Liturgical Calendar

HOMILI PAUS LEO XIV DALAM MISA BERSAMA INSAN UNIVERSITAS KEPAUSAN 27 Oktober 2025

Bacaan Ekaristi : Rm. 8:12-17; Mzm. 68:2,4,6-7ab,20-21; Luk. 13:10-17.

 

Saudara-saudari terkasih,

 

Berkumpul di tempat ini selama Tahun Yubileum adalah anugerah yang tak boleh kita anggap remeh. Terutama anugerah karena berziarah, melewati Pintu Suci, mengingatkan kita bahwa hidup hanya bermakna ketika dijalani sebagai sebuah perjalanan, ketika ia tahu bagaimana terus bergerak maju, yaitu, ketika ia mampu menghadirkan kenyataan Paskah.

 

Maka, memikirkan bagaimana Gereja, melalui perayaan Yubileum selama bulan-bulan ini, telah mengingat bahwa ia senantiasa perlu mengalami pertobatan dan bahwa ia harus selalu berjalan di belakang Yesus tanpa ragu dan tanpa godaan untuk mendahului-Nya sungguh baik. Sungguh, Gereja senantiasa membutuhkan Paskah, yaitu, "melewati" perbudakan menuju kebebasan, kematian menuju kehidupan. Saya berharap kamu semua mengalami dalam dirimu anugerah pengharapan ini, dan semoga Yubileum menjadi kesempatan untuk memulai kembali hidupmu.

 

Hari ini, saya ingin memberi amanat kepada kamu yang merupakan bagian dari lembaga universitas dan semua orang yang, dengan berbagai cara, mengabdikan diri untuk belajar, mengajar, dan meneliti. Anugerah apakah yang dapat menyentuh kehidupan seorang mahasiswa, seorang peneliti, seorang cendekiawan? Saya akan menjawabnya dengan cara ini: rahmat visi yang menyeluruh, sudut pandang yang mampu menjangkau cakrawala, memandang melampaui.

 

Kita dapat melihat wawasan ini dalam perikop Injil yang baru saja diwartakan (Luk 13:10-17), yang menggambarkan seorang perempuan yang punggungnya bungkuk dan, setelah disembuhkan oleh Yesus, akhirnya dapat menerima rahmat sudut pandang baru, visi yang lebih luas. Kondisi perempuan ini menyerupai kondisi ketidaktahuan, yang sering dikaitkan dengan ketertutupan diri dan kurangnya kegelisahan rohani dan intelektual. Ia bungkuk punggung, terpaku pada dirinya sendiri, sehingga tidak mampu melihat melampaui dirinya sendiri. Ketika manusia tidak mampu melihat melampaui dirinya, melampaui pengalaman, gagasan, dan keyakinannya, melampaui rencananya, maka ia tetap terpenjara, terbudak, dan tidak mampu membentuk penilaian yang matang.

 

Seperti perempuan yang bungkuk punggung dalam Bacaan Injil, risiko menjadi tawanan sudut pandang kita yang egois selalu tetap ada. Namun, pada kenyataannya, banyak hal yang benar-benar penting dalam hidup – bisa kita katakan, hal-hal yang paling mendasar – tidak datang dari diri kita sendiri; kita menerimanya dari orang lain. Hal-hal itu datang kepada kita melalui guru, perjumpaan, dan pengalaman hidup kita. Inilah pengalaman rahmat, karena menyembuhkan kita dari keegoisan. Inilah penyembuhan sejati yang, seperti halnya perempuan dalam Bacaan Injil, memungkinkan kita sekali lagi berdiri tegak di hadapan kehidupan dan kenyataannya, serta memandangnya dengan sudut pandang yang lebih luas. Perempuan yang disembuhkan menerima harapan, karena ia akhirnya dapat memandang ke atas dan melihat sesuatu yang berbeda, dapat melihat dengan cara yang baru. Hal ini terutama terjadi ketika kita berjumpa dengan Kristus dalam hidup kita, ketika kita membuka diri terhadap kebenaran yang mengubah hidup yang mampu membuat kita keluar dari diri kita sendiri dan membebaskan kita dari keegoisan.

 

Mereka yang belajar "memandang ke atas", memperluas cakrawala dan sudut pandang mereka untuk menemukan kembali visi yang tidak memandang ke bawah, melainkan mampu memandang ke atas: kepada Allah, sesama, dan misteri kehidupan. Sungguh, rahmat menjadi seorang mahasiswa, peneliti, atau cendekiawan berarti menerima visi luas yang mampu melihat jauh ke kejauhan; yang tidak menyederhanakan masalah atau takut akan pertanyaan; yang mengatasi kemalasan intelektual dan, dengan demikian, juga mengalahkan kemerosotan spiritual.

