Bacaan Ekaristi : 1Sam 1:9-20; Mrk 1:21b-28
Kekuatan doa, kekuatan pendorong yang sebenarnya kehidupan Gereja, adalah fokus dari homili Paus Fransiskus selama Misa harian Selasa pagi, 12 Januari 2016 di Casa Santa Marta, Vatikan. Permenungan Paus Fransiskus diilhami oleh bacaan liturgi hari itu dari Kitab Pertama Samuel (1:9-20), yang berbicara tentang tiga tokoh utama : Hana, imam Eli, dan Tuhan. Wanita itu, Paus Fransiskus menjelaskan, "bersama keluarganya, bersama suaminya, pergi ke Bait Allah untuk menyembah Allah". Hana adalah seorang wanita yang taat dan saleh, penuh iman; namun, ia "memikul dalam dirinya sebuah salib yang menyebabkannya banyak menderita : ia mandul. Ia menginginkan seorang anak laki-laki".
Kekuatan doa, kekuatan pendorong yang sebenarnya kehidupan Gereja, adalah fokus dari homili Paus Fransiskus selama Misa harian Selasa pagi, 12 Januari 2016 di Casa Santa Marta, Vatikan. Permenungan Paus Fransiskus diilhami oleh bacaan liturgi hari itu dari Kitab Pertama Samuel (1:9-20), yang berbicara tentang tiga tokoh utama : Hana, imam Eli, dan Tuhan. Wanita itu, Paus Fransiskus menjelaskan, "bersama keluarganya, bersama suaminya, pergi ke Bait Allah untuk menyembah Allah". Hana adalah seorang wanita yang taat dan saleh, penuh iman; namun, ia "memikul dalam dirinya sebuah salib yang menyebabkannya banyak menderita : ia mandul. Ia menginginkan seorang anak laki-laki".
Gambaran doa Hana yang sungguh-sungguh menunjukkan bagaimana ia "bergumul bersama Allah", ia sangat memohon kepada-Nya panjang lebar, dengan "kesusahan yang dalam, menangis dengan getir". Doa berakhir dengan sebuah nazar : "Ya Tuhan semesta alam, jika sungguh-sungguh Engkau memperhatikan sengsara hamba-Mu ini dan mengingat kepadaku dan tidak melupakan hamba-Mu ini, tetapi memberikan kepada hamba-Mu ini seorang anak laki-laki, maka aku akan memberikan dia kepada Tuhan untuk seumur hidupnya". Dengan kerendahan hati yang mendalam, Paus Fransiskus menjelaskan, mengakui dirinya "menyedihkan" dan "hamba", ia "bernazar untuk mempersembahkan anak laki-lakinya".
Oleh karena itu Hana, Paus Fransiskus menekankan, "memberikan seluruh dirinya untuk mencapai apa yang ia inginkan". Permohonannya yang mendesak telah diperhatikan oleh imam tua Eli, yang "mengamati mulutnya". Hana "sedang berdoa secara diam-diam", hanya bibirnya yang sedang bergerak, dan suaranya tidak bisa terdengar. Gambaran yang ditawarkan oleh Kitab Suci sangat luar biasa, karena ia mencerminkan "keberanian seorang wanita iman yang, dengan kesedihannya, dengan air matanya, memohon rahmat Tuhan".
Dalam hal ini Paus Fransiskus mengulas bahwa dalam Gereja ada "banyak wanita yang baik seperti itu", yang "berdoa seolah-olah itu adalah sebuah tantangan", dan sebagai contoh, beliau teringat sosok Santa Monika, ibunda Santo Agustinus, "yang dengan air matanya berhasil mendapatkan rahmat pertobatan anak laki-lakinya".
Paus Fransiskus kemudian menganalisis karakter Eli, yang tidak jahat tetapi "seorang yang miskin" yang kepadanya Paus Fransiskus merasakan "sebuah kesukaan tertentu", karena "dalam diriku terlalu", beliau mengakui, "saya menemukan cacat-cacat yang membawa saya dekat kepada-Nya dan memungkinkan saya benar-benar memahami-Nya".
Imam tua ini "telah menjadi suam-suam kuku, telah kehilangan pengabdiannya" dan "tidak memiliki kekuatan untuk menghentikan kedua anak laki-lakinya", yang merupakan imam-imam yang "nakal". Ya, mereka benar-benar orang-orang jahat "yang mengeksploitasi umat". Eli adalah "seorang yang miskin dan lemah", dan karena itu tidak mampu "memahami hati wanita ini". Dengan melihat Hana menggerakkan bibirnya dalam penderitaan, ia berpikir: "Wanita ini telah terlalu banyak mabuk!". Episode tersebut mengenggam sebuah pelajaran bagi kita semua : "betapa mudahnya", Paus Fransiskus mengatakan, "kita menilai orang-orang, betapa mudahnya kita kurang hormat untuk bertanya : 'Apa yang seharusnya ia miliki dalam hatinya? Aku tidak tahu, tetapi aku tidak sedang mengatakan apa-apa'". Beliau kemudian menambahkan : "Ketika hati kekurangan belas kasihan, kita juga berpikir buruk, menilai buruk, mungkin untuk membenarkan diri kita sendiri".
