Liturgical Calendar

HOMILI PAUS FRANSISKUS DALAM MISA 1 Juni 2015 : DARI PENOLAKAN DATANG KESELAMATAN

Bacaan Ekaristi : Tob 1:1a.2a.3;2:1b-8; Mrk 12:1-12

Allah selalu memberikan kehidupan kepada sebuah "kisah cinta" bersama kita masing-masing. Dan meskipun tampak "kegagalan-kegagalan", baik besar maupun kecil, "impian cinta" menang pada akhirnya. Dalam homilinya selama Misa harian Senin pagi, 1 Juni 2015, di Casa Santa Marta, Vatikan, Paus Fransiskus merenungkan hal ini, perjalanan kita menyusuri sebuah "jalan yang sulit", bersama Allah yang menyelamatkan dengan apa yang ditolak.

Bacaan Injil hari itu (Mrk 12:1-12) menyajikan perumpamaan tentang para penggarap dan pemilik kebun anggur. Menurut Paus Fransiskus, perumpamaan itu "merangkum sejarah keselamatan yang disampaikan Yesus - sebagaimana kita dengar - kepada imam-imam kepala, ahli-ahli Taurat, tua-tua : yaitu, kepada para pemimpin bangsa Israel, kepada mereka yang memegang pemerintahan bangsa Israel di tangan mereka, kepada mereka yang memegang janji Allah di tangan mereka".

Paus Fransiskus mencatat bahwa "itu adalah sebuah perumpamaan yang indah", yang "dimulai dengan sebuah impian, sebuah proyek cinta: bahwa manusia yang mengusahakan kebun anggur, mendirikan pagar di sekitarnya, menggali sebuah lubang untuk memeras anggur", dan membangun sebuah menara. Itu "semua dilakukan dengan cinta". Memang orang tersebut "mencintai pembibitan kebun ini" dan oleh karena itu "menyewakannya, menyerahkannya" sehingga ia dapat menghasilkan buah. Kemudian, "ketika musimnya tiba, ia mengirimkan seorang hamba kepada para penggarap untuk mengumpulkan hasil panennya", dan di sana "dimulai semua yang telah kita dengar : mereka memukulinya dengan tongkat, memukuli hamba yang lain, dan membunuh hamba yang lain". Akhirnya "ia mengirim anaknya" tetapi para penggarap itu "membunuhnya : itulah bagaimana cerita berakhir".

Dalam ulasan akhir, Paus Fransiskus menjelaskan, "cerita ini, yang tampaknya seperti sebuah kisah cinta, seharusnya melacak langkah-langkah cinta antara Allah dan umat-Nya", bukannya tampak sebagai "sebuah sejarah kegagalan". Pada titik ini, "Allah - Bapa bangsa tersebut, yang membawa bangsa ini sebagaimana adanya, karena mereka adalah sebuah bangsa yang kecil dan mereka mencintai-Nya, mereka bermimpi dengan cinta - tampaknya gagal". Dan "sejarah keselamatan ini dapat juga disebut sebuah sejarah kegagalan". Tetapi "kegagalan", Paus Fransiskus mengatakan, "dimulai sejak saat pertama dan bahkan kegagalan impian Allah ini, sejak permulaan, ada darah - darah Habel - dan dari sana itu berlanjut : darah semua nabi yang pergi berbicara kepada bangsa tersebut, untuk membantu menjaga kebun anggur, sampai darah Putra-Nya". Namun, Paus Fransiskus menambahkan, "pada akhirnya ada sabda Allah, yang membuat kita berpikir".

"Kemudian, apa yang akan dilakukan sang pemilik kebun anggur?", tanya Paus Fransiskus. Beliau menjawab: "Ia akan datang dan menempatkan orang-orangnya di hadapan hakim". Mengenai hal ini, Yesus mengatakan "sebuah kata yang tampaknya agak keluar tempat : 'Tidak pernahkah kamu membaca nas ini: Batu yang dibuang oleh tukang-tukang bangunan telah menjadi batu penjuru: hal itu terjadi dari pihak Tuhan, suatu perbuatan ajaib di mata kita'". Kemudian Paus Fransiskus menjelaskan bahwa "sejarah kegagalan itu berbalik, dan apa yang ditolak menjadi kekuatan". Dengan demikian, "para nabi, orang-orang Allah yang berbicara kepada bangsa tersebut, yang tidak didengar, yang ditolak, akan menjadi kemuliaan-Nya". Dan "Sang Putra, yang terakhir dikirim, yang benar-benar diusir, dihakimi, tidak didengarkan dan dibunuh, akan menjadi batu penjuru".

