Liturgical Calendar

HOMILI PAUS LEO XIV DALAM MISA HARI MINGGU ADVEN III (MISA YUBILEUM NARAPIDANA) 14 Desember 2025

Bacaan Ekaristi : Yes. 35:1-6a,10; Mzm. 146:7,8-9a,9bc-10; Yak. 5:7-10; Mat. 11:2-11.

 

Saudara-saudari terkasih,

 

Hari ini kita merayakan Yubileum Pengharapan bagi lembaga pemasyarakatan, narapidana, dan semua orang yang menjaga atau bekerja di lembaga pemasyarakatan. Pemilihan hari ini, Hari Minggu Adven III, untuk yubileum khusus ini kaya akan makna, karena hari ini disebut Gereja sebagai Hari Minggu Gaudete, yang namanya berasal dari kata-kata pertama Antifon Pembuka Misa (bdk. Flp 4:4). Dalam Tahun Liturgi, Hari Minggu Adven III adalah Hari Minggu sukacita, yang mengingatkan kita akan aspek cerah dari penantian: keyakinan bahwa sesuatu yang indah, sesuatu yang penuh sukacita akan terjadi.

 

Dalam hal ini, pada tanggal 26 Desember tahun lalu, Paus Fransiskus, ketika membuka Pintu Suci di Gereja Bapa Kami di Lembaga Pemasyarakatan Rebibbia, menyampaikan undangan ini kepada semua orang: “Saya mengatakan dua hal kepadamu: Pertama, peganglah tali, dengan jangkar pengharapan. Kedua, bukalah lebar-lebar pintu hatimu.” Merujuk pada gambaran yang sudah mengarah pada kekekalan, melampaui batasan ruang dan waktu (bdk. Ibr 6:17-20), ia mengajak kita untuk tetap menghidupkan iman kita akan kehidupan yang akan datang dan selalu percaya pada kemungkinan masa depan yang lebih baik. Namun, pada saat yang sama, ia juga mendorong kita untuk menjadi orang-orang yang dengan murah hati mengamalkan keadilan dan kasih di tempat tinggal kita.

 

Meskipun penutupan Tahun Yubileum semakin dekat, kita harus mengakui bahwa, terlepas dari upaya banyak orang, bahkan dalam lembaga pemasyarakatan sekalipun masih banyak yang perlu dilakukan dalam hal ini. Kata-kata Nabi Yesaya yang baru saja kita dengar, “orang-orang yang dibebaskan Tuhan akan pulang dan masuk ke Sion dengan sorak-sorai” (35:10), mengingatkan kita bahwa Allah yang menebus, membebaskan, dan menyelamatkan. Lebih jauh lagi, kata-kata itu menyampaikan makna perutusan penting dan menantang bagi kita semua. Tentu saja, lembaga pemasyarakatan adalah tempat yang sulit dan bahkan tawaran terbaik pun dapat menghadapi banyak rintangan. Karena alasan ini, kita tidak boleh pernah lelah, berkecil hati, atau menyerah. Kita harus terus bergerak maju dengan kegigihan, keberanian, dan semangat kerja sama. Memang, banyak yang belum memahami bahwa setiap kali jatuh seseorang harus mampu bangkit kembali, bahwa tidak ada manusia yang hanya didefinisikan oleh perbuatannya, dan bahwa keadilan selalu merupakan proses perbaikan dan rekonsiliasi.

 

Namun, bahkan dalam situasi sulit sekalipun kita mampu mempertahankan dan melestarikan keindahan perasaan, kepekaan, perhatian terhadap kebutuhan orang lain, rasa hormat, kemampuan untuk berbelas kasih dan mengampuni, sehingga bunga-bunga indah tumbuh dari “tanah keras” dosa dan penderitaan. Lebih jauh lagi, tindakan, rencana, dan perjumpaan, yang unik dalam kemanusiaannya, berkembang bahkan di dalam tembok lembaga pemasyarakatan. Hal ini melibatkan upaya untuk mengolah perasaan dan pikiran, yang diperlukan bagi mereka yang kehilangan kebebasan, tetapi terlebih lagi bagi orang-orang yang memiliki kewajiban untuk mewakili mereka dan memastikan bahwa mereka diperlakukan secara adil. Yubileum adalah seruan untuk pertobatan dan, dengan demikian, merupakan sumber pengharapan dan sukacita.

 

Oleh karena itu, pertama-tama memandang Yesus, kemanusiaan dan Kerajaan-Nya di mana “orang buta melihat, orang lumpuh berjalan … dan orang miskin diberitakan kabar baik” (Mat 11:5) penting. Kita harus ingat bahwa, meskipun terkadang mukjizat-mukjizat ini datang melalui campur tangan Allah yang luar biasa, lebih sering mukjizat-mukjizat itu dipercayakan kepada kita, kepada bela rasa, perhatian, dan kebijaksanaan kita, serta tanggung jawab komunitas dan lembaga kita.

