Sabda Allah memanggil kita untuk hidup dalam kesatuan sehingga dunia dapat percaya.
Saya memikirkan kata-kata lirih Yesus selama Perjamuan Terakhir sebagai lebih dari bangkitnya sebuah jeritan, sebuah tangisan dari misa ini yang sedang kita rayakan di Taman Peringatan Dua Abad. Marilah kita membayangkannya bersama-sama. Peringatan dua abad yang dikenang Taman ini adalah peringatan tangisan Amerika Latin untuk kemerdekaan. Itu adalah sebuah tangisan yang muncul dari menjadi sadar akan kurangnya kebebasan, menjadi sadar akan eksploitasi dan perampasan, menjadi "tunduk pada keinginan untuk lepas dari kekuasaan-kekuasaan yang ada" (Evangelii Gaudium, 213).
Saya memikirkan kata-kata lirih Yesus selama Perjamuan Terakhir sebagai lebih dari bangkitnya sebuah jeritan, sebuah tangisan dari misa ini yang sedang kita rayakan di Taman Peringatan Dua Abad. Marilah kita membayangkannya bersama-sama. Peringatan dua abad yang dikenang Taman ini adalah peringatan tangisan Amerika Latin untuk kemerdekaan. Itu adalah sebuah tangisan yang muncul dari menjadi sadar akan kurangnya kebebasan, menjadi sadar akan eksploitasi dan perampasan, menjadi "tunduk pada keinginan untuk lepas dari kekuasaan-kekuasaan yang ada" (Evangelii Gaudium, 213).
Saya ingin melihat dua tangisan ini yang bergabung bersama-sama, di bawah indahnya tantangan penginjilan. Kita menginjili bukan dengan kata-kata yang agung, atau konsep-konsep yang rumit, tetapi dengan "sukacita Injil", yang "memenuhi hati dan kehidupan dari semua orang yang berjumpa Yesus. Karena mereka yang menerima tawaran keselamatan-Nya dibebaskan dari dosa, kesedihan, kekosongan batin dan kesendirian" (Evangelii Gaudium, 1). Kita yang berkumpul di sini di meja bersama Yesus adalah diri kita sendiri sebuah tangisan, sebuah teriakan yang lahir dari keyakinan bahwa kehadiran-Nya membawa kita kepada kesatuan, "menunjukkan sebuah cakrawala keindahan dan mengundang orang lain kepada sebuah perjamuan yang lezat" (Evangelii Gaudium, 15).
"Bapa, supaya mereka semua menjadi satu ..... supaya dunia percaya". Ini adalah doa Yesus saat Ia menengadah ke langit. Permohonan ini muncul dalam konteks perutusan : "Sama seperti Engkau telah mengutus Aku ke dalam dunia, demikian pula Aku telah mengutus mereka ke dalam dunia". Pada saat itu, Tuhan sedang mengalami dalam daging-Nya sendiri yang terburuk dari dunia ini, sebuah dunia yang meskipun demikian sangat Ia kasihi. Mengetahui benar intrik-intriknya, kepalsuannya dan pengkhianatannya, Ia tidak berpaling, Ia tidak mengeluh. Kita juga menjumpai sehari-hari sebuah dunia yang terkoyak oleh perang dan kekerasan. Akan menjadi dangkal berpikir bahwa perpecahan dan kebencian hanya menyangkut pergulatan-pergulatan antara negara-negara atau kelompok-kelompok dalam masyarakat. Pada kenyataannya, mereka adalah sebuah pengejawantahan dari "individualisme yang meluas" yang memisahkan kita dan membuat kita berseteru satu sama lain (bdk. Evangelii Gaudium, 99), warisan dosa yang bersembunyi di dalam hati manusia, yang menyebabkan begitu banyak penderitaan di dalam masyarakat dan semua ciptaan. Tetapi justru ke dalam dunia yang bermasalah ini, dengan keegoisannya, Yesus mengutus kita. Kita tidak harus menanggapi dengan sikap acuh tak acuh, atau mengeluh kita tidak memiliki sumber daya untuk melakukan pekerjaan, atau masalah-masalah yang terlalu besar itu. Sebaliknya, kita harus menanggapi dengan membawa teriakan Yesus serta menerima rahmat dan tugas kesatuan tersebut.
Tidak ada kekurangan keyakinan atau kekuatan di dalam tangisan untuk kebebasan yang muncul sedikit lebih dari dua ratus tahun yang lalu. Namun sejarah memberitahu kita bahwa itu hanya membuat kemajuan segera sesudah perbedaan-perbedaan pribadi tersisihkan, bersama-sama dengan keinginan akan kekuasaan dan ketidakmampuan untuk menghargai gerakan-gerakan pembebasan lainnya yang berbeda namun tidak demikian menentang.
