Bacaan Ekaristi : Kis. 7:55-60; Mzm. 97:1,2b,6,7c,9; Why. 22:12-14,16-17,20; Yoh. 17:20-26.
Bacaan
Injil yang baru saja kita dengar menunjukkan kepada kita bahwa Yesus, pada
Perjamuan Terakhir, mendoakan kita (bdk. Yoh 17:20). Sabda Allah, yang menjadi
manusia, saat Ia mendekati akhir hidup-Nya di dunia, memikirkan kita,
saudara-saudari-Nya, dan menjadi berkat, doa permohonan dan pujian kepada Bapa,
dalam kuasa Roh Kudus. Saat kita sendiri, penuh dengan rasa takjub dan percaya,
masuk ke dalam doa Yesus, kita menjadi, berkat kasih-Nya, bagian dari rencana
besar yang menyangkut segenap umat manusia.
Kristus
berdoa supaya kita semua dapat “menjadi satu” (ayat 21). Inilah kebaikan
terbesar yang dapat kita harapkan, karena persatuan universal ini menghasilkan
di antara ciptaan-Nya persekutuan kasih yang kekal, yaitu Allah sendiri: Bapa
yang memberi hidup, Putra yang menerimanya, dan Roh yang membagikannya.
Tuhan
tidak ingin kita, dalam kesatuan ini, menjadi kumpulan orang yang tidak bernama
dan tidak berwajah. Ia ingin kita menjadi satu: “Sama seperti Engkau, ya Bapa,
di dalam Aku dan Aku di dalam Engkau, agar mereka juga di dalam Kita” (ayat
21). Kesatuan yang didoakan Yesus adalah persekutuan yang berlandaskan kasih
yang sama dengan kasih Allah, yang membawa kehidupan dan keselamatan ke dalam
dunia. Dengan demikian, pertama-tama kesatuan adalah anugerah yang dibawa
Yesus. Dari hati manusiawi-Nya, Putra Allah berdoa kepada Bapa dengan kata-kata
ini: “Aku di dalam mereka dan Engkau di dalam Aku supaya mereka menjadi satu
dengan sempurna, agar dunia tahu bahwa Engkau yang telah mengutus Aku dan bahwa
Engkau mengasihi mereka, sama seperti Engkau mengasihi Aku” (ayat 23).
Marilah
kita mendengarkan kata-kata ini dengan takjub. Yesus memberitahu kita bahwa
Allah mengasihi kita sebagaimana Ia mengasihi diri-Nya. Bapa tidak kurang
mengasihi kita daripada Ia mengasihi Putra-Nya yang tunggal. Dengan kata lain,
dengan kasih yang tak terbatas. Allah tidak kurang mengasihi, karena Ia
mengasihi terlebih dahulu, sejak awal! Kristus sendiri memberi kesaksian
tentang hal ini ketika Ia berkata kepada Bapa, "Engkau telah mengasihi Aku
sebelum dunia dijadikan" (ayat 24). Dan memang demikian adanya: dalam
belas kasihan-Nya, Allah selalu ingin menarik semua orang kepada-Nya.
Hidup-Nya, yang dianugerahkan kepada kita dalam Kristus, yang menjadikan kita
satu, menyatukan kita satu sama lain.
Mendengarkan
Bacaan Injil hari ini, selama Yubileum Keluarga, Anak-anak, Kakek-Nenek, dan
Orang Lanjut Usia, membuat kita bersukacita.
Sahabat
terkasih, kita menerima kehidupan sebelum kita menginginkannya. Seperti yang
dikatakan Paus Fransiskus: “kita semua adalah putra dan putri, tetapi tidak
seorang pun dari kita memilih untuk dilahirkan” (Angelus, 1 Januari 2025).
Tidak hanya itu. Begitu kita dilahirkan, kita membutuhkan orang lain untuk
hidup; jika kita hidup sendiri, kita tidak akan bertahan hidup. Orang lain
menyelamatkan kita dengan merawat kita secara jasmani dan rohani. Kita semua hidup
hari ini berkat sebuah hubungan, hubungan yang bebas dan membebaskan dari
kebaikan hati manusia dan kepedulian bersama.
Sahabat-sahabat
terkasih, kita menerima kehidupan sebelum kita menginginkannya. Seperti yang
dikatakan Paus Fransiskus: “kita semua adalah putra dan putri, tetapi tidak
seorang pun dari kita memilih untuk dilahirkan” (Angelus, 1 Januari 2025).
Tidak hanya itu. Begitu kita dilahirkan, kita membutuhkan orang lain untuk
hidup; jika kita sendiri, kita tidak akan bertahan hidup. Orang lain
menyelamatkan kita dengan merawat kita secara jasmani dan rohani. Kita semua
hidup hari ini berkat sebuah hubungan, hubungan yang bebas dan membebaskan dari
kebaikan hati manusia dan kepedulian bersama.
