Liturgical Calendar

HOMILI PAUS FRANSISKUS DALAM MISA HARI RAYA PENTAKOSTA DI BASILIKA SANTO PETRUS, VATIKAN, 19 Mei 2024 : ROH KUDUS BERKARYA DI DALAM GEREJA DAN DIRI KITA DENGAN DUA CIRI KHAS

Bacaan Ekaristi: Kis. 2:1-11; Mzm. 104:1ab,24ac,29bc,-30,31,34; Gal. 5:16-25; Yoh. 15:26-27; 16:12-15.

 

Kisah Pentakosta (bdk. Kis 2:1-11) menunjukkan kepada kita dua ranah karya Roh Kudus di dalam Gereja: dalam diri kita dan dalam perutusan, dengan dua ciri khas: kuasa dan kelemahlembutan.

 

Karya Roh Kudus dalam diri kita penuh kuasa, sebagaimana dilambangkan dengan tanda tiupan angin keras dan lidah-lidah api, yang sering dikaitkan dengan kuasa Allah dalam Kitab Suci (bdk. Kel 19:16-19). Tanpa kuasa seperti itu kita tidak akan pernah mampu mengalahkan kejahatan dengan kuasa kita, atau mengatasi “keinginan daging” yang dirujuk oleh Santo Paulus sebagai dorongan jiwa: “kecemaran, penyembahan berhala, perselisihan, dan iri hati” (bdk. Gal. 5:19-21). Semua itu dapat diatasi dengan Roh Kudus yang memberi kita kuasa untuk mengatasinya, karena Ia memasuki hati kita yang “kering, kaku dan dingin” (bdk. Sequence Veni Sancte Spiritus). Dorongan-dorongan ini merusak hubungan kita dengan sesama dan memecah belah komunitas kita, namun Roh Kudus memasuki hati kita dan menyembuhkan segalanya.

 

Yesus juga menunjukkan hal ini kepada kita ketika, atas bisikan Roh Kudus, Ia menarik diri selama empat puluh hari dan dicobai di padang gurun (bdk. Mat 4:1-11). Pada saat itu kemanusiaan-Nya juga bertumbuh, diperkuat dan dipersiapkan untuk perutusan.

 

Pada saat yang sama, karya Sang Penolong dalam diri kita juga lemah lembut: penuh kuasa dan lemah lembut. Tiupan angin keras dan lidah-lidah api tidak menghancurkan atau menjadikan apa pun yang disentuhnya menjadi abu: tiupan angin keras memenuhi rumah tempat para murid berkumpul, dan lidah-lidah api bersandar dengan lemah lembut di kepala mereka masing-masing. Kelemahlembutan ini juga merupakan ciri tindakan Allah, ciri yang sering kita jumpai dalam Kitab Suci.

 

Sungguh menenteramkan hati melihat bagaimana tangan yang kokoh dan tidak kapalan yang pertama-tama memecah gumpalan nafsu kita, kemudian dengan lembut, setelah menanam benih kebajikan, “menyiraminya” dan “merawatnya” (bdk. Sekuensia). Dengan penuh kasih Ia melindungi kebajikan-kebajikan ini, sehingga dapat bertumbuh semakin kuat dan agar, setelah kerja keras memerangi kejahatan, kita dapat merasakan manisnya belas kasihan dan persekutuan dengan Allah. Roh Kudus seperti ini: penuh kuasa, memberi kita kuasa untuk mengatasi, dan juga lemah lembut. Kita berbicara tentang pengurapan Roh Kudus, Roh Kudus mengurapi kita karena Ia menyertai kita. Sebagaimana dikatakan doa yang indah dari Gereja perdana: “Perkenankanlah kelemahlembutan-Mu, ya Tuhan, dan buah cinta-Mu, tinggal bersamaku” (Nyanyian Pujian Salomo, 14:6).

Roh Kudus, yang turun ke atas para murid dan tetap mendampingi mereka, yaitu sebagai “Penolong”, mengubah hati mereka dan menanamkan dalam diri mereka “keberanian yang tenang yang mendorong mereka untuk meneruskan kepada sesama pengalaman mereka tentang Yesus dan harapan yang memotivasi mereka” (Santo Yohanes Paulus II, Redemptoris Missio, 24). Petrus dan Yohanes kemudian memberikan kesaksian di hadapan Mahkamah Agama, setelah diperintahkan “supaya sama sekali jangan berbicara atau mengajar lagi dalam nama Yesus” (Kis 4:18): “Sebab tidak mungkin bagi kami untuk tidak berbicara tentang apa yang telah kami lihat dan dengar” (ayat 20). Dan mereka memiliki kuasa Roh Kudus untuk berbicara tentang hal-hal ini.