Kesalahpahaman Eli adalah demikian bahwa "akhirnya ia berkata kepadanya : 'Berapa lama kamu akan membuat sebuah pertunjukan mabuk diri?'". Hana, dalam kerendahan hatinya, tidak menanggapi : "Orang tua, apa yang Anda ketahui tentang hal itu?". Sebaliknya, ia mengatakan : "Bukan itu, tuanku". Dan meskipun mengetahui semua yang telah dilakukan anak-anak Eli, ia tidak menegur Eli atau menunjukkan: "Apa yang dilakukan anak-anakmu?". Sebaliknya ia menjelaskan kepadanya: "Aku adalah seorang wanita yang tidak bahagia. Aku tidak memiliki anggur maupun minuman keras; Aku hanya mencurahkan kesulitan-kesulitanku kepada Tuhan. Jangan berpikir hamba-Mu seorang pelaku yang baik; doaku telah dipanjatkan dengan kesedihan dan penderitaan yang mendalam".
Dalam kata-kata ini Paus Fransiskus mengidentifikasikan "doa Hana bersama kesedihan dan kesengsaraan". Ia "mempercayakan kesedihan dan kesengsaraan itu kepada Tuhan". Dan dengan melakukannya, Paus Fransiskus menambahkan, Hana mengingatkan kita tentang Kristus. Memang, "Yesus mengalami doa ini di Taman Zaitun, ketika kesedihan dan penderitaan-Nya begitu besar sehingga keringatnya menjadi darah, tetapi ia tidak memarahi Bapa : 'Bapa, jika Engkau berkenan, hapuskanlah ini daripadaku, tetapi kehendak-Mulah yang akan terjadi'". Sebaliknya, "Yesus menjawab dengan cara yang sama seperti wanita ini : kelemahlembutan". Paus Fransiskus kemudian mengamati bagaimana berkali-kali "kita berdoa, kita memohon kepada Tuhan, tetapi begitu sering kita tahu bagaimana untuk mencapai pergumulan itu bersama Tuhan, menangis, memohon, memohon rahmat".
Dalam hal ini Paus Fransiskus menggambarkan sebuah peristiwa yang terjadi di Tempat Suci Luján, di Buenos Aires, di mana ada sebuah keluarga dengan seorang anak perempuan berusia sembilan tahun yang sakit parah. "Setelah minggu-minggu pengobatan", Paus Fransiskus bercerita, "ia tidak berhasil melarikan penyakit itu, ia telah memburuk dan para dokter, sekitar pukul 6.00 di sore hari" mengatakan bahwa ia hanya memiliki beberapa jam lagi untuk hidup. Maka "sang ayah, seorang yang rendah hati, seorang buruh, segera meninggalkan rumah sakit dan pergi ke Tempat Suci Bunda Maria di Lujan", 50 kilometer jauhnya. Ketika "ia tiba sekitar pukul 10.00 malam, semuanya sudah tertutup, dan ia mencengkeram pintu gerbang dan berdoa kepada Bunda Maria serta bergumul dalam doa". Ini, Paus Fransiskus melanjutkan, "adalah sebuah fakta yang benar-benar terjadi, pada saat saya berada di sana. Dan ia tetap seperti ini sampai pukul lima pagi".
Orang itu "berdoa, ia menangis untuk anak perempuannya, bergumul bersama Allah untuk anak perempuannya melalui perantaraan Bunda Maria. Kemudian ia kembali. Ia tiba di rumah sakit sekitar pukul tujuh atau delapan, dan pergi mencari istrinya. Ia sedang menangis dan laki-laki itu berpikir bahwa gadis itu telah meninggal, tetapi sang istri mengatakan : 'Saya tidak mengerti, saya tidak mengerti .... Para dokter datang dan mengatakan bahwa mereka tidak mengerti apa yang terjadi'. Dan gadis kecil itu pulang ke rumah".
Pada dasarnya, Paus Fransiskus mencermati, dengan "iman itu, doa di hadapan Allah itu, yakin bahwa Ia mampu akan segalanya, karena Ia adalah Tuhan", sang ayah di Buenos Aires tersebut mengingatkan wanita dari teks Alkitab tersebut. Orang yang tidak hanya memperoleh "mukjizat memiliki seorang anak laki-laki setahun kemudian dan lalu, Alkitab mengatakan, ia memiliki banyak orang lain", tetapi ia juga berhasil dengan mukjizat "membangkitkan semangat suam-suam kuku sang imam itu". Ketika Hana "menjelaskan kepada imam itu - yang telah benar-benar kehilangan seluruh spiritualitas, seluruh kesalehan - mengapa ia sedang menangis, ia yang telah menyebutnya 'mabuk', mengatakan kepadanya : 'Pergilah dengan selamat, dan Allah Israel akan memberikan kepadamu apa yang engkau minta daripada-Nya'. Ia membebaskan dari bawah abu api kecil imami yang berada dalam bara ".
Berikut kemudian adalah pelajaran terakhir. "Doa membuat mukjizat", kata Paus Fransiskus. Ia bahkan membuat mukjizat bagi mereka "orang-orang Kristen, entah mereka umat awam, atau imam, uskup yang telah kehilangan pengabdian".
Selain itu, beliau menjelaskan, "doa umat beriman mengubah Gereja : bukannya kita, para Paus, para uskup, para imam, para biarawati yang membawa Gereja ke depan, para kuduslah! Dan para kudus adalah orang-orang ini", seperti wanita dalam perikop Alkitab". Para Kudus adalah mereka yang memiliki keberanian untuk percaya bahwa Allah adalah Tuhan dan bahwa Ia dapat melakukan segalanya". Paus Fransiskus kemudian berdoa agar Bapa "memberi kita rahmat untuk percaya dalam doa, berdoa dengan keberanian dan juga membangkitkan kesalehan, ketika kita telah kehilangannya, dan berjalan maju dengan Umat Allah untuk perjumpaan dengan-Nya".
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.