipun dianggap bidaah, “orang asing”, adalah bagian dari kelompok mereka. Saudara dan saudari, setiap kali penyakit dan kerapuhan ditanggung bersama, hambatan runtuh dan pengucilan diatasi.

 

Gambaran ini juga berarti bagi kita : ketika kita jujur ​​pada diri sendiri, kita menyadari bahwa kita semua sakit hati, semua pendosa membutuhkan belas kasihan Bapa. Kemudian kita berhenti menciptakan perpecahan berdasarkan prestasi, posisi sosial atau kriteria dangkal lainnya; hambatan batin dan prasangka kita juga runtuh. Pada akhirnya, kita menyadari sekali lagi bahwa kita adalah saudara-saudari. Bahkan Naaman, orang Siria, sebagaimana Bacaan Pertama mengingatkan kita, dengan segala kekayaan dan kekuasaannya, hanya dapat disembuhkan dengan melakukan sesuatu yang sederhana : mandi di sungai yang di dalamnya semua orang juga sedang mandi. Pertama-tama, ia harus menanggalkan baju zirah dan jubahnya (bdk. 2Raj 5). Sebaiknya kita mengesampingkan baju zirah kita, penghalang pertahanan kita, dan mandi dengan kerendahan hati, sadar bahwa batin kita semua rentan dan membutuhkan penyembuhan. Kita semua adalah saudara dan saudari. Marilah kita ingat hal ini : iman kristiani selalu meminta kita untuk berjalan bersama orang lain, tidak pernah menjadi musafir sendirian. Iman selalu mendorong kita untuk bergerak melampaui diri kita serta menuju Allah dan saudara-saudari kita, tidak pernah tinggal tertutup di dalam diri kita. Iman mengundang kita untuk mengakui terus-menerus bahwa kita membutuhkan penyembuhan dan pengampunan, serta ambil bagian dalam kelemahan orang-orang yang dekat dengan kita, tanpa merasa diri kita lebih unggul.

 

Saudara dan saudari, marilah kita merenungkan dan melihat apakah dalam hidup kita, dalam keluarga kita, di tempat-tempat di mana kita sehari-hari bekerja dan menghabiskan waktu kita, kita mampu berjalan bersama dengan orang lain, mendengarkan mereka, menangkal godaan untuk mengunci diri. dalam keasyikan diri dan hanya memikirkan kebutuhan kita. Berjalan bersama – bersifat “sinodal” – juga merupakan panggilan Gereja. Marilah kita bertanya pada diri kita apakah kita benar-benar komunitas yang benar-benar terbuka dan bersifat menyertakan semua orang; apakah kita bekerjasama, sebagai imam dan awam, dalam pelayanan Injil; dan apakah kita menunjukkan diri kita menyambut, tidak hanya dengan kata-kata tetapi dengan gerakan nyata, kepada mereka yang dekat dan jauh, dan semua orang yang diterpa pasang surut kehidupan. Apakah kita membuat mereka merasa menjadi bagian dari masyarakat? Atau apakah kita mengecualikan mereka? Saya terganggu ketika saya melihat komunitas Kristiani yang membagi dunia menjadi baik dan buruk, orang kudus dan orang berdosa : ini membuat mereka merasa lebih unggul dari yang lain dan mengecualikan begitu banyak orang yang ingin dipeluk oleh Allah. Tolong, selalu menyertakan : dalam Gereja dan dalam masyarakat, yang masih dirusak oleh banyak bentuk ketidaksetaraan dan marginalisasi. Selalu menyertakan. Hari ini, hari di mana Uskup Scalabrini menjadi orang kudus, saya memikirkan para migran. Mengecualikan migran adalah skandal. Sebenarnya, mengecualikan imigran adalah kriminal. Mereka sekarat tepat di depan kita, karena Mediterania adalah kuburan terbesar di dunia. Mengecualikan migran adalah memberontak, berdosa dan kriminal. Tidak membuka pintu bagi mereka yang membutuhkan – “Tidak, kami tidak mengecualikan mereka, kami mengirim mereka pergi” ke kamp-kamp, ​​di mana mereka dieksploitasi dan dijual seperti budak. Saudara dan saudari, hari ini marilah kita mengingat para migran ini, terutama mereka yang sedang sekarat. Dan mereka yang bisa masuk, apakah kita menyambut mereka sebagai saudara atau kita mengeksploitasi mereka? Saya hanya mengajukan pertanyaan.

