Liturgical Calendar

HOMILI PAUS FRANSISKUS DALAM MISA 15 September 2015 TANPA KEIBUAN, GEREJA HANYALAH SEBUAH ORGANISASI YANG KAKU

Bacaan Ekaristi : 1Kor 12:31-13:13 atau Ibr. 5:7-9; Yoh 19:25-27

Dalam sebuah dunia yang tampaknya "yatim piatu" ada harapan bagi suatu "keibuan yang berjangkit" yang membawa penerimaan, kelembutan dan pengampunan. Dalam homilinya selama Misa harian pagi 15 September 2015 di Casa Santa Marta, Vatikaan, pada Pesta Bunda Maria Berdukacita, di hadapan Dewan Kardinal, Paus Fransiskus merenungkan keibuan Maria dan keibuan Gereja yang, tanpa ciri tersebut, akan berkurang menjadi hanya "sebuah organisasi yang kaku". Paus Fransiskus memulai permenungannya dari sebuah perikop Injil Yohanes - "Ibu, inilah, anakmu!", yang diikuti dengan kata-kata kepada murid tersebut, "Inilah, ibumu!" (19:25-27). Beliau menekankan bahwa "itulah kedua kalinya Maria mendengar 'ibu' dari Putranya". Yang pertama, tentu saja, adalah di Kana ketika Yesus mengatakan kepada ibu-Nya: "Saat-Ku belum tiba"; yang kedua adalah saat ini, di kaki Salib, ketika Ia menyerahkan kepadanya anak lainnya.

Perlu dicatat bahwa "pertama kalinya ia mendengar kata" dari Yesus, ia mengambil alih keadaan, mengatakan kepada para pelayan : "Perbuatlah yang Ia katakan kepadamu". Saat ini, malahan, Yesuslah yang mengambil alih tanggung jawab : "Perempuan, anakmu". Dan pada momen itu, Paus Fransiskus mengatakan, Maria "sekali lagi menjadi seorang ibu". Keibuannya "meluas ke sosok anak yang baru itu, ia meluas ke seluruh Gereja dan ke seluruh umat manusia". Dan kita, hari ini, tidak bisa "memikirkan Maria tanpa mempertimbangkannya sebagai Ibu". Dan pada saat perasaan merasakan "yatim piatu" ini, Paus Fransiskus mengatakan, kata ini "memiliki kepentingan besar". Yesus mengatakan kepada kita : "Aku tidak akan meninggalkan kamu yatim piatu, aku memberimu seorang ibu". Warisan ini juga merupakan "kebanggaan kita : kita memiliki seorang ibu, yang bersama kita, melindungi kita, menyertai kita, membantu kita, bahkan dalam masa-masa sulit, dalam momen-momen buruk".

Untuk lebih menjelaskan pertimbangan ini, Paus Fransiskus mengingat kembali tradisi para biarawan Rusia kuno, orang-orang yang "pada saat-saat kekacauan rohani", mengatakan bahwa kita harus berlindung "di bawah mantel Bunda Allah yang kudus". Saran tersebut diteguhkan dalam "antifon Maria pertama dalam bahasa Latin : Sub tuum praesidium confugimus"; dalam doa pertama ini kita menemukan "ibu yang menerima kita, melindungi kita dan menjaga kita". Tetapi, Paus Fransiskus menambahkan, "kita juga dapat mengatakan bahwa keibuan Maria ini melampaui" hal itu, dan "berjangkit". Memang, kembali ke permenungan Ishak, "Abas Biara Stella" kuno, kita dapat memahami bahwa selain "keibuan Maria" ada juga "sebuah keibuan kedua", keibuan 'Bunda Gereja kita yang kudus', yang melahirkan kita dalam baptisan, memungkinkan kita tumbuh dalam komunitasnya" dan memiliki sikap-sikap keibuan yang sesungguhnya : "kelembutan dan kebaikan : Maria ibu dan Gereja ibu tahu bagaimana membelai anak-anak mereka, mereka memberikan kelembutan".

Ini merupakan ciri penting, Paus Fransiskus menunjukkan. Memikirkan Gereja tanpa keibuan ini seperti memikirkan "sebuah organisasi yang kaku, sebuah organisasi tanpa kehangatan manusiawi, yatim piatu". Gereja, bagaimanapun, "adalah ibu dan menerima kita sebagai seorang ibu : Maria ibu, Gereja ibu". Itu tidak semuanya. Ishak Abas menambahkan hingga kini rincian lain yang, Paus Fransiskus menjelaskan, mungkin "mengejutkan" kita: "bahkan jiwa kita adalah ibu", bahkan ada hadir di dalam diri kita sebuah keibuan "yang diungkapkan dalam sikap kerendahan hati, penerimaan, pemahaman, kebaikan , pengampunan dan kelembutan".

Setiap bentuk keibuan ini datang langsung dari "kata-kata Yesus kepada ibu-Nya" yang berada di kaki Salib. Dan, Paus Fransiskus menjelaskan, di mana ada keibuan "di sana ada kehidupan, di sana ada sukacita, di sana ada damai, orang bertumbuh dalam damai". Sebaliknya, ketika kekurangan, di sana hanya tinggal "kekakuan itu, kedisiplinan itu" dan, beliau menambahkan, "kita tidak tahu bagaimana tersenyum". Paus Fransiskus kemudian menyarankan "salah satu hal yang paling indah dan manusiawi", yaitu "tersenyum pada seorang anak dan membuat dia tersenyum".

Menerapkan permenungannya terhadap perayaan Ekaristi, Paus Fransiskus mengakhiri : "Sekarang kita memperingati Salib, Yesus datang ke sini dan sekali lagi memperbaharui pengorbanan-Nya untuk kita dan ibu-Nya", dalam sakramen Ekaristi, beliau menjelaskan. Keduanya hadir "meskipun dalam cara yang berbeda: ibu-Nya secara rohani dan Ia sesungguhnya". Paus Fransiskus berdoa agar, pada momen ketika "sekali lagi Ia menawarkan diri-Nya kepada Bapa demi kita", Tuhan "sudi membuat kita merasakan bahkan hari ini" kata-kata ini : "Anak, lihatlah ibumu!".

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.