Liturgical Calendar

HOMILI PAUS FRANSISKUS DALAM MISA PEMBUKAAN SIDANG UMUM BIASA SINODE PARA USKUP TENTANG KELUARGA 4 Oktober 2015

Bacaan Ekaristi : Kej 2:18-24; Ibr 2:9:11; Mrk 10:2-16

"Jika kita saling mengasihi, Allah tetap di dalam kita, dan kasih-Nya sempurna di dalam kita" (1 Yoh 4:12).

Bacaan Kitab Suci hari Minggu ini tampaknya telah dipilih justru untuk saat rahmat yang sedang dialami Gereja ini : Sidang Umum Biasa Sinode Para Uskup tentang Keluarga, yang dimulai dengan perayaan Ekaristi ini. Bacaan-bacaan berpusat pada tiga tema : kesendirian, cinta antara laki-laki dan perempuan, dan keluarga.

Adam, seperti yang kita dengar dalam Bacaan Pertama (Kej 2:18-24), tinggal di Taman Firdaus. Ia menamai semua makhluk lain sebagai tanda kekuasaan-Nya, kuasanya yang jelas dan tak terbantahkan, atas semua makhluk. Meskipun demikian, ia merasa sendirian, karena "ia tidak menjumpai penolong yang sepadan dengan dia" (Kej 2:20). Ia kesepian.

Drama kesendirian dialami oleh laki-laki dan perempuan yang tak terhitung jumlahnya di zaman kita sendiri. Saya memikirkan kaum lansia, yang ditinggalkan bahkan oleh orang-orang tercinta dan anak-anak mereka; para janda dan para duda; banyak laki-laki dan perempuan yang ditinggalkan oleh pasangan mereka; semua orang yang merasa sendirian, disalahpahami dan tidak didengar; para migran dan para pengungsi yang melarikan diri dari perang dan penganiayaan; dan banyak orang muda tersebut yang menjadi korban budaya konsumerisme, budaya sampah, budaya mencampakkan.

Hari ini kita mengalami paradoks sebuah dunia yang mengglobal yang dipenuhi dengan rumah-rumah mewah dan gedung-gedung pencakar langit, tetapi berkurangnya kehangatan rumah dan keluarga; banyak rencana dan rancangan ambisius, tetapi sedikit waktu untuk menikmati mereka; banyak sarana hiburan canggih, tetapi kehampaan batin yang dalam dan berkembang; banyak kesenangan, tetapi hanya sedikit cinta; banyak kebebasan, tapi sedikit kebebasan ... Jumlah orang yang merasa kesepian terus berkembang, seperti halnya jumlah mereka yang terjebak dalam keegoisan, kemurungan, kekerasan yang menghancurkan dan perbudakan terhadap kesenangan dan uang.

Pengalaman kita hari ini adalah, dalam beberapa cara, seperti pengalaman Adam: begitu banyak kekuasaan dan pada saat yang sama begitu banyak kesepian dan kerentanan. Gambaran hal ini adalah keluarga. Orang-orang kurang dan kurang serius membangun hubungan cinta yang padu dan berbuah : dalam sakit dan dalam sehat, demi lebih baik maupun demi lebih buruk, di masa-masa baik dan di masa-masa buruk. Cinta yang abadi, setia, bertanggung jawab, teguh dan berbuah semakin dipandang rendah, dipandang sebagai peninggalan kuno dari masa lalu. Akan terlihat bahwa masyarakat yang paling maju adalah masyarakat yang sesungguhnya memiliki laju kelahiran yang paling rendah dan persentase pengguguran kandungan, perceraian, bunuh diri, dan polusi sosial dan lingkungan yang paling tinggi.

