Liturgical Calendar

HOMILI PAUS FRANSISKUS DALAM MISA HARI RABU ABU 14 Februari 2024 : KEMBALI KE HATI

Bacaan Ekaristi : Yl. 2:12-18; Mzm. 51:3-4,5-6a,12-13,14,17; 2Kor. 5:20-6:2; Mat. 6:1-6,16-18.

Ketika kamu memberi sedekah, berdoa atau berpuasa, lakukanlah semua ini dengan tersembunyi karena Bapamu melihat yang tersembunyi (bdk. Mat 6:4). “Masuklah ke dalam kamarmu”: ini adalah ajakan yang disampaikan Yesus kepada kita masing-masing pada awal perjalanan Masa Prapaskah.

 

Masuk ke dalam kamar berarti kembali ke hati, sebagaimana diperingatkan Nabi Yoel (lih. Yoel 2:12). Masuk ke dalam kamar berarti melakukan perjalanan dari luar menuju ke dalam, sehingga seluruh hidup kita, termasuk hubungan kita dengan Alah, tidak hanya sekadar tampilan lahiriah, bingkai tanpa gambar, selubung jiwa, melainkan lahir dari dalam dan mencerminkan gerakan hati, keinginan terdalam, pikiran, perasaan, inti pribadi kita.

 

Maka, Masa Prapaskah menenggelamkan kita dalam bejana pemurnian dan perampasan diri: Masa Prapaskah membantu kita menyingkirkan semua kosmetik yang kita gunakan agar terlihat rapi, lebih baik dari yang sebenarnya. Kembali ke hati berarti kembali ke jatidiri kita dan menampilkannya apa adanya, telanjang dan tak berdaya, di hadapan Allah. Masa Prapaskah berarti melihat ke dalam diri kita dan mengakui jatidiri kita yang sebenarnya, melepaskan topeng yang sering kita pakai, memperlambat langkah hidup kita yang sangat gelisah serta menerima kehidupan dan kebenaran tentang siapa diri kita. Hidup bukan sebuah permainan; Masa Prapaskah mengajak kita untuk turun panggung dan kembali ke hati, kepada kenyataan siapa diri kita: kembali ke hati dan kebenaran.

 

Itulah sebabnya malam ini, dalam semangat doa dan kerendahan hati, kita menerima abu di kepala kita. Gerakan ini dimaksudkan untuk mengingatkan kita akan kenyataan hakiki hidup kita: kita hanya debu dan hidup kita berlalu seperti angin (bdk. Mzm 39:6; 144:4). Namun Tuhan – Dia dan hanya Dia – tidak membiarkannya lenyap; Ia mengumpulkan dan membentuk debu kita, jangan sampai tersapu oleh angin kehidupan atau tenggelam dalam jurang kematian.

 

Abu yang ditaruh di kepala kita mengundang kita untuk menemukan kembali rahasia kehidupan. Abu mengatakan kepada kita bahwa selama kita terus melindungi hati dan menyembunyikan diri kita di balik topeng, agar tampak tiada duanya, batin kita akan hampa dan gersang. Sebaliknya, ketika kita berani menundukkan kepala untuk mencari ke dalam, kita akan menemukan kehadiran Allah yang mengasihi dan selalu mengasihi kita. Pada akhirnya perisai yang telah kamu bangun untuk dirimu akan hancur berantakan dan kamu akan bisa merasakan dirimu dikasihi dengan kasih abadi.

Saudari, saudara, saya, kamu, kita masing-masing, dikasihi dengan kasih abadi. Kita adalah abu yang di atasnya Allah menghembuskan nafas kehidupan-Nya, kita adalah bumi yang Ia bentuk dengan tangan-Nya (bdk. Kej 2:7; Mzm 119:73), abu yang darinya kita akan bangkit untuk hidup tanpa akhir. dipersiapkan bagi kita sejak kekekalan (bdk. Yes 26:9). Dan jika, di dalam abu yang merupakan diri kita, api kasih Allah menyala, maka kita akan menemukan bahwa kita memang telah dibentuk oleh kasih itu dan pada gilirannya dipanggil untuk mengasihi orang lain. Mengasihi saudara-saudari di sekitar kita, menaruh perhatian kepada orang lain, merasakan kasih sayang, menunjukkan belas kasihan, berbagi segenap diri kita dan segenap milik kepada mereka yang membutuhkan. Sedekah, doa dan puasa bukan sekadar pengamalan lahiriah; ketiga adalah jalan menuju ke hati, ke inti kehidupan Kristiani. Ketiganya menyadarkan kita bahwa kita adalah abu yang dikasihi oleh Allah, dan ketiganya memampukan kita untuk menyebarkan kasih tersebut di atas “abu” begitu banyak situasi dalam kehidupan kita sehari-hari, sehingga di dalamnya harapan, kepercayaan, dan sukacita dapat terlahir kembali.

