Bacaan
Ekaristi : Rm. 8:12-17; Mzm. 68:2,4,6-7ab,20-21; Luk. 13:10-17.
Saudara-saudari
terkasih,
Berkumpul
di tempat ini selama Tahun Yubileum adalah anugerah yang tak boleh kita anggap
remeh. Terutama anugerah karena berziarah, melewati Pintu Suci, mengingatkan
kita bahwa hidup hanya bermakna ketika dijalani sebagai sebuah perjalanan,
ketika ia tahu bagaimana terus bergerak maju, yaitu, ketika ia mampu
menghadirkan kenyataan Paskah.
Maka,
memikirkan bagaimana Gereja, melalui perayaan Yubileum selama bulan-bulan ini,
telah mengingat bahwa ia senantiasa perlu mengalami pertobatan dan bahwa ia
harus selalu berjalan di belakang Yesus tanpa ragu dan tanpa godaan untuk
mendahului-Nya sungguh baik. Sungguh, Gereja senantiasa membutuhkan Paskah,
yaitu, "melewati" perbudakan menuju kebebasan, kematian menuju
kehidupan. Saya berharap kamu semua mengalami dalam dirimu anugerah pengharapan
ini, dan semoga Yubileum menjadi kesempatan untuk memulai kembali hidupmu.
Hari
ini, saya ingin memberi amanat kepada kamu yang merupakan bagian dari lembaga
universitas dan semua orang yang, dengan berbagai cara, mengabdikan diri untuk
belajar, mengajar, dan meneliti. Anugerah apakah yang dapat menyentuh kehidupan
seorang mahasiswa, seorang peneliti, seorang cendekiawan? Saya akan menjawabnya
dengan cara ini: rahmat visi yang menyeluruh, sudut pandang yang mampu
menjangkau cakrawala, memandang melampaui.
Kita
dapat melihat wawasan ini dalam perikop Injil yang baru saja diwartakan (Luk
13:10-17), yang menggambarkan seorang perempuan yang punggungnya bungkuk dan,
setelah disembuhkan oleh Yesus, akhirnya dapat menerima rahmat sudut pandang
baru, visi yang lebih luas. Kondisi perempuan ini menyerupai kondisi
ketidaktahuan, yang sering dikaitkan dengan ketertutupan diri dan kurangnya
kegelisahan rohani dan intelektual. Ia bungkuk punggung, terpaku pada dirinya
sendiri, sehingga tidak mampu melihat melampaui dirinya sendiri. Ketika manusia
tidak mampu melihat melampaui dirinya, melampaui pengalaman, gagasan, dan
keyakinannya, melampaui rencananya, maka ia tetap terpenjara, terbudak, dan
tidak mampu membentuk penilaian yang matang.
Seperti
perempuan yang bungkuk punggung dalam Bacaan Injil, risiko menjadi tawanan
sudut pandang kita yang egois selalu tetap ada. Namun, pada kenyataannya,
banyak hal yang benar-benar penting dalam hidup – bisa kita katakan, hal-hal
yang paling mendasar – tidak datang dari diri kita sendiri; kita menerimanya
dari orang lain. Hal-hal itu datang kepada kita melalui guru, perjumpaan, dan
pengalaman hidup kita. Inilah pengalaman rahmat, karena menyembuhkan kita dari
keegoisan. Inilah penyembuhan sejati yang, seperti halnya perempuan dalam
Bacaan Injil, memungkinkan kita sekali lagi berdiri tegak di hadapan kehidupan
dan kenyataannya, serta memandangnya dengan sudut pandang yang lebih luas.
Perempuan yang disembuhkan menerima harapan, karena ia akhirnya dapat memandang
ke atas dan melihat sesuatu yang berbeda, dapat melihat dengan cara yang baru.
Hal ini terutama terjadi ketika kita berjumpa dengan Kristus dalam hidup kita,
ketika kita membuka diri terhadap kebenaran yang mengubah hidup yang mampu
membuat kita keluar dari diri kita sendiri dan membebaskan kita dari keegoisan.
Mereka
yang belajar "memandang ke atas", memperluas cakrawala dan sudut
pandang mereka untuk menemukan kembali visi yang tidak memandang ke bawah,
melainkan mampu memandang ke atas: kepada Allah, sesama, dan misteri kehidupan.
Sungguh, rahmat menjadi seorang mahasiswa, peneliti, atau cendekiawan berarti
menerima visi luas yang mampu melihat jauh ke kejauhan; yang tidak
menyederhanakan masalah atau takut akan pertanyaan; yang mengatasi kemalasan
intelektual dan, dengan demikian, juga mengalahkan kemerosotan spiritual.