Dalam Bacaan Pertama kita juga mendengar bahwa Allah tersakiti oleh kesepian Adam. Ia mengatakan: "Tidak baik, kalau manusia itu seorang diri saja. Aku akan menjadikan penolong baginya, yang sepadan dengan dia" (Kej 2:18). Kata-kata ini menunjukkan bahwa tidak ada yang membuat hati manusia sebahagia hatinya sendiri, hati yang mencintainya dan mengambil rasa sendiriannya. Kata-kata ini juga menunjukkan bahwa Allah tidak menciptakan kita untuk hidup dalam kesedihan atau sendirian. Ia menjadikan laki-laki dan perempuan bahagia, berbagi perjalanan mereka dengan seseorang yang melengkapi mereka, menghayati pengalaman kasih yang menakjubkan : mengasihi dan dikasihi, dan melihat kasih mereka berbuah di dalam anak-anak, sebagaimana dikatakan Mazmur hari ini (bdk. Mzm 128).

Ini adalah impian Allah bagi ciptaan-Nya yang terkasih: melihatnya terpenuhi dalam kesatuan penuh kasih antara seorang laki-laki dan seorang perempuan, bersukacita dalam perjalanan mereka bersama, berbuah dalam pemberian diri timbal balik bersama mereka. Rencana yang sama yang dihadirkan Yesus dalam Injil hari ini : 'Sebab pada awal dunia, Allah menjadikan mereka laki-laki dan perempuan. Karena itu laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging. Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu' (Mrk 10:6-8; bdk. Kej 1:27;2:24).

Terhadap sebuah pertanyaan retoris - yang mungkin ditanyakan sebagai sebuah perangkap untuk menjadikan-Nya tidak populer dengan orang banyak, yang mempraktekkan perceraian sebagai fakta yang menentukan dan tidak dapat diganggu gugat - Yesus menanggapi dengan cara terus terang dan tak terduga. Ia membawa semuanya kembali ke awal penciptaan, untuk mengajarkan kita bahwa Allah memberkati cinta manusia, bahwa Dialah yang menggabungkan hati dua orang yang saling mencintai, Dialah yang menggabungkan mereka dalam kesatuan dan ketakterceraian. Ini menunjukkan kepada kita bahwa tujuan kehidupan suami-istri bukan hanya untuk hidup bersama seumur hidup, tetapi untuk saling mencintai seumur hidup! Dengan cara ini Yesus menetapkan kembali tatanan yang hadir sejak permulaan.

"Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia" (Mrk 10:9). Ini adalah sebuah seruan bagi orang-orang percaya untuk mengatasi setiap bentuk individualisme dan legalisme yang menyembunyikan pemusatan diri yang sempit dan ketakutan menerima arti sebenarnya suami-istri dan seksualitas manusia dalam rencana Allah.

Memang, hanya dalam terang kebodohan kecuma-cumaan kehendak kasih Paskah Yesus kebodohan kecuma-cumaan kasih eksklusif dan seumur hidup suami isteri menjadi masuk akal. Bagi Allah, pernikahan bukan beberapa utopia yang belum dewasa, tetapi sebuah impian yang tanpanya para makhluk-Nya akan ditakdirkan untuk kesendirian! Memang, takut untuk menerima rencana ini melumpuhkan hati manusia.

Secara paradoks, orang-orang hari ini - yang sering mengejek rencana ini - terus tertarik dan terpesona oleh setiap cinta yang otentik, oleh setiap cinta yang tegar, oleh setiap cinta yang berbuah, oleh setiap cinta yang setia dan sabar. Kita melihat orang-orang mengejar cinta sekejab seraya memimpikan cinta sejati; mereka mengejar kesenangan jasmani tetapi menginginkan pemberian diri sehabis-habisnya.

"Sekarang karena kita telah sepenuhnya merasakan janji-janji kebebasan tanpa batas, kita mulai menghargai sekali lagi ungkapan lama : "kelelahan duniawi". Kesenangan-kesenangan terlarang kehilangan daya tarik mereka di saat mereka berhenti menjadi terlarang. Bahkan jika mereka didorong bukan kepalang dan tanpa henti diperbarui, mereka terbukti kusam, karena mereka adalah kenyataan-kenyataan yang terbatas, sedangkan kita haus akan yang tak terbatas" (Joseph Ratzinger, Auf Christus schauen. Einübung di Glaube, Hoffnung, Liebe, Freiburg, 1989, halaman 73).

