Liturgical Calendar

HOMILI PAUS FRANSISKUS DALAM MISA 9 Desember 2016 : KEKAKUAN DAN KEDUNIAWIAN ADALAH BENCANA BAGI PARA IMAM

Bacaan Ekaristi : Yes. 48:17-19; Mzm. 1:1-2,3,4,6; Mat. 11:16-19

Para imam perlu melayani sebagai perantara kasih Allah yang otentik, bukan sebagai bukan sebagai penengah - "berjalan di antara" atau "orang tengah" - hanya menyangkut pengutamaan kepentingan mereka sendiri. Itulah pokok homili Paus Fransiskus selama Misa harian Jumat pagi, 9 Desember 2016, di kapel Casa Santa Marta, Vatikan. Peran perantara bukanlah sebagai penengah - dan para imam dipanggil untuk menjadi sediakala untuk umat mereka:

"Perantara memberikan dirinya untuk mempersatukan berbagai pihak, ia memberikan hidupnya. Itulah harganya : hidupnya - ia membayar dengan hidupnya, kelelahannya, karyanya, begitu banyak hal, tetapi - dalam hal ini gembala - mempersatukan kawanan domba, mempersatukan umat, membawa mereka kepada Yesus. Logika Yesus sebagai perantara adalah logika meniadakan dirinya sendiri. Santo Paulus dalam suratnya kepada jemaat di Filipi menjelaskan hal ini : 'Ia telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia. Dan dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib' (2-7-8). Itulah logikanya : mengosongkan dirinya, meniadakan dirinya".

Imam yang meninggalkan tugas sebagai perantara dan malahan lebih memilih menjadi penengah tidak bahagia, dan segera menjadi sedih - dan ia akan mencari kebahagiaan dalam sesumbar diri dan membuat "wewenang"-nya terasa.

Yesus memiliki pesan yang kuat untuk orang-orang yang "berjalan di antara" pada zaman-Nya, yang menikmati berjalan-jalan di lapangan untuk dilihat : "Tetapi untuk membuat diri mereka penting, para imam penengah harus mengambil jalan kekakuan : sering terputus dari umat, mereka tidak tahu apa penderitaan manusia; mereka lupa apa yang telah mereka pelajari di rumah, dengan pekerjaan ayah, dengan pekerjaan ibu, kakek, nenek, saudara-saudaranya... Mereka kehilangan hal-hal ini. Mereka kaku, [mereka adalah] orang-orang yang kaku yang membebani umat begitu banyak hal sehingga mereka tidak bisa membawanya, sebagaimana dikatakan Yesus kepada para penengah zaman-Nya : kekakuan. [Mereka menghadapi] umat Allah dengan sebuah saklar di tangan mereka : 'Ini tidak bisa, ini tidak bisa ...'. Dan begitu banyak orang mendekat, mencari sedikit penghiburan, sedikit pemahaman, terusir dengan kekakuan ini".

Kekakuan - yang menghancurkan kehidupan batin seseorang dan bahkan keseimbangan psikis - bersekongkol dengan keduniawian : "Tentang kekakuan dan keduniawian, beberapa waktu yang lalu monsinyur Kuria yang sudah tua datang kepada saya, yang bekerja, seorang yang biasa, seorang yang baik, dalam kasih bersama Yesus - dan ia mengatakan kepada saya bahwa ia telah pergi untuk membeli sepasang kemeja di Euroclero [toko pakaian klerus] dan melihat seorang anak muda - ia berpikir ia tidak lebih dari 25 tahun, atau seorang imam muda atau hampir menjadi seorang imam - di depan cermin, dengan berjubah, besar, lebar, terbuat dari beludru, dengan gelang perak. Ia kemudian mengambil Saturno [penutup kepala klerus bertepi lebar], ia meletakkannya dan memandangi dirinya. Sesuatu yang kaku dan duniawi. Dan imam itu - ia bijaksana, monsinyur itu, sangat bijaksana - mampu mengatasi penderitaan, dengan sebuah garis humor yang sehat dan menambahkan : 'Dan dikatakan bahwa Gereja tidak mengizinkan imam perempuan!'. Dengan demikian, melakukan pekerjaan yang dilakukan imam saat ia menjadi seorang pejabat berakhir dalam kekonyolan, selalu".

"Dalam pemeriksaan batin", kata Paus Fransiskus, "pertimbangkanlah hal ini: hari ini apakah aku seorang pejabat atau seorang perantara? Apakah aku merawat diriku, apakah aku melihat ke kenyamananku sendiri, kenyamananku sendiri, atau apakah aku menghabiskan hari dengan melayani orang lain?". Paus Fransiskus melanjutkan dengan mengatakan, "Sekali waktu, seseorang mengatakan kepada saya bagaimana ia mengetahui imam macam apakah seseorang dengan sikap yang mereka miliki bersama anak-anak : jika mereka tahu bagaimana membelai seorang anak, tersenyum pada seorang anak, bermain dengan seorang anak ... sangatlah menarik, bahwa, karena itu berarti mereka tahu hal ini berarti merendahkan diri, semakin dekat dengan hal-hal kecil". Sebaliknya, kata Paus Fransiskus, "berjalan di tengah adalah menyedihkan, selalu dengan wajah sedih atau wajah gelap, terlalu serius. Penengah memiliki mata gelap, sangat gelap! Perantara terbuka : tersenyum, hangat, memahami, membelai".

Pada bagian akhir homilinya Paus Fransiskus kemudian mengajukan tiga "sosok imam perantara dan bukan imam penengah". Imam yang pertama adalah Polikarpus agung, yang "tidak mengompromikan panggilannya dan sepenuhnya berani menuju tumpukan kayu, dan ketika api mengelilinginya, umat yang berada di sana, mereka mencium aroma roti".

"Inilah", beliau berkata, "bagaimana seorang perantara membuat kesudahannya : sebagai sepotong roti untuk umatnya". Sosok lainnya adalah Santo Fransiskus Xaverius, yang mati muda di pantai Shangchuan", melihat ke arah Tiongkok" tempat yang ia ingin datangi tetapi tidak bisa karena Tuhan membawanya ke pangkuan-Nya. Dan kemudian, sosok terakhir : Santo Paulus tua di Three Fountains. "Pagi-pagi buta itu", Paus Fransiskus mengingatkan, "para tentara pergi kepadanya, mereka membawanya, dan ia berjalan membungkuk". Ia tahu bahwa itu oleh karena pengkhianatan beberapa orang jemaat kristiani tetapi ia telah begitu banyak berjuang, begitu banyak dalam hidupnya, sehingga ia menawarkan dirinya bagi Tuhan sebagai sebuah pengorbanan".

"Tiga sosok", pungkas Paus Fransiskus, "yang dapat membantu kita. Lihatlah di sana : bagaimana saya ingin mengakhiri hidup saya sebagai seorang imam? Sebagai seorang pejabat, sebagai seoran penengah, atau sebagai seorang perantara, yaitu, di kayu salib?"

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.