 

Hal ini juga berlaku bagi kita, yang menerima Roh Kudus dalam Sakramen Baptis dan Penguatan. Dari “Ruang Atas” Basilika ini, seperti para Rasul, kita juga diutus, khususnya pada saat ini, untuk mewartakan Injil kepada semua orang. Kita diutus ke dunia “tidak hanya secara geografis semata-mata, melainkan juga melampaui batas-batas suku bangsa dan agama; daya dorong bagi suatu perutusan yang benar-benar universal” (Redemptoris Missio, 25). Berkat Roh Kudus, kita dapat dan harus melakukan hal ini dengan kuasa dan kelemahlembutan-Nya.

 

Dengan kekuatan yang sama: yaitu, bukan dengan kesombongan dan pemaksaan – seorang kristiani tidak sombong, karena kuasanya adalah sesuatu yang lain, kuasanya adalah kuasa Roh Kudus – juga tidak dengan perhitungan dan kelicikan, tetapi dengan energi yang lahir dari kesetiaan pada kebenaran yang diajarkan Roh Kudus kepada kita di dalam hati kita dan membuat kita bertumbuh. Konsekuensinya, kita berserah diri pada Roh Kudus, bukan pada kuasa duniawi. Kita tanpa lelah menyatakan perdamaian kepada mereka yang menginginkan perang, menyatakan pengampunan kepada mereka yang ingin membalas dendam, kita menyatakan sambutan dan kesetiakawanan kepada mereka yang menutup pintu dan mendirikan penghalang, kita menyatakan kehidupan kepada mereka yang memilih kematian, kita menyatakan rasa hormat kepada mereka yang suka mempermalukan, menghina dan menolak, kita menyatakan kesetiaan kepada mereka yang ingin memutuskan setiap ikatan, sehingga mengacaukan kebebasan dengan individualisme yang suram dan kosong. Kita juga tidak terintimidasi oleh kesulitan, cemoohan atau pertentangan, yang, seperti biasanya, tidak pernah tiada dalam kerasulan (bdk. Kis 4:1-31).

 

Pada saat yang sama kita bertindak dengan kuasa ini, pewartaan kita berupaya untuk bersikap lembut, menyambut setiap orang. Janganlah kita melupakan hal ini: setiap orang, setiap orang, setiap orang. Janganlah kita melupakan perumpamaan tentang orang-orang yang diundang ke pesta tetapi tidak mau pergi: “Karena itu, pergilah ke persimpangan-persimpangan jalan dan undanglah setiap orang, setiap orang, setiap orang, orang-orang jahat dan orang-orang baik, setiap orang” (bdk. Mat 22:9-10). Roh Kudus memberi kita kuasa untuk maju dan memanggil semua orang dengan kelemahlembutan, Ia memberi kita kelemahlembutan untuk menyambut setiap orang.

 

Kita semua, saudara-saudari, sangat membutuhkan harapan, yang bukan optimisme; tidak, harapan adalah sesuatu yang lain. Kita membutuhkan harapan. Harapan digambarkan sebagai sebuah jangkar, di tepi pantai, dan dengan berpegang teguh pada talinya, kita bergerak menuju harapan. Kita memerlukan harapan, kita perlu mengarahkan pandangan kita ke cakrawala perdamaian, persaudaraan, keadilan dan kesetiakawanan. Hanya ini saja jalan kehidupan, tidak ada jalan lain. Tentu saja, jalan ini tidak selalu mudah; Memang ada kalanya jalan tersebut berkelok-kelok dan menanjak. Namun kita tahu bahwa kita tidak sendirian, kita mempunyai kepastian bahwa, dengan pertolongan Roh Kudus dan karunia-karunia-Nya, kita dapat berjalan bersama dan menjadikan jalan itu semakin mengundang sesama juga.

 

Saudara-saudari, marilah kita memperbaharui iman kita di hadapan Sang Penghibur yang berada di sisi kita, dan selanjutnya berdoa:

 

Datanglah, Roh Pencipta, terangilah pikiran kami,

penuhilah hati kami dengan rahmat-Mu, tuntunlah langkah kami,

anugerahkanlah damai-Mu kepada dunia kami. Amin.

_____

(Peter Suriadi - Bogor, 19 Mei 2024)

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.