Penginjilan dapat menjadi sebuah cara untuk menyatukan harapan-harapan, keprihatinan-keprihatinan, cita-cita dan bahkan visi-visi utopis kita. Kita mempercayai hal ini dan kita menjadikannya tangisan kita. Saya telah mengatakan bahwa, "di dunia kita, terutama di beberapa negara, berbagai bentuk peperangan dan perseteruan sedang muncul kembali, namun kita orang-orang Kristen tetap tegar dalam niat kita untuk menghormati orang lain, menyembuhkan luka-luka, membangun jembatan-jembatan, memperkuat hubungan-hubungan dan 'saling menanggung beban' (Evangelii Gaudium, 67). Keinginan untuk kesatuan melibatkan sukacita menginjili yang menggembirakan dan menghibur, keyakinan bahwa kita memiliki sebuah harta yang sangat besar untuk dibagikan, harta yang tumbuh lebih kuat dari berbagi, dan menjadi semakin peka terhadap kebutuhan orang lain (bdk. Evangelii Gaudium, 9). Oleh karena itu kebutuhan untuk bekerja bagi kemenyertaan di setiap tingkatan, untuk berjuang bagi penyertaan di semua tingkatan. Menghindari bentuk-bentuk keegoisan, untuk membangun komunikasi dan dialog, untuk mendorong kerjasama. Kita perlu mempercayakan hati kita kepada rekan-rekan kita di sepanjang jalan, tanpa kecurigaan atau ketidakpercayaan. "Mempercayai orang lain adalah sebuah seni, karena perdamaian adalah sebuah seni" (Evangelii Gaudium, 244). Kesatuan kita hampir tidak bisa bersinar jika keduniawian rohani membuat kita bermusuhan di antara diri kita sendiri dalam sebuah pencarian sia-sia bagi kekuasaan, prestise, kesenangan atau keamanan ekonomi. Dan hal ini mempengaruhi orang-orang yang paling miskin, orang-orang yang paling dikecualikan, orang-orang yang tidak berdaya, mereka yang ... tidak kehilangan martabat mereka, tetapi itu yang menyerang mereka setiap hari.
Kesatuan tersebut sudah merupakan sebuah tindakan perutusan, sehingga "supaya dunia percaya". Penginjilan tidak berupa penyebaran agama - penyebaran agama adalah sebuah karikatur penginjilan - sebaliknya penginjilan adalah menarik oleh kesaksian kita orang-orang yang jauh, dengan rendah hati mendekat kepada mereka yang merasa jauh dari Allah dan Gereja, mereka yang takut atau acuh tak acuh, dan mengatakan kepada mereka: "Tuhan, dengan hormat dan kasih yang besar, juga sedang memanggil kalian untuk menjadi bagian dari umat-Nya" (Evangelii Gaudium, 113). Dan Ia melakukannya dengan hormat dan kasih yang besar karena Allah kita menghormati kita, bahkan dalam kehinaan kita dan dalam dosa kita. Panggilan Tuhan ini - dengan rendah hati tersebut dan dengan hormat tersebut dijelaskan dalam Kitab Wahyu (3:20) : "Lihat, Aku berdiri di muka pintu dan mengetok". Jika kalian ingin membuka, Ia tidak memaksa kalian, Ia tidak mematahkan kunci, Ia hanya membunyikan bel pintu, Ia dengan lembut mengetuk, dan Ia menunggu. Inilah Allah kita!
Perutusan Gereja sebagai sakramen keselamatan juga harus melakukan dengan jatidirinya sebagai sebuah umat peziarah yang dipanggil untuk merangkul semua bangsa di bumi. Semakin intens persekutuan di antara kita, perutusan kita menjadi semakin efektif (bdk. Yohanes Paulus II, Pastores Gregis, 22). Menjadi sebuah Gereja yang misioner membutuhkan terus dorongan persekutuan, karena perutusan tidak harus dilakukan dengan penjangkauan saja ... Kita juga perlu menjadi misionaris-misionaris di dalam Gereja, menunjukkan bahwa ia adalah "seorang ibu yang menjangkau, sebuah rumah yang menyambut, sebuah sekolah persekutuan misioner yang terus menerus" (Dokumen Aparecida, 370).
Mimpi Yesus dapat diwujudkan karena Ia telah menguduskan kita. "Demi mereka Aku menguduskan diri-Ku, agar mereka juga dapat dikuduskan dalam kebenaran". Kehidupan rohani seorang penginjil dilahirkan dari kebenaran yang mendalam ini, yang tidak seharusnya dirancukan dengan beberapa pengamalan agama yang menghibur. Yesus menguduskan kita sehingga kita dapat berjumpa Dia secara pribadi. Dan perjumpaan ini membawa kita pada gilirannya untuk berjumpa orang lain, terlibat dengan dunia kita dan mengembangkan sebuah kegairahan untuk penginjilan (bdk. Evangelii Gaudium, 78).
