Bacaan Ekaristi : Kej 37:3-4,12-13a,17b-28; Mat 21:33-43,45-46
Kerendahan
hati dan doa adalah
dua sikap yang diperlukan untuk
tidak memelintir Sabda Allah sesuai dengan kepentingan dan keinginan kita sendiri.
Inilah tema utama homili Paus Fransiskus pada Misa
harian Jumat pagi 21
Maret 2014 di Casa Santa
Marta, Vatikan.
Bapa Suci mendasarkan homilinya pada Injil
menurut Matius (21:33-43,45-46), yang menceritakan perumpamaan Yesus tentang
para penyewa yang kejam yang membunuh anak pemilik tanah mereka dengan
tujuan merampok warisannya. Paus
mengatakan bahwa perumpamaan itu ditujukan kepada orang-orang
Farisi, para tua-tua umat dan para imam untuk menunjukkan di mana "mereka
telah memiliki
kebiasaan tidak memiliki hati yang terbuka bagi Sabda Allah".
"Inilah tragedi orang-orang
ini, dan tragedi kita juga! Mereka telah mengambil alih Sabda Allah. Dan
Sabda
Allah menjadi kata-kata mereka, sebuah kata menurut kepentingan-kepentingan mereka, ideologi-ideologi mereka, teologi-teologi mereka ...
tetapi dalam pelayanan mereka. Dan setiap orang menafsirkannya sesuai menurut kehendak mereka sendiri, menurut kepentingan-kepentingan mereka sendiri.
Inilah tragedi orang-orang ini. Dan
untuk melestarikannya, mereka membunuh. Hal ini terjadi pada Yesus".
Ketika
mereka mendengar perumpamaan
ini, imam-imam kepala dan orang-orang Farisi mengerti bahwa Yesus berbicara tentang mereka - dan "mereka berusaha
untuk menangkap Dia dan membunuh Dia". Dengan cara ini,
Paus mengatakan, "Sabda Allah mati, terpenjarakan, Roh Kudus terkurung dalam keinginan-keinginan mereka
masing-masing". Dan itulah yang benar-benar
terjadi pada kita, Paus mencatat, "ketika kita tidak
terbuka akan kebaruan Sabda Allah, ketika kita tidak patuh pada Sabda Allah".
"Tetapi ada sebuah ungkapan
yang memberi kita harapan. Sabda Allah mati di dalam hati orang-orang ini; dan Sabda tersebut bisa mati dalam hati kita! Tetapi Sabda itu belum tamat, karena masih hidup dalam hati orang-orang sederhana,
orang-orang rendah hati, umat
Allah. Orang-orang Farisi berusaha
menangkap-Nya, tetapi mereka takut
akan kerumunan umat Allah, karena
mereka menganggap-Nya seorang nabi. Kerumunan sederhana itu – yang mengikuti di belakang Yesus, karena apa yang dikatakan
Yesus mengerjakan kebaikan dalam hati
mereka, menghangatkan hati mereka - orang-orang ini tidak bersalah : mereka tidak menggunakan Sabda
Allah untuk kepentingan mereka
sendiri, mereka mendengarkan
dan berusaha untuk menjadi sedikit lebih baik".
Mengakhiri
homilinya, Paus Fransiskus bertanya, "Apa yang bisa kita lakukan
agar tidak membunuh Sabda Allah, agar “menjadi patuh”, agar “tidak mengurung
Roh Kudus?". Jawabannya?
“Dua hal sederhana” : "Inilah sikap orang-orang
yang akan mendengarkan Sabda Allah : pertama, kerendahan
hati, kedua, doa. Orang-orang ini tidak berdoa. Mereka tidak perlu berdoa. Mereka mengira mereka sudah
aman, mereka pikir mereka kuat, mereka memikirkan 'dewa-dewa'. Kerendahan hati dan doa
: dengan kerendahan hati
dan doa kita maju dengan mendengarkan Sabda
Allah dan
mentaatinya. Dalam
Gereja. Kerendahan hati dan doa dalam Gereja. Jadi, apa yang terjadi pada
orang-orang ini tidak akan terjadi pada kita : kita
tidak seharusnya membunuh untuk membela Sabda Allah, karena Sabda yang kita percayai adalah Sabda Allah, kecuali merupakan sebuah sabda yang benar-benar dipermak oleh kita".
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.