 

Aspek kedua adalah mengucap syukur.  Dalam kelompok sepuluh penderita kusta, hanya ada satu orang yang menyadari bahwa ia telah sembuh, kembali untuk memuji Allah dan menunjukkan rasa syukur kepada Yesus. Sembilan lainnya disembuhkan, tetapi kemudian pergi dengan cara mereka sendiri, melupakan orang yang telah menyembuhkan mereka. Mereka melupakan rahmat yang diberikan Allah kepada mereka. Orang Samaria, di sisi lain, menjadikan karunia yang diterimanya sebagai langkah pertama dari sebuah perjalanan baru : ia kembali kepada orang yang menyembuhkannya;  ia kembali kepada Yesus untuk mengenal Dia lebih baik; ia masuk ke dalam hubungan dengan Tuhan. Maka, sikap syukurnya bukanlah sekadar tindakan sopan santun, tetapi awal dari perjalanan syukur : ia tersungkur di kaki Yesus (bdk. Luk 17:16) dan menyembah-Nya. Ia mengakui bahwa Yesus adalah Tuhan, bahwa Yesus lebih penting daripada kesembuhan yang ia terima.

 

Ini juga merupakan pelajaran yang berharga bagi kita, saudara-saudari, yang setiap hari mendapat manfaat dari karunia-karunia Allah, namun seringkali menempuh jalan kita sendiri, gagal memupuk hubungan yang hidup dan nyata dengan-Nya. Inilah penyakit rohani yang menjijikan : kita menganggap remeh segala sesuatu, termasuk iman, termasuk hubungan kita dengan Allah, sampai pada titik di mana kita menjadi orang Kristiani yang tidak lagi bisa kagum atau bersyukur, tidak bersyukur dan tidak mampu melihat keajaiban-keajaiban Tuhan. Seorang perempuan yang saya kenal pernah berkata, “Mereka adalah orang Kristen air mawar”. Kita akhirnya berpikir bahwa semua karunia yang kita terima setiap hari adalah alami dan karena kita. Syukur, kemampuan mengucap syukur, justru membuat kita lebih menghargai kehadiran Allah yang Mahakasih dalam hidup kita. Dan menyadari pentingnya orang lain, mengatasi ketidakpuasan dan ketidakpedulian yang menodai hati kita. Sangat penting untuk mengetahui bagaimana mengucapkan "terima kasih". Mengucapkan terima kasih kepada Tuhan setiap hari dan saling berterima kasih. Dalam keluarga kita, karena karunia-karunia kecil kita terima setiap hari dan seringkali bahkan tidak kita pikirkan. Di tempat-tempat kita menghabiskan hari-hari kita, karena banyak pelayanan yang kita nikmati dan semua orang yang mendukung kita. Dalam komunitas Kristiani kita, karena kasih Allah yang kita alami dalam kedekatan saudara dan saudari kita yang, seringkali dalam diam, berdoa, berkorban, menderita dan melakukan perjalanan bersama kita. Jadi tolong, jangan lupa untuk mengucapkan kata-kata kunci ini : terima kasih!

 

Kedua orang kudus yang dikanonisasi hari ini mengingatkan kita akan pentingnya berjalan bersama dan mampu mengucap syukur. Uskup Scalabrini, yang mendirikan dua Kongregasi – satu laki-laki dan satu perempuan – untuk perawatan para migran, pernah mengatakan bahwa dalam perjalanan bersama para migran, kita tidak hanya melihat masalah, tetapi juga rencana takdir. Dalam kata-katanya : “Tepatnya karena migrasi yang dipaksakan oleh penganiayaan, Gereja melampaui batas Yerusalem dan Israel, dan menjadi 'katolik'; berkat migrasi pada zaman kita, Gereja akan menjadi alat perdamaian dan persekutuan di antara bangsa-bangsa” (L’emigrazione degli operai italiani, Ferrara, 1899). Migrasi yang saat ini terjadi di Eropa menyebabkan penderitaan besar dan memaksa kita untuk membuka hati – yaitu migrasi rakyat Ukraina yang melarikan diri dari perang. Jangan kita melupakan para migran Ukraina yang terkepung. Dengan visi yang besar, Scalabrini melihat ke depan ke dunia dan Gereja tanpa hambatan, di mana tidak ada orang asing. Sedangkan Bruder Artemide Zatti dari Salesian – dengan sepedanya – adalah contoh hidup dari rasa syukur. Sembuh dari tuberkulosis, ia mengabdikan seluruh hidupnya untuk melayani orang lain, merawat yang lemah dengan cinta yang lembut. Ia dikatakan telah membawa di pundaknya mayat salah seorang pasiennya. Dipenuhi dengan rasa syukur atas semua yang telah ia terima, ia ingin mengucapkan "terima kasih" dengan menanggung sendiri luka orang lain.

 

Marilah kita berdoa agar para kudus ini, saudara-saudara kita, dapat membantu kita berjalan bersama, tanpa tembok pemisah; dan memupuk keluhuran jiwa yang berkenan kepada Allah, yaitu rasa syukur.

______

 

(Peter Suriadi - Bogor, 9 Oktober 2022)

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.