Liturgical Calendar

HOMILI PAUS FRANSISKUS DALAM MISA HARI MINGGU BIASA XXXIII (HARI ORANG MISKIN SEDUNIA) 17 November 2024 : DUA KENYATAAN YANG SELALU BERKECAMUK DI MEDAN PERANG HATI KITA


Bacaan Ekaristi : Dan. 12:1-3; Mzm. 16:5,8,9-10,11; Ibr. 10:11-14,18; Mrk. 13:24-32.

 

Kata-kata yang baru saja kita dengar dapat membangkitkan perasaan sedih, padahal kata-kata itu sebenarnya adalah pernyataan pengharapan yang besar. Seraya Ia tampaknya menggambarkan keadaan pikiran orang-orang yang telah menyaksikan kehancuran Yerusalem dan berpikir bahwa kesudahan telah tiba, Yesus mengumumkan sesuatu yang luar biasa: tepat pada saat kegelapan dan kehancuran, tepat ketika segala sesuatu tampaknya runtuh, Allah datang, Allah mendekat, Allah mengumpulkan kita bersama-sama untuk menyelamatkan kita.

 

Yesus mengundang kita untuk melihat lebih dalam, memiliki mata yang mampu "membaca secara batiniah" peristiwa-peristiwa sejarah. Dengan cara ini, kita menemukan bahwa bahkan dalam kesedihan hati kita dan zaman kita, pengharapan yang tak tergoyahkan bersinar terang. Pada Hari Orang Miskin Sedunia ini, marilah kita berhenti sejenak untuk menelaah dua kenyataan yang selalu berkecamuk di medan perang hati kita: kesedihan dan pengharapan.

 

Pertama-tama, kesedihan. Perasaan sedih tersebar luas di zaman kita, mengingat media sosial memperbesar masalah dan luka, membuat dunia semakin tidak aman dan masa depan semakin tidak pasti. Bahkan Bacaan Injil hari ini dibuka dengan gambaran yang tampaknya memproyeksikan kesengsaraan manusia di atas alam semesta melalui penggunaan bahasa apokaliptik: "matahari akan menjadi gelap dan bulan tidak akan memancarkan sinarnya, bintang-bintang akan berjatuhan dari langit dan kuasa-kuasa langit akan guncang ..." dan seterusnya (Mrk 13:24-25).

 

Jika kita membatasi pandangan kita pada narasi peristiwa, kita membiarkan kesedihan menguasai. Sungguh, bahkan hari ini kita melihat "matahari menjadi gelap" dan "bulan memudar" ketika kita merenungkan kelaparan yang menimpa begitu banyak saudara-saudari kita yang tidak memiliki makanan untuk dimakan, dan ketika kita melihat kengerian perang atau melihat kematian orang-orang yang tidak bersalah. Menghadapi skenario ini, kita berisiko jatuh ke dalam keputusasaan dan gagal mengenali kehadiran Allah dalam drama sejarah. Dengan berbuat demikian, kita mengutuki diri kita hingga tak berdaya. Kita menyaksikan penderitaan yang semakin besar di sekitar kita yang disebabkan oleh penderitaan orang miskin, bahkan kita tergelincir ke dalam kepasrahan cara berpikir seperti orang-orang yang, digerakkan oleh kenyamanan atau kemalasan, berpikir “begitulah hidup” dan “tidak ada yang dapat saya lakukan untuk itu”. Dengan demikian, iman Kristiani itu sendiri dimerosotkan menjadi pengabdian yang tidak berbahaya karena tidak mengganggu para pemegang kekuasaan dan tidak mampu menghasilkan komitmen serius untuk beramal. Seraya satu bagian dunia dikutuk untuk hidup di daerah kumuh sejarah, seraya kesenjangan tumbuh dan ekonomi menghukum yang terlemah, seraya masyarakat mengabdikan diri pada pemujaan uang dan konsumsi, dengan sendirinya orang miskin dan terpinggirkan tidak punya pilihan selain terus menunggu (lih. Evangelii Gaudium, 54).

 

Namun, justru di sinilah, di tengah-tengah pemandangan apokaliptik itu, Yesus menyalakan pengharapan. Ia membuka cakrawala, memperluas pandangan kita, sehingga bahkan dalam ketidakpastian dan penderitaan dunia, kita dapat belajar memahami kehadiran kasih Allah, yang datang mendekati kita, tidak meninggalkan kita, dan bertindak untuk keselamatan kita. Bahkan, seperti matahari yang menjadi gelap dan bulan tidak memancarkan sinarnya serta bintang-bintang berjatuhan dari langit, Bacaan Injil mengatakan, "Pada waktu itu orang akan melihat Anak Manusia datang dalam awan-awan dengan kuasa yang besar dan kemuliaan. Pada waktu itu juga Ia akan menyuruh keluar malaikat-malaikat dan akan mengumpulkan orang-orang pilihan-Nya dari keempat penjuru bumi, dari ujung bumi sampai ke ujung langit" (Mrk 13:26-27).

 

Dengan kata-kata ini, Yesus menyinggung wafat-Nya yang akan terjadi segera setelah itu. Memang, di Kalvari matahari akan memudar dan malam akan turun ke atas dunia. Namun, pada saat itu juga, Anak Manusia akan terlihat di atas awan-awan, karena kuasa kebangkitan-Nya akan memutuskan belenggu kematian, kehidupan kekal Allah akan muncul dari kegelapan dan dunia baru akan lahir dari puing-puing sejarah yang diporak-porandakan oleh kejahatan.