Marilah
kita selalu ingat bahwa spiritualitas membutuhkan sudut pandang ini, yang
disumbangkan oleh studi teologi, filsafat, dan disiplin ilmu lainnya dengan
cara tertentu. Saat ini, kita telah menjadi ahli dalam detail terkecil
kenyataan, namun kita telah kehilangan kemampuan visi menyeluruh yang memadukan
segala sesuatu melalui makna yang lebih dalam dan lebih agung. Namun,
pengalaman kristiani ingin mengajar kita untuk memandang kehidupan dan
kenyataan dengan pandangan yang menyatu, yang mampu merangkul segala sesuatu
sambil menolak cara berpikir yang parsial.
Oleh
karena itu, saya mendorongmu, para mahasiswa, peneliti, dan pengajar, untuk
tidak melupakan Gereja membutuhkan sudut pandang yang terpadu ini, baik untuk
masa kini maupun masa depan. Kita dapat meneladani para pria dan wanita seperti
Agustinus, Thomas Aquino, Teresa dari Avila, Edith Stein, dan banyak lainnya
yang mampu memadukan penelitian ke dalam kehidupan dan perjalanan rohani
mereka. Kita juga dipanggil untuk mengembangkan upaya intelektual dan pencarian
kebenaran tanpa memisahkannya dari kehidupan. Pentingnya membina kesatuan ini
agar apa yang terjadi di ruang kelas universitas dan lingkungan pendidikan apa
pun tidak hanya sekadar latihan intelektual yang abstrak. Sebaliknya, hal itu
mampu mengubah kehidupan, dan membantu kita memperdalam hubungan kita dengan
Kristus, memahami misteri Gereja dengan lebih baik, dan menjadikan kita saksi
Injil yang berani dalam masyarakat.
Sahabat
terkasih, studi, penelitian, dan pengajaran membawa serta tanggung jawab
pendidikan yang penting, dan saya ingin mendorong universitas untuk merangkul
panggilan ini dengan penuh semangat dan komitmen. Mendidik serupa dengan
mukjizat yang diceritakan dalam Bacaan Injil hari ini, karena tugas pendidik
adalah mengangkat manusia, membantu mereka menjadi diri mereka sendiri dan
mampu mengembangkan hati nurani yang terinformasi serta kemampuan berpikir
kritis. Universitas kepausan harus mampu melanjutkan "karya" Yesus
ini. Ini adalah tindakan kasih sejati, karena merupakan bentuk amal kasih yang
diungkapkan melalui studi, pengetahuan, dan pencarian tulus akan apa yang benar
dan layak dijalani. Memenuhi rasa lapar akan kebenaran dan makna adalah tugas
penting, karena tanpanya kita akan jatuh ke dalam kehampaan dan bahkan menyerah
pada kematian.
Dalam
perjalanan ini, kita masing-masing juga dapat menemukan kembali anugerah
terbesar, yaitu mengetahui bahwa kita tidak sendirian dan kita milik seseorang,
sebagaimana ditegaskan Rasul Paulus: "Semua orang, yang dipimpin Roh Allah,
adalah anak Allah. Sebab, kamu tidak menerima roh perbudakan yang membuat kamu
menjadi takut lagi, tetapi kamu telah menerima Roh yang menjadikan kamu anak
Allah. Oleh Roh itu kita berseru, 'Ya Abba, ya Bapa!'" (Rm. 8:14-15).
Sungguh, apa yang kita terima saat kita mencari kebenaran dan mengabdikan diri
untuk belajar membantu kita menemukan bahwa kita bukanlah makhluk yang secara
kebetulan dicampakkan ke dunia, melainkan kita milik seseorang yang mengasihi
kita dan yang memiliki rencana kasih bagi hidup kita.
Saudara-saudari
terkasih, bersamamu, saya memohon kepada Tuhan agar pengalaman belajar dan
meneliti selama masa kuliahmu memampukanmu untuk memiliki sudut pandang baru
ini. Semoga perjalanan akademismu membantumu untuk dapat berbicara,
menceritakan, memperdalam, dan mewartakan alasan-alasan pengharapan yang ada di
dalam kita (bdk. 1 Ptr 3:15). Semoga universitas membentukmu menjadi pria dan
wanita yang tidak pernah terpaku pada diri sendiri tetapi selalu tegak, yang
mampu membawa sukacita dan penghiburan Injil ke mana pun kamu pergi.
Semoga
Perawan Maria, Takhta Kebijaksanaan, mendampingi dan menjadi perantaramu.
______
(Peter Suriadi - Bogor, 29 Oktober 2025)


Print this page
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.