 

Hal ini membawa kita pada dimensi lain dari nubuat yang telah kita dengar: kewajiban untuk mempromosikan di setiap tempat – dan saya ingin menekankan khususnya di lembaga pemasyarakatan – sebuah masyarakat yang didirikan berdasarkan kriteria baru, dan pada akhirnya berdasarkan kasih, sebagaimana dikatakan Santo Paulus VI pada akhir Tahun Yubileum 1975: “Hal ini – amal kasih – hendaknya, terutama di ranah kehidupan publik, … menjadi awal dari saat rahmat dan niat baik yang baru, yang membuka kalender sejarah di hadapan kita: peradaban kasih!” (Audiensi Umum, 31 Desember 1975).

 

Untuk tujuan ini, Paus Fransiskus juga berharap bahwa selama tahun Yubileum ini “bentuk-bentuk amnesti atau pengampunan yang dimaksudkan untuk membantu individu mendapatkan kembali kepercayaan diri mereka sendiri dan masyarakat" (Bulla Spes Non Confundit, 10) dapat diberikan dan perwujudan program reintegrasi dalam masyarakat ditawarkan kepada semua orang (bdk. Spes Non Confundit, 10). Saya berharap banyak negara mengikuti keinginannya. Sebagaimana kita ketahui, Tahun Yobel, dengan asal-usul biblisnya, adalah tahun rahmat di mana setiap orang diberi kesempatan untuk memulai kembali dalam berbagai cara (bdk. Im 25:8-10).

 

Bacaan Injil yang telah kita dengar juga berbicara kepada kita tentang kenyataan ini. Yohanes Pembaptis, ketika ia berkhotbah dan membaptis, mengajak umat untuk bertobat dan menyeberangi sungai sekali lagi, secara simbolis, seperti pada zaman Yosua (bdk. Yos 3:17) untuk memasuki dan menduduki “Tanah Terjanji” yang baru, yaitu hati yang berdamai dengan Allah dan dengan saudara-saudari kita. Dalam hal ini, sosok Yohanes sebagai seorang nabi sangat mengesankan: ia jujur, tegas, dan terus terang, bahkan sampai dipenjara karena kata-katanya yang berani. Ia bukanlah “buluh yang digoyangkan angin” (Mat 11:7). Namun pada saat yang sama, ia kaya akan belas kasihan dan pengertian terhadap semua orang yang dengan tulus bertobat dan berjuang untuk berubah (bdk. Luk 3:10-14).

 

Dalam hal ini, Santo Agustinus menyimpulkan salah satu telaahnya yang terkenal tentang kisah seorang perempuan yang berzina dalam Injil (bdk. Yoh 8:1-11) dengan mengatakan, “Ketika para penuduh pergi, hanya perempuan malang itu dan belas kasihan yang tersisa. Dan kepadanya Tuhan berkata, 'Pergilah, dan jangan berbuat dosa lagi’ (Yoh 8:10-11)” (Sermo 302, 14).

 

Saudara-saudari terkasih, tugas yang dipercayakan Tuhan kepadamu — kepada kamu semua, para narapidana dan mereka yang bekerja di lembaga pemasyarakatan — bukanlah tugas yang mudah. ​​Ada banyak masalah yang harus diatasi. Di sini, kita dapat menyebutkan kepadatan yang berlebihan, kurangnya komitmen untuk menjamin program pendidikan yang stabil untuk rehabilitasi dan kesempatan kerja. Pada tingkat yang lebih pribadi, janganlah kita melupakan beban masa lalu, luka yang harus disembuhkan di tubuh dan hati, kekecewaan, kesabaran tak terbatas yang dibutuhkan terhadap diri sendiri dan orang lain ketika memulai jalan pertobatan, dan godaan untuk menyerah atau tidak lagi mengampuni. Namun, Tuhan, mengatasi semua ini, terus mengulangi kepada kita bahwa hanya satu hal yang penting: supaya tidak seorang pun binasa (bdk. Yoh 6:39) dan supaya semua orang “diselamatkan” (1Tim 2:4).

 

Jangan sampai ada seorang pun yang binasa! Semoga semua orang diselamatkan! Inilah yang dikehendaki Allah kita, inilah Kerajaan-Nya, dan inilah tujuan tindakan-Nya di dunia. Menjelang Natal, kita pun ingin semakin menghidupi impian-Nya, sambil tetap teguh dan setia dalam komitmen kita (bdk. Yak 5:8). Kita tahu bahwa bahkan dalam menghadapi tantangan terbesar sekalipun, kita tidak sendirian: Tuhan dekat (bdk. Flp 4:5), Ia berjalan bersama kita, dan dengan Dia di sisi kita, sesuatu yang indah dan penuh sukacita akan senantiasa terjadi.

______

(Peter Suriadi - Bogor, 14 Desember 2025)

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.