Liturgical Calendar

HOMILI PAUS FRANSISKUS DALAM MISA 1 Oktober 2015 : SUKACITA ALLAH ADALAH KEKUATAN KITA

Bacaan Ekaristi : Neh 8:1-4a,5-6,7b-12; Luk 10:1-12

"Nostalgia bagi Allah"-lah yang menuntun kita untuk mencari di dalam Dia "jatidiri" kita yang sesungguhnya. Diperkuat oleh kesadaran ini, yang juga didewasakan sepanjang sepanjang sejarah bangsa Israel, Paus Fransiskus menyarankan agar kita melihat ke dalam diri kita sendiri untuk memastikan bahwa"nostalgia" di dalam hati kita tidak pernah padam. Itulah pokok homili Paus Fransiskus dalam Misa harian Kamis pagi, 1 Oktober 2015, di Casa Santa Marta, yang bertepatan dengan Pesta Santa Teresia dari Kanak-kanak Yesus.

Paus Fransiskus mengacu homilinya pada Bacaan Pertama, yang diambil dari Kitab Nehemia (8:1-4,5-6,7-12), untuk mengingatkan umat yang hadir bahwa perikop yang disajikan merupakan kesimpulan dari sebuah sejarah yang telah berlangsung selama berabad-abad : "orang Israel telah dibuang ke Babel, mereka berada jauh dari Yerusalem, dan tinggal di sana selama bertahun-tahun, berabad-abad". Dan "begitu banyak dari mereka sudah terbiasa dengan kehidupan itu dan hampir melupakan tanah air mereka". Tetapi "ada sesuatu di dalam batin yang selalu mengingatkan mereka, dan ketika momen kenangan itu tiba, mereka berdoa dengan kata-kata dari Mazmur: 'Biarlah lidahku melekat pada langit-langit mulutku, jika aku tidak ingat Engkau'".

Namun, Paus Fransiskus melanjutkan, "merupakan suatu kenangan yang tak mungkin, yang jauh, sebuah masa lalu yang tidak akan pernah kembali". Hingga "Nehemia, seorang Israel yang sangat dekat dengan raja, berhasil mendapatkan izin untuk kembali ke Yerusalem untuk membangunnya kembali, karena ia telah benar-benar hancur, seluruhnya dalam reruntuhan". Maka "dimulailah sejarah panjang bertahun-tahun kepulangan ke Yerusalem".

"Itu adalah sebuah sejarah yang sulit", Paus Fransiskus menyatakan. "Karena mereka harus mengangkut kayu, kemudian menemukan batu-batu untuk membangun tembok, tetapi, bahkan di sana, ada beberapa yang tidak menginginkan tembok-tembok baru dan yang menghancurkan tembok-tembok itu". Oleh karena itu, orang-orang "yang ingin membangun kembali kota terus berjaga-jaga pada malam hari untuk melindungi tembok-tembok : dan sehingga itu terus berjalan". Kemudian, lanjut Paus Fransiskus, menapaki Bacaan Pertama, "mereka menghancurkan altar-altar pemujaan berhala dan membangun altar untuk Allah, Bait Allah, perlahan-lahan". Memang, "bukan dalam hitungan hari, tetapi dalam hitungan tahun". Dan "akhirnya tibalah hari ini yang tentangnya kita dengar hari ini: mereka menemukan Hukum, kitab Hukum".

"Nehemia meminta Ezra sang ahli kitabs untuk membacanya di hadapan bangsa Israel, seluruh bangsa Israel, di hadapan mereka di alun-alun". Dengan demikian, "Ezra sang ahli kitab, dengan bantuan para ahli kitab lainnya, membacakan Hukum dan orang-orang mulai merasa bahwa memori mereka telah menjadi nyata, memori yang membuat mereka menyanyikan lagu-lagu Yerusalem, ketika mereka dibuang : "Tetapi bagaimana kita akan menyanyikan lagu-lagu tersebut di negeri asing?". Orang-orang itu, Paus Fransiskus menjelaskan, "merasakan betapa Mazmur begitu anggun untuk dikatakan : "Ketika Tuhan memulihkan nasib Yerusalem, mulut kita diperluas dalam senyuman". Ini benar-benar "orang-orang yang bersukacita".

