Hari
ini kita juga telah mengikuti Yesus, pertama dalam perarakan meriah dan
kemudian di sepanjang jalan yang penuh dengan penderitaan dan duka, saat kita memasuki
Pekan Suci ini sebagai persiapan untuk memperingati sengsara, wafat, dan
kebangkitan Tuhan.
Saat
kita melihat wajah para prajurit dan air mata para perempuan di tengah
kerumunan orang, perhatian kita tertuju pada seseorang yang tak dikenal yang namanya
tiba-tiba muncul dalam Injil: Simon dari Kirene. Dialah orang yang ditangkap
oleh para prajurit yang kemudian "meletakkan salib itu di atas bahunya,
supaya dipikulnya sambil mengikuti Yesus" (Luk 23:26). Saat itu, ia datang
dari pedesaan. Ia kebetulan lewat ketika tiba-tiba ia mendapati dirinya
terjebak dalam drama yang membuatnya kewalahan, karena kayu yang berat yang
diletakkan di bahunya.
Saat
kita berjalan menuju Kalvari, marilah kita merenungkan sejenak tindakan Simon,
mencoba melihat ke dalam hatinya, dan mengikuti jejaknya di samping Yesus.
Pertama-tama,
tindakan Simon bersifat ambivalen. Di satu sisi, ia dipaksa untuk memikul
salib. Ia tidak menolong Yesus karena keyakinannya, tetapi karena paksaan. Di
sisi lain, ia kemudian terlibat secara pribadi dalam sengsara Tuhan. Salib
Yesus menjadi salib Simon. Ia bukan Simon, yang disebut Petrus, yang telah
berjanji untuk mengikuti Sang Guru setiap saat. Simon tersebut menghilang pada
malam pengkhianatan, bahkan setelah ia berkata, "Tuhan, aku bersedia masuk
penjara dan mati bersama-sama dengan Engkau" (Luk 22:33). Orang yang
sekarang mengikuti Yesus bukan murid itu, melainkan orang dari Kirene ini.
Namun dengan jelas Sang Guru telah mengajarkan, "Jika seseorang mau
mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya setiap hari dan
mengikut Aku" (Luk 9:23). Simon dari Galilea berbicara tetapi tidak
bertindak. Simon dari Kirene bertindak tetapi tidak berbicara. Antara dia dan
Yesus, tidak ada dialog; tidak ada sepatah kata pun yang terucap. Antara dia
dan Yesus, hanya ada kayu salib.
Jika
kita ingin tahu apakah Simon dari Kirene menolong atau membenci Yesus, yang
penderitaan-Nya kini harus ia tanggung, apakah ia “memikul” salib Tuhan atau
sekadar membawanya, kita harus melihat ke dalam hatinya. Sementara hati Allah
selalu terbuka, tertusuk oleh penderitaan yang menyingkapkan belas kasihan-Nya,
hati manusia tetap tertutup. Kita tidak tahu apa yang terjadi dalam hati Simon.
Marilah kita bayangkan diri kita berada di tempatnya: apakah kita akan merasa marah
atau kasihan, iba atau kesal? Ketika kita memikirkan apa yang dilakukan Simon
bagi Yesus, kita juga harus memikirkan apa yang dilakukan Yesus bagi Simon —
apa yang Ia lakukan bagi saya, bagimu, bagi kita masing-masing: Ia menebus
dunia. Salib kayu yang dipikul Simon dari Kirene adalah salib Kristus, yang
sendirian menanggung dosa seluruh umat manusia. Ia menanggungnya karena Ia
mengasihi kita, dalam ketaatan kepada Bapa (bdk. Luk 22:42); Ia menderita
bersama kita dan demi kita. Dengan cara yang tak terduga dan menakjubkan ini,
Simon dari Kirene menjadi bagian dari sejarah keselamatan, di mana tidak
seorang pun menjadi orang yang tak dikenal, tidak seorang pun menjadi orang
asing.
Marilah
kita mengikuti jejak Simon, karena ia mengajarkan kita bahwa Yesus datang untuk
menemui setiap orang, dalam setiap situasi. Ketika kita melihat banyak orang
yang didorong oleh kebencian dan kekerasan untuk berjalan menuju Kalvari,
marilah kita ingat bahwa Allah telah menjadikan jalan ini sebagai tempat
penebusan, karena Ia sendiri yang menjalaninya, menyerahkan nyawa-Nya bagi
kita. Berapa banyak Simon dari Kirene yang ada di zaman kita, memikul salib
Kristus di bahu mereka! Dapatkah kita mengenali mereka? Dapatkah kita melihat
Tuhan di wajah mereka, yang dirusak oleh beban perang dan perampasan?
Dihadapkan dengan ketidakadilan kejahatan yang mengerikan, kita tidak pernah
memikul salib Kristus secara sia-sia; sebaliknya, merupakan cara yang paling
nyata bagi kita untuk ambil bagian dalam kasih penebusan-Nya.
Kesengsaraan
Yesus berubah menjadi belas kasih setiap kali kita mengulurkan tangan kepada
mereka yang merasa tidak dapat melanjutkan, ketika kita mengangkat mereka yang
telah jatuh, ketika kita merangkul mereka yang putus asa. Saudara-saudari,
untuk mengalami mukjizat belas kasih yang luar biasa ini, marilah kita putuskan
bagaimana kita harus memikul salib kita selama Pekan Suci ini: jika tidak di
bahu kita, pikullah di dalam hati kita. Dan bukan hanya salib kita, tetapi juga
salib orang-orang yang menderita di sekitar kita; bahkan mungkin salib orang
yang tidak kita kenal yang kebetulan — namun apakah benar-benar kebetulan? —
telah ditempatkan di jalan kita. Marilah kita mempersiapkan diri untuk misteri
Paskah Tuhan dengan menjadi, bagi satu sama lain, Simon dari Kirene.
_____
(Peter Suriadi - Bogor, 13 April 2025)
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.