Bacaan Ekaristi : Kis 1:12-14; Mzm 87:1-2,3,5,6-7; Yoh. 19:25-34.
Saudara-saudari
terkasih,
Hari
ini kita menikmati sukacita dan rahmat merayakan Yubileum Takhta Suci pada
peringatan wajib Santa Perawan Maria Bunda Gereja. Kebetulan yang membahagiakan
ini merupakan sumber terang dan inspirasi batin dalam Roh Kudus, yang kemarin,
pada hari Pentakosta, mencurahkan diri-Nya secara melimpah kepada umat Allah.
Dalam suasana rohani inilah kita sedang mengalami hari yang istimewa; pertama
dengan meditasi yang telah kita dengar dan sekarang, di meja Sabda dan Ekaristi.
Sabda
Allah dalam perayaan ini membantu kita memahami misteri Gereja dan, di
dalamnya, misteri Takhta Suci, dalam terang dua gambaran biblis yang diilhami
oleh Roh dalam Kisah Para Rasul (1:12-14) dan dalam Injil Yohanes (19:25-34).
Mari
kita awali dengan kisah fundamental, yaitu kisah kematian Yesus. Yohanes,
satu-satunya rasul dari Kelompok Dua Belas yang hadir di Kalvari, melihat dan
bersaksi bahwa di dekat salib berdiri ibu Yesus bersama para perempuan lainnya
(lih. Yoh 19:25). Dan ia mendengar dengan telinganya sendiri kata-kata terakhir
Sang Guru, di antaranya adalah: "Ibu, inilah anakmu!" dan kemudian,
sambil menoleh kepadanya, "Inilah ibumu!" (Yoh 19:26-27).
Keibuan
Maria melalui misteri Salib mengalami lompatan yang tak terbayangkan: ibu Yesus
menjadi Hawa baru, sumber kehidupan baru dan kekal bagi setiap orang yang
datang ke dunia, karena Putranya mengaitkan dirinya dengan kematian
penebusan-Nya. Tema berbuah hadir dengan jelas dalam liturgi ini. Doa pembukaan
langsung menyoroti hal ini dengan memohon kepada Bapa agar Gereja, yang
ditopang oleh kasih Kristus, “dapat semakin berbuah dari hari demi hari.” (Doa
Pembuka)
Buah
Gereja sama seperti buah Maria; Buah Gereja terwujud dalam kehidupan para
anggotanya sejauh mereka menghidupkan kembali, “dalam bentuk miniatur,” apa
yang dihidupi Sang Bunda, yaitu, mereka mengasihi sesuai dengan kasih Yesus.
Seluruh buah Gereja dan Takhta Suci bergantung pada salib Kristus. Jika
sebaliknya, itu hanya penampilan, jika bukan lebih buruk. Seorang teolog besar
masa kini menulis: “Jika Gereja adalah pohon yang tumbuh dari biji sesawi kecil
salib, pohon ini ditakdirkan untuk menghasilkan biji sesawi pada gilirannya,
dan karenanya buah-buah yang mengulang bentuk salib, karena justru kepada
saliblah mereka berutang keberadaan mereka” (H.U. von Balthasar, Cordula ovverosia il caso serio, Brescia 1969,
45-46).
Dalam
Doa Pembuka, kita juga berdoa agar Gereja bersukacita “atas kekudusan
anak-anaknya.” Bahkan, buah Maria dan Gereja terkait erat dengan kekudusan
mereka, yang merupakan keselarasan mereka dengan Kristus. Takhta Suci kudus
sebagaimana Gereja kudus, dalam hakikat aslinya, dalam tatanan keberadaannya.
Dengan demikian, Takhta Suci memelihara kekudusan akar-akarnya seraya
dilestarikan olehnya. Namun, sangat benar bahwa ia juga hidup dalam kekudusan
setiap anggotanya. Oleh karena itu, cara terbaik untuk melayani Takhta Suci
adalah dengan berjuang untuk kekudusan, masing-masing menurut keadaan hidupnya
dan pekerjaan yang dipercayakan kepadanya.
Misalnya,
seorang imam yang secara pribadi memikul salib berat karena pelayanannya,
tetapi setiap hari pergi ke kantor dan berusaha melakukan tugasnya sebaik
mungkin dengan cinta dan iman, imam ini berpartisipasi dan berkontribusi pada
Gereja yang berbuah. Demikian pula, seorang ayah atau ibu dari sebuah keluarga
yang hidup dalam situasi sulit di rumah, dengan seorang anak yang menjadi
penyebab kekhawatiran atau orang tua yang sakit, dan melanjutkan pekerjaannya
dengan berkomitmen, pria atau wanita itu berbuah dengan buah Maria dan Gereja.
Marilah
kita beralih ke gambaran kedua, gambaran yang dipaparkan oleh Santo Lukas di
awal Kisah Para Rasul, yang menggambarkan ibu Yesus bersama para Rasul dan
murid-murid-Nya di Ruang Atas (1:12-14). Gambaran ini menghadirkan keibuan
Maria terhadap Gereja yang baru lahir, keibuan “pola dasar” yang tetap relevan
di setiap waktu dan tempat. Gambaran ini selalu dan terutama merupakan buah
Misteri Paskah, buah karunia Tuhan yang tersalib dan bangkit.
Roh
Kudus, yang turun dengan kuasa-Nya atas jemaat perdana, adalah Roh yang sama
yang dikaruniakan Yesus pada saat hembusan napas terakhir-Nya (bdk. Yoh 19:30).
Gambaran biblis ini tidak dapat dipisahkan dari gambaran pertama. Buah Gereja
selalu dikaitkan dengan rahmat yang mengalir dari hati Yesus yang tertikam,
bersama dengan darah dan air, melambangkan sakramen-sakramen (bdk. Yoh 19:34).
Di
Ruang Atas, berkat perutusan keibuan yang diterimanya di kaki salib, Maria
melayani komunitas yang baru lahir: dialah kenangan hidup tentang Yesus dan,
sebagai pusat perhatian, dialah yang menyelaraskan perbedaan-perbedaan dan
memastikan kesatuan doa para murid.
Dalam
teks ini juga, para Rasul disebutkan namanya dan, seperti biasa, Petrus
disebutkan pertama (lihat ayat 13). Namun, ia sendiri, sesungguhnya, adalah
orang pertama yang didukung oleh Maria dalam pelayanannya. Dengan cara yang
sama, Gereja Bunda mendukung pelayanan para penerus Petrus dengan karisma
Maria. Takhta Suci mengalami dengan cara yang sangat khusus hidup berdampingan
dari dua kutub; kutub Maria dan kutub Petrus. Kutub Maria, dengan keibuannya,
karunia Kristus dan Roh, yang memastikan buah dan kekudusan kutub Petrus.
Sahabat
terkasih, marilah kita memuji Allah karena Sabda-Nya, pelita yang menuntun
langkah kita, bahkan dalam kehidupan sehari-hari kita dalam melayani Takhta
Suci. Diterangi oleh Sabda-Nya, marilah kita memperbarui doa kita: Ya Bapa,
semoga Gereja-Mu, yang ditopang oleh kasih Kristus, semakin berbuah dalam Roh,
bersukacita dalam kekudusan anak-anaknya, dan menarik segenap keluarga
manusiawi untuk memeluknya (lihat Doa Pembuka dalam Misale Italia). Amin.
_______
(Peter Suriadi - Bogor, 9 Juni 2025)
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.