Kebaikan
hati manusia itu terkadang dikhianati. Misalnya, setiap kali kebebasan bukan dimohonkan
untuk memberi kehidupan, tetapi untuk merenggutnya, bukan untuk membantu,
tetapi untuk menyakiti. Namun bahkan dalam menghadapi kejahatan yang menentang
dan merenggut kehidupan, Yesus terus berdoa kepada Bapa demi kita. Doa-Nya
bertindak sebagai balsem untuk luka-luka kita; doa-Nya berbicara kepada kita
tentang pengampunan dan rekonsiliasi. Doa-Nya membuat pengalaman cinta kita
satu sama lain sebagai orang tua, kakek-nenek, putra dan putri menjadi
sepenuhnya bermakna. Itulah yang ingin kita sampaikan kepada dunia: kita ada di
sini untuk menjadi "satu" sebagaimana Tuhan menghendaki kita menjadi
"satu," dalam keluarga kita dan di tempat kita tinggal, bekerja, dan
belajar. Berbeda, tetapi satu; banyak, tetapi satu; selalu, dalam setiap
situasi dan di setiap tahap kehidupan.
Sahabat-sahabat
terkasih, jika kita saling mengasihi dengan cara ini, yang berlandaskan
Kristus, yang adalah “Alfa dan Omega,” “Yang Pertama dan Yang Terkemudian”
(bdk. Why 22:13), kita akan menjadi tanda perdamaian bagi semua orang, dalam
masyarakat dan dunia. Janganlah kita lupa: keluarga adalah tempat lahirnya masa
depan umat manusia.
Dalam
beberapa dekade terakhir, kita telah menerima tanda yang memenuhi kita dengan
sukacita tetapi juga membuat kita berpikir. Kenyataan bahwa beberapa pasangan
suami-istri telah dibeatifikasi dan dikanonisasi, tidak sendiri-sendiri, tetapi
sebagai pasangan. Saya memikirkan Louis dan Zélie Martin, orang tua Santa
Teresa dari Kanak-kanak Yesus; dan Beata Luigi dan Maria Beltrame Quattrocchi,
yang membesarkan sebuah keluarga di Roma pada abad yang lalu. Dan janganlah
kita melupakan keluarga Ulma dari Polandia: orang tua dan anak-anak, bersatu
dalam kasih dan kemartiran. Saya katakan bahwa ini adalah tanda yang membuat
kita berpikir. Dengan menunjuk mereka sebagai saksi teladan kehidupan
perkawinan, Gereja memberitahu kita bahwa dunia dewasa ini membutuhkan
perjanjian perkawinan agar kita dapat mengenal dan menerima kasih Allah serta
mengalahkan, berkat kekuatannya yang menyatukan dan mendamaikan, kekuatan-kekuatan
yang memecah belah hubungan dan masyarakat.
Oleh
karena itu, dengan hati yang dipenuhi rasa syukur dan harapan, saya ingin
mengingatkan semua pasangan suami istri bahwa perkawinan bukanlah cita-cita,
melainkan ukuran kasih sejati antara seorang laki-laki dan seorang perempuan:
kasih yang total, setia, dan berbuah (bdk. Santo Paulus VI, Humanae Vitae, 9).
Kasih ini menjadikanmu satu daging dan memampukanmu, menurut gambar Allah,
menganugerahkan karunia kehidupan.
Maka,
saya mendorongmu untuk menjadi teladan keutuhan bagi anak-anakmu, bertindak
sebagaimana kamu inginkan mereka bertindak, mendidik mereka dalam kebebasan
melalui kepatuhan, selalu melihat kebaikan dalam diri mereka dan menemukan cara
untuk memeliharanya. Dan kamu, anak-anak terkasih, tunjukkanlah rasa terima
kasih kepada orang tuamu. Mengucapkan "terima kasih" setiap hari atas
karunia kehidupan dan semua yang menyertainya adalah cara pertama untuk
menghormati ayah dan ibumu (bdk. Kel 20:12). Akhirnya, kakek-nenek dan orang
lanjut usia yang terkasih, saya sarankan agar kamu menjaga orang-orang yang
kamu kasihi dengan kebijaksanaan dan belas kasihan, dan dengan kerendahan hati
dan kesabaran yang datang seiring bertambahnya usia.
Dalam
keluarga, iman diwariskan bersama dengan kehidupan, dari generasi ke generasi.
Iman dibagikan seperti makanan di meja makan keluarga dan seperti kasih di
dalam hati kita. Dengan cara ini, keluarga menjadi tempat istimewa untuk
berjumpa Yesus, yang mengasihi kita dan selalu menginginkan kebaikan kita.
Perkenankan
saya menambahkan satu hal terakhir. Doa Putra Allah, yang memberi kita harapan
dalam perjalanan kita, juga mengingatkan kita bahwa suatu hari nanti kita semua
akan menjadi uno unum (lih. Santo Agustinus, Sermo super Mzm. 127): satu dalam
satu Juruselamat, dipeluk oleh kasih abadi Allah. Bukan hanya kita, tetapi juga
ayah, ibu, nenek, kakek, saudara, saudari, dan anak-anak kita yang telah
mendahului kita ke dalam terang Paskah-Nya yang kekal, dan yang kehadirannya
kita rasakan di sini, bersama kita, pada saat perayaan ini.
____
(Peter Suriadi - Bogor, 1 Juni 2025)
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.