Kemudian, di sinilah "sejarah ini, yang dimulai dengan sebuah impian cinta dan tampaknya menjadi sebuah sejarah cinta, tetapi kemudian tampaknya berakhir dalam sebuah sejarah kegagalan, berakhir dengan cinta Allah yang besar, yang menarik keluar keselamatan dari penolakan; oleh terbuangnya Putra-Nya, Ia menyelamatkan kita semua".

"Bacaan dalam Kitab Suci banyak, banyak ratapan Allah" adalah sesuatu yang indah, menurut Paus Fransiskus. Terutama, "ketika Allah berbicara kepada umat-Nya Ia mengatakan: 'Mengapa kamu melakukan hal ini? Ingatlah semua yang telah Aku perbuat bagimu: bahwa Aku memilih kamu, bahwa Aku membebaskan kamu. Mengapa kamu berbuat hal ini pada-Ku?'". Bapa, Paus Fransiskus berpendapat, "meratap, bahkan menangis". Dan pada akhirnya di sana "Yesus meratap atas Yerusalem : Yerusalem, Yerusalem, yang membunuh nabi-nabi". Ini, Paus Fransiskus menjelaskan, "adalah sejarah dari sebuah umat yang tidak bisa membebaskan dirinya sendiri dari keinginan yang ditaburkan oleh Iblis dalam para orangtua pertama : kamu akan menjadi allah".  Ia adalah "sebuah umat yang tidak tahu bagaimana menaati Allah, karena mereka ingin menjadi allah" di pihak mereka sendiri.

Sikap ini menjadikan mereka "sebuah umat yang tertutup, sebuah umat yang para pelayannya kaku". Inilah sebabnya, Paus Fransiskus mencatat, "akhir bagian ini yang kita baca adalah menyedihkan", karena apa yang muncul adalah "kekakuan para imam, kekakuan para ahli Taurat : mereka berusaha untuk menangkap Yesus agar dapat membunuh-Nya, tetapi mereka takut kepada orang banyak". Pada kenyataanya, "mereka tahu, bahwa merekalah yang dimaksudkan-Nya dengan perumpamaan itu". Dan dengan demikian, "mereka membiarkan Dia dan mereka pergi".

"Jalan penebusan kita adalah sebuah jalan yang padanya tidak ada kekurangan kegagalan", Paus Fransiskus mengakui. Memang, "bahkan jalan terakhir, jalan Salib, adalah sebuah skandal: tetapi justru di sana, cinta menang". Dan "sejarah itu, yang dimulai dengan sebuah impian cinta dan berlanjut dengan sebuah sejarah kegagalan, berakhir dalam kemenangan cinta: Salib Yesus". Paus Fransiskus meminta agar kita "tidak melupakan jalan ini", bahkan meskipun "itu adalah sebuah jalan yang sulit". Tetapi "jalan kita juga" selalu merupakan sebuah jalan yang sulit. Dengan demikian, "jika kita masing-masing memeriksa hati nuraninya, kita akan melihat berapa kali kita telah mengusir para nabi; berapa kali kita telah berkata kepada Yesus: 'Enyahlah!'; berapa kali kita ingin menyelamatkan diri kita sendiri; berapa kali kita berpikir demikian".

"Kasih Allah bagi umat-Nya terwujud dalam pengorbanan Putra-Nya yang kini kita akan rayakan sekali lagi, benar-benar", kata Paus Fransiskus sebelum melanjutkan perayaan Ekaristi. "Ketika Ia turun di atas altar dan kita mempersembahkan-Nya kepada Bapa, akan ada baiknya kita mengingat kisah cinta yang tampaknya gagal tetapi menang pada akhirnya ini". Oleh karena itu pentinglah "mengingat, dalam sejarah kehidupan kita, benih cinta yang telah ditaburkan Allah di dalam diri kita itu". Dan sebagai hasilnya, "melakukan apa yang Yesus lakukan bagi kita : Ia telah merendahkan diri-Nya". Dengan demikian, kita juga, Paus Fransiskus mengakhiri, "akan ada baiknya merendahkan diri kita di hadapan Tuhan ini yang kini datang untuk merayakan bersama kita kenangan akan kemenangan-Nya".

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.