Bacaan
Ekaristi : Mal 3:1-4; Mzm 24:7.8.9.10; Luk 2:22-40.
Seraya
orang-orang menantikan keselamatan Tuhan, para nabi mewartakan kedatangan-Nya,
sebagaimana diwartakan oleh nabi Maleakhi, “Tiba-tiba Tuhan yang kamu cari itu
akan datang ke bait-Nya! Utusan Perjanjian yang kamu inginkan itu,
sesungguhnya, Ia datang" (3:1). Simeon dan Hana adalah gambaran dan sosok
kerinduan ini. Ketika melihat Tuhan memasuki bait-Nya, keduanya diterangi oleh
Roh Kudus dan mengenali anak yang digendong Maria tersebut. Mereka telah
menantikan Dia sepanjang hidup mereka: Simeon, “seorang yang benar dan saleh
yang menantikan penghiburan bagi Israel dan Roh Kudus ada di atasnya” (Luk
2:25); Hana, yang “tidak pernah meninggalkan Bait Allah” (Luk 2:37).
Ada
baiknya kita menelaah kedua orang tua ini yang sabar menanti, tetap
berjaga-jaga dan bertekun dalam doa. Hati mereka tetap berjaga, laksana nyala
api abadi. Mereka sudah lanjut usia, namun berjiwa muda. Keduanya tidak
membiarkan hari-hari melelahkan mereka, karena mata mereka tetap tertuju pada
Allah dalam pengharapan (bdk. Mzm 145:15). Terpaku pada Allah dalam
pengharapan, selalu dalam pengharapan. Sepanjang perjalanan hidup, mereka
pernah mengalami kesukaran dan kekecewaan, namun mereka tidak menyerah kalah:
mereka belum “memensiunkan” harapan. Ketika mereka merenungkan anak itu, mereka
menyadari bahwa waktunya telah tiba, nubuat telah tergenapi, Ia yang mereka
cari dan dambakan, Mesias segala bangsa, telah tiba. Dengan tetap berjaga dalam
pengharapan akan Tuhan, mereka mampu menyambut kebaruan kedatangan-Nya.
Saudara-saudari,
menantikan Allah juga penting bagi kita, bagi perjalanan iman kita. Setiap hari
Tuhan mengunjungi kita, berbicara kepada kita, menyatakan diri-Nya dengan cara
yang tidak terduga dan, pada akhir kehidupan dan waktu, Ia akan datang. Ia
sendiri menasihati kita untuk tetap berjaga, waspada, dan bertekun dalam
penantian. Memang, hal terburuk yang bisa terjadi pada kita adalah membiarkan
“semangat kita tertidur”, membiarkan hati tertidur, membius jiwa, mengunci
harapan di sudut gelap kekecewaan dan kepasrahan.
Saya
memikirkanmu, saudara-saudari para pelaku hidup bakti, dan tentang karunia yang
kamu miliki; saya memikirkan kita sebagai umat Kristiani dewasa ini: apakah
kita masih mampu menanti? Bukankah kita kadang-kadang terlalu sibuk dengan diri
kita sendiri, dengan berbagai hal, dan dengan irama kehidupan sehari-hari yang
padat, sampai-sampai melupakan Allah yang selalu datang? Bukankah kita terlalu
terpesona dengan perbuatan baik kita, yang bahkan berisiko mengubah kehidupan
beragama dan kristiani menjadi “banyak hal yang harus dilakukan” dan
mengabaikan untuk mencari Tuhan setiap hari? Bukankah kita terkadang mengambil
risiko merencanakan kehidupan pribadi dan bermasyarakat dengan memperhitungkan
peluang keberhasilan, alih-alih memupuk benih kecil yang dipercayakan kepada
kita dengan suka cita dan kerendahan hati, dengan kesabaran orang yang menabur
tanpa mengharapkan apa pun dan orang yang tahu bagaimana menanti waktu Allah
dan memperkenankan-Nya mengejutkan kita? Kadang-kadang kita harus menyadari
bahwa kita telah kehilangan kemampuan untuk menanti. Hal ini disebabkan oleh
beberapa kendala, dan saya ingin menyoroti dua di antaranya.
Kendala
pertama yang membuat kita kehilangan kemampuan menanti adalah mengabaikan
kehidupan batin. Inilah yang terjadi ketika keletihan mengalahkan keheranan,
ketika kebiasaan menggantikan antusiasme, ketika kita kehilangan ketekunan
dalam perjalanan rohani, ketika pengalaman-pengalaman buruk, perselisihank atau
buah yang tampaknya tertunda mengubah kita menjadi orang-orang yang getir dan
sakit hati. Terus memikirkan kepahitan tidak baik karena dalam keluarga rohani,
seperti halnya dalam komunitas dan keluarga mana pun, orang-orang yang pahit
dan “berwajah masam” sedang mengempis, orang-orang yang seolah-olah memiliki
cuka di dalam hatinya. Maka kita perlu memulihkan rahmat yang hilang: kembali
dan, melalui peningkatan kehidupan batin, kembali ke semangat kerendahan hati
yang penuh sukacita, rasa syukur yang hening. Hal ini dipupuk oleh penyembahan,
jerih payah lutut dan hati, doa yang berwujud pergumulan dan pengantaraan, yang
mampu membangkitkan kembali kerinduan akan Allah, cinta awal, keheranan di hari
pertama, rasa penantian.
