Liturgical Calendar

HOMILI PAUS FRANSISKUS (DIBACAKAN OLEH ANGELO KARDINAL DE DONATIS) DALAM MISA HARI RABU ABU DI BASILIKA SANTA SABINA 5 Maret 2025

Bacaan Ekaristi : Yl. 2:12-18; Mzm. 51:3-4,5-6a,12-13,14,17; 2Kor. 5:20-6:2; Mat. 6:1-6,16-18.

 

Petang ini, kita menerima abu suci. Hal ini mengingatkan kita tentang apakah kita, tetapi juga pengharapan tentang akan menjadi apakah kita nantinya. Abu mengingatkan kita bahwa kita ini debu, sekaligus membawa kita pada perjalanan menuju pengharapan yang menjadi tujuan panggilan kita. Karena Yesus turun ke dalam debu tanah dan, melalui kebangkitan-Nya, telah menarik kita bersama-Nya ke dalam hati Bapa.

 

Maka perjalanan Prapaskah menuju Paskah terbentang di tengah ingatan akan kerapuhan kita dan pengharapan bahwa, di ujung jalan, Tuhan yang bangkit sedang menanti kita.

 

Pertama, kita harus ingat. Kita menundukkan kepala untuk menerima abu seolah-olah kita melihat diri kita, melihat ke dalam diri kita. Memang, abu membantu mengingatkan kita bahwa hidup kita rapuh dan tidak berarti: kita adalah debu, kita diciptakan dari debu, dan kita akan kembali menjadi debu. Selain itu, ada begitu banyak waktu ketika, melihat diri kita atau pada kenyataan yang mengelilingi kita, kita menyadari bahwa "Betapa fananya aku [...] Manusia hanya meributkan yang sia-sia. Ia menimbun, tetapi tidak tahu siapa yang meraupnya nanti" (Mzm 39:5-6).

 

Kita mempelajarinya terutama melalui pengalaman kerapuhan kita: kelelahan kita, kelemahan yang harus kita hadapi, ketakutan yang ada dalam diri kita, kegagalan yang menggerogoti kita, sekejabnya impian kita dan kesadaran bahwa apa yang kita miliki bersifat sementara. Terbuat dari abu dan tanah, kita mengalami kerapuhan melalui penyakit, kemiskinan, dan kesulitan yang tiba-tiba dapat menimpa kita dan keluarga kita. Kita juga mengalaminya ketika, dalam kenyataan sosial dan politik zaman kita, kita mendapati diri kita terpapar "debu halus" yang mencemari dunia kita: pertentangan ideologis, penyalahgunaan kekuasaan, munculnya kembali ideologi lama yang didasarkan pada jatidiri yang menganjurkan pengucilan, eksploitasi sumber daya bumi, kekerasan dalam segala bentuknya dan perang antarmanusia. "Debu beracun" ini mengaburkan udara planet kita yang menghalangi hidup berdampingan secara damai, sementara ketidakpastian dan ketakutan akan masa depan terus meningkat.

 

Lebih jauh, kondisi rapuh mengingatkan kita pada tragedi kematian. Dalam banyak hal, kita mencoba mengusir kematian dari masyarakat kita, yang sangat bergantung pada penampilan, dan bahkan menyingkirkannya dari bahasa kita. Namun, kematian memaksakan dirinya sebagai kenyataan yang harus kita hadapi, sebuah tanda ketidakpastian dan singkatnya hidup kita.

 

Meskipun kita mengenakan topeng dan berbagai taktik cerdik yang dimaksudkan untuk mengalihkan perhatian kita, abu mengingatkan kita tentang siapa diri kita. Ini baik untuk kita. Abu membentuk kita kembali, mengurangi keparahan narsisme kita, membawa kita kembali ke kenyataan dan membuat kita semakin rendah hati dan terbuka terhadap satu sama lain: tidak seorang pun dari kita adalah Allah; kita semua sedang dalam perjalanan.