 

Marilah kita selalu ingat bahwa spiritualitas membutuhkan sudut pandang ini, yang disumbangkan oleh studi teologi, filsafat, dan disiplin ilmu lainnya dengan cara tertentu. Saat ini, kita telah menjadi ahli dalam detail terkecil kenyataan, namun kita telah kehilangan kemampuan visi menyeluruh yang memadukan segala sesuatu melalui makna yang lebih dalam dan lebih agung. Namun, pengalaman kristiani ingin mengajar kita untuk memandang kehidupan dan kenyataan dengan pandangan yang menyatu, yang mampu merangkul segala sesuatu sambil menolak cara berpikir yang parsial.

 

Oleh karena itu, saya mendorongmu, para mahasiswa, peneliti, dan pengajar, untuk tidak melupakan Gereja membutuhkan sudut pandang yang terpadu ini, baik untuk masa kini maupun masa depan. Kita dapat meneladani para pria dan wanita seperti Agustinus, Thomas Aquino, Teresa dari Avila, Edith Stein, dan banyak lainnya yang mampu memadukan penelitian ke dalam kehidupan dan perjalanan rohani mereka. Kita juga dipanggil untuk mengembangkan upaya intelektual dan pencarian kebenaran tanpa memisahkannya dari kehidupan. Pentingnya membina kesatuan ini agar apa yang terjadi di ruang kelas universitas dan lingkungan pendidikan apa pun tidak hanya sekadar latihan intelektual yang abstrak. Sebaliknya, hal itu mampu mengubah kehidupan, dan membantu kita memperdalam hubungan kita dengan Kristus, memahami misteri Gereja dengan lebih baik, dan menjadikan kita saksi Injil yang berani dalam masyarakat.

 

Sahabat terkasih, studi, penelitian, dan pengajaran membawa serta tanggung jawab pendidikan yang penting, dan saya ingin mendorong universitas untuk merangkul panggilan ini dengan penuh semangat dan komitmen. Mendidik serupa dengan mukjizat yang diceritakan dalam Bacaan Injil hari ini, karena tugas pendidik adalah mengangkat manusia, membantu mereka menjadi diri mereka sendiri dan mampu mengembangkan hati nurani yang terinformasi serta kemampuan berpikir kritis. Universitas kepausan harus mampu melanjutkan "karya" Yesus ini. Ini adalah tindakan kasih sejati, karena merupakan bentuk amal kasih yang diungkapkan melalui studi, pengetahuan, dan pencarian tulus akan apa yang benar dan layak dijalani. Memenuhi rasa lapar akan kebenaran dan makna adalah tugas penting, karena tanpanya kita akan jatuh ke dalam kehampaan dan bahkan menyerah pada kematian.

 

Dalam perjalanan ini, kita masing-masing juga dapat menemukan kembali anugerah terbesar, yaitu mengetahui bahwa kita tidak sendirian dan kita milik seseorang, sebagaimana ditegaskan Rasul Paulus: "Semua orang, yang dipimpin Roh Allah, adalah anak Allah. Sebab, kamu tidak menerima roh perbudakan yang membuat kamu menjadi takut lagi, tetapi kamu telah menerima Roh yang menjadikan kamu anak Allah. Oleh Roh itu kita berseru, 'Ya Abba, ya Bapa!'" (Rm. 8:14-15). Sungguh, apa yang kita terima saat kita mencari kebenaran dan mengabdikan diri untuk belajar membantu kita menemukan bahwa kita bukanlah makhluk yang secara kebetulan dicampakkan ke dunia, melainkan kita milik seseorang yang mengasihi kita dan yang memiliki rencana kasih bagi hidup kita.

 

Saudara-saudari terkasih, bersamamu, saya memohon kepada Tuhan agar pengalaman belajar dan meneliti selama masa kuliahmu memampukanmu untuk memiliki sudut pandang baru ini. Semoga perjalanan akademismu membantumu untuk dapat berbicara, menceritakan, memperdalam, dan mewartakan alasan-alasan pengharapan yang ada di dalam kita (bdk. 1 Ptr 3:15). Semoga universitas membentukmu menjadi pria dan wanita yang tidak pernah terpaku pada diri sendiri tetapi selalu tegak, yang mampu membawa sukacita dan penghiburan Injil ke mana pun kamu pergi.

 

Semoga Perawan Maria, Takhta Kebijaksanaan, mendampingi dan menjadi perantaramu.

______

(Peter Suriadi - Bogor, 29 Oktober 2025)

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.