 

Santo Anselmus dari Aosta telah mewariskan kepada kita kata-kata penyemangat ini yang dapat kita jadikan kata-kata kita pada malam ini: “Larilah sejenak dari kesibukanmu sehari-hari, sembunyilah sejenak dari pikiranmu yang gelisah. Putuskanlah dirimu dari kekhawatiran dan masalahmu dan kurangilah kesibukan tugas dan pekerjaanmu. Luangkanlah sedikit waktu untuk Allah dan beristirahatlah sejenak di dalam Dia. Masuklah ke dalam relung batin pikiranmu. Tutuplah semuanya kecuali Allah dan apa pun yang membantumu mencari Dia; dan ketika kamu sudah menutup pintu, carilah Dia. Bicaralah sekarang kepada Allah dan katakanlah dengan segenap hatimu: Aku mencari wajah-Mu; wajah-Mu, ya Tuhan, aku menginginkannya” (Proslogion, 1).

 

Marilah kita mendengarkan, sepanjang Masa Prapaskah ini, suara Tuhan yang tidak bosan-bosannya diulang-ulang: masuklah ke dalam kamarmu, kembalilah ke hatimu. Ini adalah undangan bermanfaat bagi kita, yang sering kali hidup di permukaan, yang sangat perlu untuk diperhatikan, yang terus-menerus perlu dikagumi dan dihargai. Tanpa menyadarinya, kita mendapati diri kita tidak lagi memiliki “relung batin” di mana kita dapat berhenti dan peduli terhadap diri kita, tenggelam dalam dunia di mana segala sesuatu, termasuk emosi dan perasaan terdalam kita, harus menjadi “sosial” – tetapi bagaimana bisa sesuatu menjadi “sosial” jika tidak datang dari hati? Bahkan pengalaman yang paling tragis dan menyakitkan pun berisiko tidak memiliki tempat yang tenang untuk menyimpannya. Semuanya harus disingkapkan, dipamerkan, dijadikan bahan gosip saat ini. Tetapi Tuhan berkata kepada kita: Masuklah ke dalam rahasia itu, kembalilah ke pusat dirimu. Tepatnya di sana, di mana begitu banyak ketakutan, perasaan bersalah dan dosa mengintai, justru di sanalah Tuhan turun untuk menyembuhkan dan menyucikanmu. Marilah kita masuk ke dalam relung batin kita: di sana Tuhan bersemayam, di sana kelemahan kita diterima dan kita dikasihi tanpa syarat.

 

Marilah kita kembali, saudara-saudari. Marilah kita kembali kepada Allah dengan segenap hati. Selama pekan-pekan Prapaskah ini, marilah kita menyediakan ruang untuk doa adorasi dalam hati, yang di dalamnya kita mengalami kehadiran Tuhan, seperti Musa, seperti Elia, seperti Maria, seperti Yesus. Pernahkah kita menyadari bahwa kita telah kehilangan rasa penyembahan? Marilah kita kembali menyembah. Marilah kita menyendengkan telinga hati kita kepada Dia yang, dalam diam, ingin mengatakan kepada kita: “Akulah Allahmu – Allah yang penuh belas kasihan dan kasih sayang, Allah yang mengampuni dan mengasihi, Allah yang penuh kelembutan dan perhatian… Jangan menghakimi dirimu. Jangan mengutuk dirimu. Jangan menyangkal dirimu. Perkenankanlah kasih-Ku menyentuh sudut hatimu yang terdalam dan paling tersembunyi serta menyingkapkan kepadamu kecantikanmu, keindahan yang telah hilang dari pandanganmu, namun akan terlihat lagi olehmu dalam terang kerahiman-Ku.” Tuhan sedang memanggil kita: “Marilah, perkenankanlah Aku menghapus air matamu, dan perkenankanlah mulut-Ku mendekat ke telingamu dan mengatakan kepadamu: Aku mengasihimu, Aku mengasihimu, Aku mengasihimu” (H. Nouwen, Jalan Menuju Fajar, New York, 1988, 157-158). Apakah kita percaya bahwa Tuhan mengasihi kita, Tuhan mengasihiku?

 

Saudara-saudari, janganlah kita takut melepaskan diri dari keterikatan duniawi dan kembali ke hati, kembali ke hal yang penting. Marilah kita memikirkan Santo Fransiskus, yang setelah menelanjangi dirinya, memeluk Bapa di surga dengan segenap keberadaannya. Marilah kita akui siapa diri kita: abu yang dikasihi Allah, dipanggil menjadi abu yang mengasihi Allah. Berkat Dia, kita akan dilahirkan kembali dari abu dosa menuju kehidupan baru di dalam Yesus Kristus dan Roh Kudus.

_____

(Peter Suriadi - Bogor, 15 Februari 2024)

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.