 

Namun, Masa Prapaskah juga merupakan undangan untuk menyalakan kembali pengharapan kita. Meskipun kita menerima abu dengan kepala tertunduk untuk mengenang siapa diri kita, Masa Prapaskah tidak berakhir di sana. Sebaliknya, kita diundang untuk mengangkat mata kita kepada Dia yang bangkit dari kedalaman kematian dan membawa kita dari abu dosa dan kematian menuju kemuliaan kehidupan kekal.

 

Abu mengingatkan kita akan pengharapan yang kita miliki dalam Yesus, Putra Allah, yang telah mengambil debu tanah dan mengangkatnya ke tempat yang tinggi di surga. Ia turun ke jurang debu, wafat untuk kita dan mendamaikan kita dengan Bapa, sebagaimana kita dengar dari Santo Paulus: “Dia yang tidak mengenal dosa telah dibuat-Nya menjadi dosa karena kita” (2Kor 5:21).

 

Saudara-saudari, inilah pengharapan yang menghidupkan kembali "abu" kehidupan kita. Tanpa pengharapan seperti itu, kita ditakdirkan untuk secara pasif menanggung kerapuhan kondisi manusiawi kita. Terutama ketika dihadapkan dengan pengalaman kematian, ketiadaan pengharapan dapat membuat kita jatuh ke dalam kesedihan dan kehancuran, dan kita akhirnya bernalar seperti orang bodoh: "Singkat dan menyedihkan hidup kita, dan tidak ada obatnya ketika kehidupan berakhir [...] tubuh akan berubah menjadi abu, dan roh akan hancur seperti udara kosong" (Keb 2:1-3). Namun pengharapan Paskah yang kita tuju meyakinkan kita akan pengampunan Allah. Bahkan ketika tenggelam dalam abu dosa, pengharapan membuka kita terhadap pengakuan hidup yang penuh sukacita: "Tetapi, aku tahu Penebusku hidup, dan akhirnya Ia akan bangkit di atas bumi" (Ayb 19:25). Marilah kita mengingat hal ini: “Manusia itu debu dan akan kembali menjadi debu, tetapi debu berharga di mata Allah, sebab Allah menciptakan manusia dan menentukannya untuk keabadian” (Benediktus XVI, Audiensi Umum, 17 Februari 2010).

 

Saudara-saudari, setelah menerima abu, kita melangkah menuju pengharapan Paskah. Marilah kita berbalik kepada Allah. Marilah kita berbalik kepada-Nya dengan segenap hati (bdk. Yoel 2:12). Marilah kita menempatkan Dia di pusat kehidupan kita, sehingga kenangan akan siapa kita — rapuh dan fana seperti abu yang diterbangkan angin — akhirnya dapat dipenuhi dengan pengharapan akan Tuhan yang bangkit. Marilah kita mengarahkan hidup kita kepada-Nya, menjadi tanda pengharapan bagi dunia. Marilah kita belajar dari sedekah untuk melampaui diri kita, saling berbagi kebutuhan dan memelihara pengharapan akan dunia yang lebih adil. Marilah kita belajar dari doa untuk menemukan kebutuhan kita akan Allah atau, sebagaimana dikatakan Jacques Maritain, bahwa kita adalah "pengemis surga", dan dengan demikian menumbuhkan pengharapan bahwa di balik kelemahan kita ada seorang Bapa yang menunggu kita dengan tangan terbuka di akhir peziarahan duniawi kita. Akhirnya, marilah kita belajar dari puasa bahwa kita hidup bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan kita, melainkan juga haus akan kasih dan kebenaran, hanya kasih kepada Allah dan kasih kepada satu sama lain yang dapat benar-benar memuaskan kita dan memberi kita pengharapan untuk masa depan yang lebih baik.

 

Marilah kita bertekun dalam keyakinan bahwa sejak Tuhan mengambil abu umat manusia, “sejarah bumi adalah sejarah surga. Allah dan manusia terikat bersama dalam satu takdir” (C. Carretto, Il deserto nella città, Roma 1986, 55), dan Ia akan selamanya menyapu bersih abu kematian dan membuat kita bersinar dengan kehidupan yang baru.

 

Dengan pengharapan ini di dalam hati kita, marilah kita memulai perjalanan kita. Marilah kita berdamai dengan Allah.

____

(Peter Suriadi - Bogor, 6 Maret 2025)

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.