Petang ini, kita menerima abu suci. Hal
ini mengingatkan kita tentang apakah kita, tetapi juga pengharapan tentang akan
menjadi apakah kita nantinya. Abu mengingatkan kita bahwa kita ini debu,
sekaligus membawa kita pada perjalanan menuju pengharapan yang menjadi tujuan
panggilan kita. Karena Yesus turun ke dalam debu tanah dan, melalui
kebangkitan-Nya, telah menarik kita bersama-Nya ke dalam hati Bapa.
Maka perjalanan Prapaskah menuju Paskah
terbentang di tengah ingatan akan kerapuhan kita dan pengharapan bahwa, di
ujung jalan, Tuhan yang bangkit sedang menanti kita.
Pertama, kita harus ingat. Kita
menundukkan kepala untuk menerima abu seolah-olah kita melihat diri kita,
melihat ke dalam diri kita. Memang, abu membantu mengingatkan kita bahwa hidup
kita rapuh dan tidak berarti: kita adalah debu, kita diciptakan dari debu, dan
kita akan kembali menjadi debu. Selain itu, ada begitu banyak waktu ketika,
melihat diri kita atau pada kenyataan yang mengelilingi kita, kita menyadari
bahwa "Betapa fananya aku [...] Manusia hanya meributkan yang sia-sia. Ia
menimbun, tetapi tidak tahu siapa yang meraupnya nanti" (Mzm 39:5-6).
Kita mempelajarinya terutama melalui
pengalaman kerapuhan kita: kelelahan kita, kelemahan yang harus kita hadapi,
ketakutan yang ada dalam diri kita, kegagalan yang menggerogoti kita,
sekejabnya impian kita dan kesadaran bahwa apa yang kita miliki bersifat
sementara. Terbuat dari abu dan tanah, kita mengalami kerapuhan melalui
penyakit, kemiskinan, dan kesulitan yang tiba-tiba dapat menimpa kita dan
keluarga kita. Kita juga mengalaminya ketika, dalam kenyataan sosial dan
politik zaman kita, kita mendapati diri kita terpapar "debu halus"
yang mencemari dunia kita: pertentangan ideologis, penyalahgunaan kekuasaan,
munculnya kembali ideologi lama yang didasarkan pada jatidiri yang menganjurkan
pengucilan, eksploitasi sumber daya bumi, kekerasan dalam segala bentuknya dan
perang antarmanusia. "Debu beracun" ini mengaburkan udara planet kita
yang menghalangi hidup berdampingan secara damai, sementara ketidakpastian dan
ketakutan akan masa depan terus meningkat.
Lebih jauh, kondisi rapuh mengingatkan
kita pada tragedi kematian. Dalam banyak hal, kita mencoba mengusir kematian
dari masyarakat kita, yang sangat bergantung pada penampilan, dan bahkan
menyingkirkannya dari bahasa kita. Namun, kematian memaksakan dirinya sebagai
kenyataan yang harus kita hadapi, sebuah tanda ketidakpastian dan singkatnya
hidup kita.
Meskipun kita mengenakan topeng dan
berbagai taktik cerdik yang dimaksudkan untuk mengalihkan perhatian kita, abu
mengingatkan kita tentang siapa diri kita. Ini baik untuk kita. Abu membentuk
kita kembali, mengurangi keparahan narsisme kita, membawa kita kembali ke
kenyataan dan membuat kita semakin rendah hati dan terbuka terhadap satu sama
lain: tidak seorang pun dari kita adalah Allah; kita semua sedang dalam
perjalanan.
Namun, Masa Prapaskah juga merupakan
undangan untuk menyalakan kembali pengharapan kita. Meskipun kita menerima abu
dengan kepala tertunduk untuk mengenang siapa diri kita, Masa Prapaskah tidak
berakhir di sana. Sebaliknya, kita diundang untuk mengangkat mata kita kepada
Dia yang bangkit dari kedalaman kematian dan membawa kita dari abu dosa dan
kematian menuju kemuliaan kehidupan kekal.