Keintiman dengan Allah, dengan sendirinya tidak bisa dimengerti, diungkapkan oleh gambaran-gambaran yang berbicara kepada kita tentang persekutuan, komunikasi, pemberian diri dan kasih. Karena alasan itu, kesatuan yang kepadanya Yesus memanggil kita bukanlah keseragaman, melainkan "keselarasan beraneka segi dan yang mengundang" (Evangelii Gaudium, 117). Kekayaan perbedaan-perbedaan kita, keragaman kita yang menjadi kesatuan setiap kali kita memperingati hari Kamis Putih, membuat kita waspada terhadap semua persekongkolan totaliter, ideologi atau sektarian. Pengutaraan Yesus berwujud, bukan sebuah gagasan. : Pergilah, dan perbuatlah demikian, Ia mengatakan kepada orang yang bertanya "siapakah sesamaku" setelah menceritakan perumpamaan tentang orang Samaria yang baik. "Pergilah, dan perbuatlah demikian!".
Kesatuan ini juga bukanlah sesuatu yang dapat kita bentuk seperti kita kehendaki, mengatur kondisi, memilih siapa yang dapat kita miliki dan yang tidak. Religiositas kaum elit ini bukan apa yang diutarakan Yesus. Yesus berdoa agar kita semua akan menjadi bagian dari keluarga besar yang di dalamnya Allah adalah Bapa kita dan kita semua adalah saudara dan saudari. Tidak seorang pun dikecualikan. Ini bukan tentang memiliki selera yang sama, keprihatinan yang sama, karunia yang sama. Kita adalah saudara dan saudari karena Allah menciptakan kita demi cinta dan menentukan kita dari semula, murni atas prakarsa-Nya sendiri, untuk menjadi putra dan putri-Nya (bdk. Ef 1:5). Kita adalah saudara dan saudari karena "Allah telah menyuruh Roh Anak-Nya ke dalam hati kita, yang berseru: "ya Abba, ya Bapa!" (Gal 4:6). Kita adalah saudara dan saudari karena, dibenarkan oleh darah Kristus Yesus (bdk. Rm 5:9), kita sudah berpindah dari maut kepada kehidupan dan telah dijadikan "para ahli waris" janji (bdk. Gal 3:26-29; Rm 8:17). Itulah keselamatan yang dimungkinkan Allah bagi kita, dan yang diberitakan Gereja dengan sukacita: menjadi bagian dari "kita" yang ilahi.
Tangisan kita, di tempat ini terkait dengan tangisan yang sesungguhnya untuk kebebasan di negeri ini, menggemakan tangisan Santo Paulus : "Celakalah aku, jika aku tidak memberitakan Injil!" (1 Kor 9:16). Ini adalah sebuah tangisan yang setiap kelumitnya sama mendesak dan menekannya seperti tangisan untuk kemerdekaan. Sama mendebarkan di dalam hasratnya. Saudara dan saudari, semoga kalian memiliki perasaan-perasaan Yesus yang sama. Semoga kalian masing-masing menjadi saksi bagi persekutuan persaudaraan yang bersinar di dunia kita!
Akan betapa indahnya jika semua bisa mengagumi berapa banyak kita peduli satu sama lain, bagaimana kita saling mendorong dan membantu. Memberikan diri kita memperlihatkan sebuah hubungan antarpribadi; kita tidak memberikan "benda-benda" tetapi sungguh diri kita. Dalam setiap tindakan memberi apapun, kita memberi diri kita sendiri. "Memberikan diri sendiri" berarti membiarkan semua kekuatan cinta yang merupakan Roh Allah itu berakar dalam kehidupan kita, membuka hati kita bagi kekuatan-Nya yang mencipta. Dan memberikan dirinya di saat-saat yang paling sulit, seperti pada Hari Kamis Putih tersebut, di mana Yesus tahu bagaimana pengkhianatan dan persekongkolan akan terungkap, tetapi Ia terus berjalan dan Ia menyerahkan diri-Nya. Ia menyerahkan diri-Nya kepada kita dengan rencana keselamatan-Nya. Ketika kita memberi diri kita, kita menemukan jatidiri kita yang sejati sebagai anak-anak Allah dalam rupa Bapa dan, seperti Dia, para pemberi kehidupan; kita menemukan bahwa kita adalah saudara dan saudari Yesus, yang kepadanya kita bersaksi. Inilah apa artinya menginjili; ini adalah revolusi kita - karena iman kita selalu revolusioner - ini adalah tangisan kita yang paling dalam dan paling menanggung derita.
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.