Kendala
kedua adalah beradaptasi dengan gaya hidup duniawi, yang pada akhirnya
menggantikan Injil. Dunia kita sering kali berjalan dengan sangat cepat, yang
mengagung-agungkan “segalanya dan saat ini”, yang tenggelam dalam aktivisme dan
berusaha menghilangkan ketakutan dan kegelisahan hidup di kuil-kuil
konsumerisme kafir atau hiburan dengan segala cara. Dalam konteks seperti ini,
di mana keheningan disingkirkan dan hilang, menanti bukanlah hal yang mudah,
karena memerlukan sikap pasif yang sehat, keberanian untuk memperlambat
langkah, tidak kewalahan dengan aktivitas, memberikan ruang dalam diri kita
untuk tindakan Allah. Ini adalah pelajaran mistisisme kristiani. Maka marilah
kita berhati-hati agar roh dunia tidak masuk ke dalam komunitas rohani kita,
kehidupan gerejawi dan perjalanan pribadi kita, jika tidak maka kita tidak akan
menghasilkan buah. Kehidupan kristiani dan perutusan kerasulan memerlukan
pengalaman penantian. Matang dalam doa dan kesetiaan sehari-hari, penantian
membebaskan kita dari mitos efisiensi, dari obsesi terhadap kinerja dan,
terutama, dari kepura-puraan yang menyingkirkan Allah, karena Ia selalu datang
dengan cara yang tidak terduga, Ia selalu datang pada waktu yang tidak kita
pilih dan dengan cara yang tidak kita duga.
Sebagaimana
dinyatakan mistikus dan filsuf Prancis, Simone Weil, kita adalah mempelai
perempuan yang menanti di malam hari kedatangan mempelai laki-laki, dan: “Peran
calon istri adalah menanti…. Merindukan Allah dan meninggalkan segala sesuatu
yang lain, hanya itu saja yang bisa menyelamatkan kita” (Menanti Allah, Milan
1991, 196). Saudari-saudari, dalam doa marilah kita membina semangat menantikan
Tuhan dan belajar tentang “kepasifan Roh” secara tepat: dengan demikian, kita
akan mampu membuka diri terhadap kebaruan Allah.
Seperti
Simeon, marilah kita juga menggendong anak ini, Allah kebaruan dan kejutan.
Dengan menyambut Tuhan, masa lalu terbuka terhadap masa depan, hal lama dalam
diri kita terbuka terhadap hal baru yang dibangkitkan-Nya. Ini tidak mudah,
kita tahu ini, karena dalam kehidupan beragama seperti dalam kehidupan setiap
umat kristiani, sulit untuk melawan “kekuatan lama”. “Tidaklah mudah bagi
manusia lama kita untuk menyambut sang anak, yang baru – menyambut yang baru,
di masa tua kita menyambut yang baru – … Kebaruan Allah menampilkan dirinya
sebagai seorang anak dan kita, dengan semua kebiasaan, ketakutan, perasaan
was-was, iri hati kita, – marilah kita memikirkan iri hati! – khawatir,
bertatap muka dengan anak ini. Akankah kita merangkul anak tersebut, menyambut
anak tersebut, memberikan ruang bagi anak tersebut? Akankah kebaruan ini
benar-benar masuk ke dalam kehidupan kita atau justru kita akan mencoba
menggabungkan yang lama dan yang baru, berusaha membiarkan diri kita diganggu
sesedikit mungkin oleh kehadiran kebaruan Allah?” (C.M. Martini, Sesuatu yang
Sangat Pribadi. Meditasi Tentang Doa, Milan 2009, 32-33).
Saudara-saudari,
pertanyaan-pertanyaan ini ditujukan untuk kita, untuk kita masing-masing, untuk
komunitas kita, dan untuk Gereja. Biarlah kita gelisah, marilah kita digerakkan
oleh Roh, seperti Simeon dan Hana. Jika, seperti mereka, kita hidup dalam
pengharapan, menjaga kehidupan batin kita dan selaras dengan Injil, jika,
seperti mereka, kita hidup dalam pengharapan, kita akan memeluk Yesus, yang
merupakan terang dan pengharapan kehidupan.
_____
(Peter Suriadi - Bogor, 3 Februari 2024)
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.