Abu mengingatkan kita akan pengharapan
yang kita miliki dalam Yesus, Putra Allah, yang telah mengambil debu tanah dan
mengangkatnya ke tempat yang tinggi di surga. Ia turun ke jurang debu, wafat
untuk kita dan mendamaikan kita dengan Bapa, sebagaimana kita dengar dari Santo
Paulus: “Dia yang tidak mengenal dosa telah dibuat-Nya menjadi dosa karena
kita” (2Kor 5:21).
Saudara-saudari, inilah pengharapan
yang menghidupkan kembali "abu" kehidupan kita. Tanpa pengharapan
seperti itu, kita ditakdirkan untuk secara pasif menanggung kerapuhan kondisi
manusiawi kita. Terutama ketika dihadapkan dengan pengalaman kematian,
ketiadaan pengharapan dapat membuat kita jatuh ke dalam kesedihan dan
kehancuran, dan kita akhirnya bernalar seperti orang bodoh: "Singkat dan
menyedihkan hidup kita, dan tidak ada obatnya ketika kehidupan berakhir [...]
tubuh akan berubah menjadi abu, dan roh akan hancur seperti udara kosong"
(Keb 2:1-3). Namun pengharapan Paskah yang kita tuju meyakinkan kita akan
pengampunan Allah. Bahkan ketika tenggelam dalam abu dosa, pengharapan membuka
kita terhadap pengakuan hidup yang penuh sukacita: "Tetapi, aku tahu
Penebusku hidup, dan akhirnya Ia akan bangkit di atas bumi" (Ayb 19:25).
Marilah kita mengingat hal ini: “Manusia itu debu dan akan kembali menjadi
debu, tetapi debu berharga di mata Allah, sebab Allah menciptakan manusia dan
menentukannya untuk keabadian” (Benediktus XVI, Audiensi Umum, 17 Februari
2010).
Saudara-saudari, setelah menerima abu,
kita melangkah menuju pengharapan Paskah. Marilah kita berbalik kepada Allah.
Marilah kita berbalik kepada-Nya dengan segenap hati (bdk. Yoel 2:12). Marilah
kita menempatkan Dia di pusat kehidupan kita, sehingga kenangan akan siapa kita
— rapuh dan fana seperti abu yang diterbangkan angin — akhirnya dapat dipenuhi
dengan pengharapan akan Tuhan yang bangkit. Marilah kita mengarahkan hidup kita
kepada-Nya, menjadi tanda pengharapan bagi dunia. Marilah kita belajar dari
sedekah untuk melampaui diri kita, saling berbagi kebutuhan dan memelihara
pengharapan akan dunia yang lebih adil. Marilah kita belajar dari doa untuk menemukan
kebutuhan kita akan Allah atau, sebagaimana dikatakan Jacques Maritain, bahwa
kita adalah "pengemis surga", dan dengan demikian menumbuhkan
pengharapan bahwa di balik kelemahan kita ada seorang Bapa yang menunggu kita
dengan tangan terbuka di akhir peziarahan duniawi kita. Akhirnya, marilah kita
belajar dari puasa bahwa kita hidup bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan kita,
melainkan juga haus akan kasih dan kebenaran, hanya kasih kepada Allah dan
kasih kepada satu sama lain yang dapat benar-benar memuaskan kita dan memberi
kita pengharapan untuk masa depan yang lebih baik.
Marilah kita bertekun dalam keyakinan
bahwa sejak Tuhan mengambil abu umat manusia, “sejarah bumi adalah sejarah
surga. Allah dan manusia terikat bersama dalam satu takdir” (C. Carretto, Il deserto nella città, Roma 1986, 55),
dan Ia akan selamanya menyapu bersih abu kematian dan membuat kita bersinar
dengan kehidupan yang baru.
Dengan pengharapan ini di dalam hati
kita, marilah kita memulai perjalanan kita. Marilah kita berdamai dengan Allah.
____
(Peter Suriadi - Bogor, 6 Maret 2025)
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.