Dalam konteks sosial dan perkawinan yang sangat sulit ini, Gereja dipanggil untuk melaksanakan perutusannya dalam kesetiaan, kebenaran dan kasih. Untuk melaksanakan perutusannya dalam kesetiaan kepada Gurunya sebagai suara yang berseru-seru di padang gurun, dalam mempertahankan kasih yang penuh kesetiaan dan mendorong banyak keluarga yang menjalani kehidupan pernikahan sebagai sebuah pengalaman yang mengungkapkan kasih Allah; dalam membela kesucian hidup, kesucian setiap kehidupan; dalam membela kesatuan dan ketakterceraian ikatan suami-istri sebagai tanda kasih karunia Allah dan tanda kemampuan pribadi manusia untuk mengasihi secara sungguh-sungguh.

Untuk melaksanakan perutusannya dalam kebenaran, yang tidak berubah dengan melewati ragam atau pendapat populer. Kebenaran yang melindungi pribadi-pribadi dan umat manusia secara keseluruhan dari godaan pemusatan diri dan dari peralihan cinta yang berbuah menjadi keegoisan yang mandul, kesatuan yang penuh kesetiaan terhadap ikatan-ikatan sementara. "Tanpa kebenaran, amal merosot ke dalam sentimentalitas. Kasih menjadi sebuah cangkang kosong, diisi dengan cara sewenang-wenang. Dalam sebuah budaya tanpa kebenaran, inilah resiko fatal yang dihadapi kasih" (Benediktus XVI, Caritas in Veritate, 3).

Untuk melaksanakan perutusannya dalam amal, tidak menunjuk jari dalam penilaian orang lain, tetapi - setia kepada kodratnya sebagai seorang ibu - sadar akan tugasnya untuk mencari dan merawat suami istri yang terluka dengan balsem penerimaan dan belas kasih; menjadi "rumah sakit yang lapang" dengan pintu terbuka lebar untuk siapa pun yang mengetuk dalam mencari bantuan dan dukungan; untuk menjangkau orang lain dengan cinta sejati, berjalan dengan laki-laki dan perempuan sesama kita yang menderita kami, menyertakan mereka dan membimbing mereka ke mata air keselamatan.

Sebuah Gereja yang mengajarkan dan membela nilai-nilai dasariah, seraya tidak melupakan bahwa "Sabat dibuat untuk manusia, bukan manusia untuk hari Sabat" (Mrk 2:27); dan bahwa Yesus juga mengatakan: "Bukan orang sehat yang memerlukan tabib, tetapi orang sakit; Aku datang bukan untuk memanggil orang benar, melainkan orang berdosa" (Mrk 2:17). Sebuah Gereja yang mengajarkan kasih yang otentik, yang mampu mencanpakkan kesepian, tanpa mengabaikan perutusannya untuk menjadi seorang Samaria yang baik bagi umat manusia yang terluka.

Saya ingat ketika Santo Yohanes Paulus II mengatakan: "Kesalahan dan kejahatan harus selalu dikutuk dan ditentang; tetapi orang yang jatuh atau yang melakukan kesalahan harus dipahami dan dikasihi ... kita harus mencintai waktu kita dan membantu orang dari waktu kita" (Yohanes Paulus II, Amanat kepada para anggota Aksi Katolik Italia, 30 Desember 1978). Gereja harus mencari orang-orang ini, menyambut dan menemani mereka, karena sebuah Gereja dengan pintu tertutup mengkhianati dirinya dan perutusannya, dan, bukannya menjadi sebuah jembatan, menjadi sebuah rintangan di jalan : "Sebab Ia yang menguduskan dan mereka yang dikuduskan, mereka semua berasal dari Satu; itulah sebabnya Ia tidak malu menyebut mereka saudara" (Ibr 2:11).

Dengan semangat ini kita meminta Tuhan untuk menemani kita selama Sinode dan membimbing Gereja-Nya, melalui perantaraan Santa Perawan Maria dan Santo Yosef, mempelainya yang tersuci.

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.