 

Saudara-saudari, inilah pengharapan yang ingin diberikan Yesus kepada kita dan Ia melakukannya melalui sebuah gambaran yang indah. Ia meminta kita untuk memikirkan pohon ara: “Apabila ranting-rantingnya melembut dan mulai bertunas, kamu tahu bahwa musim panas sudah dekat” (Mrk 13:28). Kita juga dipanggil untuk menafsirkan tanda-tanda kehidupan kita di bumi ini: di mana tampaknya hanya ada ketidakadilan, penderitaan dan kemiskinan – dalam drama momen tersebut – Tuhan mendekat untuk membebaskan kita dari perbudakan dan agar kehidupan bersinar (bdk. Mrk 13:29). Ia mendekati sesama kita melalui kedekatan kristiani kita, persaudaraan kristiani kita. Bukan soal melempar koin ke tangan seseorang yang membutuhkan. Kepada orang yang memberi sedekah, saya menanyakan dua hal: “Apakah kamu menyentuh tangannya atau apakah kamu melempar koin kepadanya tanpa menyentuhnya? Apakah kamu menatap mata orang yang kamu bantu atau apakah kamu mengalihkan pandangan?”.

 

Kita, sebagai murid-murid-Nya, dapat menabur pengharapan di dunia ini melalui kuasa Roh Kudus. Kita dapat dan harus menyalakan terang keadilan dan solidaritas bahkan saat bayang-bayang dunia kita yang tertutup semakin dalam (lih. Fratelli Tutti, 9-55). Kitalah yang harus membuat kasih karunia-Nya bersinar melalui kehidupan yang dipenuhi dengan belarasa dan amal kasih yang menjadi tanda kehadiran Tuhan, yang selalu dekat dengan penderitaan orang miskin untuk menyembuhkan luka-luka mereka dan mengubah nasib mereka.

 

Saudara-saudari, janganlah kita lupa bahwa pengharapan kristiani, yang tergenapi dalam diri Yesus dan terwujud dalam kerajaan-Nya, membutuhkan diri kita dan komitmen kita, membutuhkan iman kita yang terungkap dalam karya amal kasih, dan membutuhkan orang-orang kristiani yang tidak mengalihkan pandangan. Saya sedang melihat sebuah foto yang diambil oleh seorang fotografer Roma: sepasang suami istri dewasa, yang sudah cukup tua, keluar dari sebuah restoran di musim dingin; sang istri tertutup mantel bulu, begitu pula sang suami. Di ambang pintu, ada seorang perempuan miskin, tergeletak di lantai, mengemis sedekah, dan keduanya mengalihkan pandangan. Ini terjadi setiap hari. Marilah kita bertanya pada diri kita: apakah aku mengalihkan pandangan ketika aku melihat kemiskinan, kebutuhan, atau penderitaan sesamaku? Seorang teolog abad kedua puluh mengatakan bahwa iman kristiani harus menghasilkan dalam diri kita "mistisisme dengan mata terbuka," bukan spiritualitas yang melarikan diri dari dunia tetapi - sebaliknya - iman yang membuka matanya terhadap penderitaan dunia dan ketidakbahagiaan orang miskin untuk menunjukkan belarasa Kristus. Apakah aku merasakan belarasa yang sama seperti Tuhan terhadap orang miskin, terhadap mereka yang tidak memiliki pekerjaan, yang tidak memiliki makanan, yang terpinggirkan oleh masyarakat? Kita harus melihat bukan hanya pada masalah besar kemiskinan dunia, tetapi juga pada hal-hal kecil yang dapat kita semua lakukan setiap hari melalui gaya hidup kita; melalui perhatian dan kepedulian kita terhadap lingkungan tempat kita tinggal; melalui pengupayaan keadilan yang gigih; melalui berbagi kepunyaan kita dengan mereka yang lebih miskin; melalui keterlibatan sosial dan politik untuk memperbaiki dunia di sekitar kita. Mungkin ini tampak seperti hal kecil bagi kita, tetapi hal-hal kecil yang kita lakukan akan seperti tunas pertama yang tumbuh di pohon ara, tindakan-tindakan kecil kita akan menjadi awal dari musim panas yang sudah dekat.

 

Sahabat-sahabat terkasih, pada Hari Orang Miskin Sedunia ini, saya ingin menyampaikan peringatan dari Kardinal Martini. Ia menegaskan bahwa kita harus menghindari memandang Gereja sebagai sesuatu yang terpisah dari orang miskin, seolah-olah Gereja hadir sebagai kenyataan yang berdiri sendiri yang kemudian harus peduli terhadap orang miskin. Kenyataannya, kita menjadi Gereja Yesus sejauh kita melayani orang miskin, karena hanya dengan cara ini “Gereja ‘menjadi’ dirinya sendiri, yaitu, Gereja menjadi rumah yang terbuka bagi semua orang, tempat belarasa Allah bagi kehidupan setiap individu” (C.M. Martini, Città Senza Mura. Surat dan Pidato kepada Keuskupan 1984, Bologna 1985, 350).

 

Saya menyampaikan hal ini kepada Gereja, pemerintah, dan organisasi internasional. Saya katakan kepada semua orang: janganlah kita lupakan orang miskin.

_____

(Peter Suriadi - Bogor, 17 November 2024)

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.