Paus Fransiskus menunjukkan sebuah bukti "yang menimbulkan keingintahuan" : orang-orang Israel "bersukacita tetapi mereka menangis, dan mereka mendengarkan Sabda Allah; mereka memiliki sukacita, tetapi juga air mata, semuanya bersama-sama". Bagaimana ini bisa dijelaskan? Sederhana, beliau berkata. "Orang-orang itu tidak hanya menemukan kota mereka, kota kelahiran mereka, kota Allah : orang-orang itu, dengan mendengarkan Hukum, menemukan jatidiri mereka, dan inilah sebabnya mereka bersukacita dan mereka menangis". Sehingga Nehemia dan orang-orang Lewi, bersama-sama, menyerukan orang-orang itu dengan kata-kata ini: "Hari ini adalah kudus bagi TUHAN, Allahmu; jangan berdukacita dan menangis". Memang, Paus Fransiskus mengingatkan, memang benar bahwa "semua orang menangis ketika mereka mendengarkan kata-kata Hukum : tetapi mereka menangis karena sukacita, mereka menangis karena mereka telah menemukan jatidiri mereka, mereka telah menemukan kembali jatidiri yang telah agak hilang di tahun-tahun pembuangan".

Bagi orang-orang Israel itu adalah "sebuah perjalanan panjang". Maka Nehemia menyarankan mereka: "jangan berduka, sebab sukacita Tuhan adalah kekuatanmu". Ini adalah "sukacita yang Tuhan berikan ketika kita menemukan jatidiri kita". Namun, "jatidiri kita hilang di jalan, ia hilang di dalam banyak pengasingan atau pengasingan diri, ketika kita membangun sebuah sangkar di sini, sebuah sangkar di sana, sebuah sangkar ... dan tidak di rumah Tuhan". Lalu di sinilah pentingnya "menemukan jatidirinya yang tepat".

Pertanyaannya kemudian, Paus Fransiskus bertanya, adalah bagaimana mengusahakan menemukan jatidirinya yang tepat. "Ada suatu benang yang menuntun kita di sana : ada sebuah kerinduan, sebuah nostalgia terhadap rumah kalian", sehingga "ketika kalian telah kehilangan apa yang kalian miliki, rumah kalian, kalian memiliki nostalgia ini, dan nostalgia ini membawa kalian pulang". Ini sama seperti bagi orang-orang Israel, yang "dengan nostalgia ini, merasakan mereka bahagia dan menangis dengan sukacita atas hal ini, karena nostalgia akan jatidiri mereka yang tepat menuntun mereka untuk menemukannya". Dan ini adalah "kasih karunia Allah".

Menyerukan pemeriksaan batin, Paus Fransiskus mengusulkan permenungan ini: "Jika kita, misalnya, dipenuhi dengan makanan, kita tidak lapar; jika kita nyaman, merasa damai di tempat kita berada, kita tidak perlu pergi ke tempat lain. Saya bertanya pada diri saya sendiri, dan akan ada baiknya bagi kita semua bertanya pada diri kita sendiri hari ini : apakah aku damai, senang hati, tidak membutuhkan apa-apa - saya sedang berbicara secara rohani - dalam hatiku? Apakah nostalgiaku telah padam?".

Paus Fransiskus meminta kita untuk melihat kembali pada orang-orang Israel yang bahagia itu, yang "menangis maupun bersukacita", karena "sebuah hati yang tidak memiliki nostalgia tidak mengenal sukacita". Memang, "sukacita benar-benar adalah kekuatan kita: sukacita Allah". Karena "sebuah hati yang tidak mengenal apa itu nostalgia tidak bisa merayakan, dan seluruh perjalanan ini yang dimulai bertahun-tahun yang lalu berakhir dalam sebuah perayaan".

Perikop dari Kitab Nehemia berakhir dengan gambaran seluruh bangsa yang "menjalani jalan mereka dengan makan dan minum serta mengirimkan sebagian dan membuat sukacita besar, karena mereka telah memahami kata-kata yang menyatakan kepada mereka". Mereka telah menemukan, dengan kata-kata lain, "nostalgia apakah yang membuat mereka merasa" agar "berjalan maju". Sebagai penutup Paus Fransiskus menganjurkan agar setiap orang bertanya kepada dirinya sendiri "bagaimana nostalgia kita terhadap Allah : apakah kita senang hati,  apakah kita bahagia seperti ini atau apakah kita, setiap hari, memiliki keinginan untuk maju ini?". Beliau kemudian berdoa "bahwa jangan pernah, pernah bisa nostalgia bagi Allah padam dalam hati kita".

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.