Bacaan
Ekaristi : Bil 21:4-9; Flp 2:6-11; Yoh 3:13-17
Paus Fransiskus menandai Pesta Salib Suci pada hari Minggu 14 September 2014 dengan Misa yang dirayakan
di Basilika Santo
Petrus,
Vatikan, yang di dalamnya beliau melayani Sakramen Perkawinan bagi dua puluh pasangan. Berikut adalah
homili Paus Fransiskus dalam Misa tersebut.
***************
Bacaan pertama hari ini berbicara
kepada kita tentang perjalanan umat melalui padang gurun. Kita bisa membayangkan mereka
saat mereka berjalan, yang dipimpin oleh Musa; mereka adalah keluarga-keluarga : para
ayah, para ibu, para anak
laki-laki dan para
anak perempuan, para kakek-nenek, para pria dan para wanita dari
segala usia, yang
disertai dengan banyak anak-anak dan orang-orang tua tersebut yang berjuang
untuk melakukan perjalanan. Umat ini mengingatkan kita pada Gereja saat ia melakukan perjalanannya melintasi padang gurun dunia masa kini, Umat Allah yang terdiri, sebagian
besar, dari keluarga-keluarga.
Hal ini
membuat kita berpikir tentang keluarga-keluarga, keluarga-keluarga kita, berjalan
di sepanjang jalan kehidupan dengan
seluruh pengalaman
hari demi hari mereka. Tidak
mungkin mengukur kekuatan dan kedalaman kemanusiaan yang terkandung dalam
sebuah keluarga
: saling membantu, dukungan pendidikan, pengembangan hubungan-hubungan ketika para
anggota keluarga dewasa, berbagi sukacita dan kesulitan-kesulitan. Keluarga-keluarga adalah tempat
pertama yang
di dalamnya kita dibentuk sebagai pribadi-pribadi dan, pada
saat yang sama, "batu
bata-batu
bata" bagi pembangunan masyarakat.
Mari kita
kembali ke kisah
Alkitab. Pada
titik tertentu, "umat itu tidak dapat lagi menahan hati di tengah jalan" (Bil 21:4). Mereka lelah,
pasokan air sedikit dan semua
yang mereka miliki untuk dimakan adalah manna, yang, meskipun berlimpah
dan dikirim oleh Allah, tampaknya terlalu sedikit
dalam saat krisis. Dan sehingga mereka mengeluh
dan protes terhadap Allah dan terhadap Musa: "Mengapa
kamu memimpin kami keluar..." (bdk Bil 21:5). Mereka tergoda untuk kembali dan
meninggalkan perjalanan.
Di sini pikiran kita beralih
ke pasangan yang telah menikah yang "menjadi tidak dapat lagi menahan hati di
tengah jalan" kehidupan suami-istri dan berkeluarga. Kesulitan perjalanan menyebabkan
mereka mengalami kelelahan
batin; mereka kehilangan rasa pernikahan dan
mereka berhenti menimba air dari sumur Sakramen
tersebut. Kehidupan sehari-hari menjadi memberatkan, bahkan
"memuakkan".
Selama saat-saat kehilangan arah
yang demikian - Alkitab mengatakan - ular-ular beracun datang dan menggigit umat, dan banyak yang meninggal. Hal ini menyebabkan umat bertobat dan berbalik kepada Musa untuk meminta maaf, memintanya untuk memohon kepada Tuhan agar
Ia sudi mengusir ular-ular tersebut. Musa berdoa
kepada Tuhan, dan Tuhan menawarkan sebuah obat : ular tembaga yang
terpancang pada sebuah tiang; siapa
pun yang memandangnya akan diselamatkan dari racun ular-ular beludak yang mematikan.
Apa arti lambang ini? Allah
tidak memusnahkan ular-ular, melainkan menawarkan
sebuah
"penangkal": dengan cara ular tembaga yang dibentuk oleh Musa, Allah mengirimkan
kekuatan penyembuhan-Nya, kemurahan-Nya, yang
lebih kuat dari racun Sang Penggoda.
Seperti yang
telah kita dengar dalam
Injil, Yesus memperkenalkan diri-Nya dengan
lambang ini: karena kasih Bapa
“telah mengaruniakan” Putra-Nya yang tunggal, supaya laki-laki dan perempuan
beroleh hidup yang kekal (Yoh 3:13-17). Kasih Bapa yang
demikian besar memacu Sang Putra untuk menjadi manusia, untuk
menjadi seorang hamba dan mati
bagi kita di atas kayu salib. Karena kasih yang demikian, Bapa
membangkitkan Putra-Nya, memberi-Nya kekuasaan
atas seluruh alam semesta. Hal
itu diungkapkan oleh
Santo Paulus dalam madahnya dalam Surat kepada jemaat di Filipi (bdk 2:6-11).
Siapa pun yang mempercayakan dirinya kepada Yesus yang disalibkan menerima kemurahan Allah dan menemukan penyembuhan
dari racun dosa
yang mematikan.
Obat yang ditawarkan Allah kepada umat berlaku juga, dengan cara tertentu, bagi pasangan yang "menjadi tidak dapat lagi menahan hati di tengah jalan" dan
yang menyerah pada godaan berbahaya dari keputusasaan, perselingkuhan, kelemahan, pengabaian... Bagi mereka juga, Allah Bapa mengaruniakan Putra-Nya Yesus,
bukan untuk menghukum mereka, tetapi
untuk menyelamatkan mereka: jika mereka
mempercayakan diri
mereka kepada-Nya, Ia akan membawakan mereka penyembuhan
dengan kasih yang penuh kemurahan yang mengalir keluar dari Salib,
dengan kekuatan rahmat-Nya yang
memperbaharui dan menempatkan pasangan-pasangan yang sudah menikah dan keluarga-keluarga sekali lagi di jalan yang benar.
Kasih Kristus, yang telah
memberkati dan menguduskan
kesatuan suami
dan istri, mampu mempertahankan
kasih mereka dan
memperbaharuinya ketika, dikatakan secara manusia, ia menjadi hilang, terluka atau usang. Kasih
Kristus dapat mengembalikan kepada pasangan-pasangan
tersebut sukacita melakukan perjalanan bersama-sama.
Ini semua adalah tentang perkawinan : laki-laki
dan perempuan berjalan bersama-sama, di
mana suami membantu
istrinya untuk lebih menjadi seorang perempuan, dan di
mana perempuan memiliki tugas membantu suaminya untuk lebih menjadi seorang
laki-laki. Di sini kita melihat ketimbalbalikan perbedaan-perbedaan. Jalan tersebut tidak selalu mulus, bebas perbedaan pendapat, jika tidak ia tidak manusiawi. Ia adalah sebuah perjalanan yang menuntut, pada masa-masa sulit, dan
pada masa-masa pergolakan, tetapi demikian kehidupan! Perkawinan adalah sebuah lambang kehidupan, kehidupan nyata: ia bukan "fiksi"! Ia adalah Sakramen
kasih Kristus dan Gereja, sebuah kasih yang menemukan bukti dan jaminannya di kayu Salib.
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.