Liturgical Calendar

HOMILI PAUS FRANSISKUS DALAM MISA 10 Januari 2017 : YESUS MEMILIKI KEWIBAWAAN KARENA IA ADALAH SEORANG HAMBA

Bacaan Ekaristi : Ibr. 2:5-12; Mzm. 8:2a,5, 6-7, 8-9; Mrk. 1:21b-28.

Yesus memiliki kewibawaan karena Ia melayani orang-orang, Ia mendekati orang-orang dan Ia berpadu, bertentangan dengan para ahli Taurat yang menganggap diri mereka tokoh. Ketiga karakter kewibawaan Yesus ini disorot oleh Paus Fransiskus dalam homilinya pada Misa harian Selasa pagi 10 Januari 2017 di Casa Santa Marta, Vatikan. Bapa Suci mencatat, di sisi lain, bahwa para ahli Taurat mengajar dengan kewibawaan klerikal : mereka mengambil jarak dari umat, dan tidak menghayati apa yang mereka khotbahkan.

Kewibawaan Yesus dan kewibawaan orang-orang Farisi masing-masing merupakan dua kutub yang di sekitarnya homili Paus Fransiskus berputar. Kutub yang satu adalah kewibawaan yang sesungguhnya, kutub yang lain hanyalah bersifat formal. Injil hari ini (Mrk 1:21b-28) berbicara tentang ketakjuban orang-orang karena Yesus mengajar "sebagai orang yang memiliki kewibawaan" dan bukan seperti para ahli Taurat : mereka adalah para penguasa rakyat, Paus Fransiskus mengatakan, tetapi apa yang mereka ajarkan tidak masuk ke dalam hati mereka, sementara Yesus memiliki kewibawaan yang sesungguhnya : Ia bukan seorang "penggoda", Ia mengajarkan Hukum "hingga noktah terakhir". Ia mengajarkan kebenaran, tetapi dengan kewibawaan.

Paus Fransiskus kemudian masuk ke rincian, dengan berfokus pada tiga karakter yang membedakan kewibawaan Yesus dengan kewibawaan para ahli Taurat. Sementara Yesus "mengajar dengan kerendahan hati", dan mengatakan kepada murid-murid-Nya, "yang terbesar harus sebagai yang melayani : ia harus menjadikan dirinya kecil". Orang-orang Farisi menganggap diri mereka tokoh:

Yesus melayani orang-orang, Ia menjelaskan berbagai hal karena orang-orang memahami dengan baik : Ia berada pada pelayanan orang-orang. Ia memiliki sikap seorang hamba, dan ini memberi kewibawaan. Di sisi lain, para ahli Taurat ini membenci orang-orang ... ya, mereka didengar, mereka dihormati, tetapi mereka tidak merasa bahwa mereka memiliki kewibawaan atas orang-orang tersebut; hal ini memiliki psikologi para tokoh : 'Kami adalah para penguasa, para tokoh, dan kami mengajar kalian. Bukan melayani : kami memerintah, kalian menuruti'. Dan Yesus tidak mempergunakan jatidiri-Nya bagaikan seorang tokoh. Ia selalu merupakan pelayan semua orang dan inilah apa yang memberi-Nya kewibawaan.

Menjadi dekat dengan orang-orang, pada kenyataannya, adalah yang menganugerahkan kewibawaan. Kedekatan, lalu, merupakan karakter kedua yang membedakan kewibawaan Yesus dengan kewibawaan orang-orang Farisi. "Yesus tidak memiliki alergi terhadap orang-orang: menjamah orang-orang kusta, orang-orang sakit, tidak membuat-Nya bergidik", Paus Fransiskus menjelaskan; sementara orang-orang Farisi membenci "orang-orang miskin, orang-orang bebal", mereka suka berjalan di lapangan-lapangan, dengan pakaian yang bagus.

Mereka terpisah dari orang-orang, mereka tidak dekat [terhadap orang-orang]; Yesus sangat dekat dengan orang-orang, dan ini memberi kewibawaan. Orang-orang yang terpisah ini, para ahli Taurat ini, memiliki psikologi klerikal : mereka mengajar dengan kewibawaan klerikal - itulah klerikalisme. Sangatlah menyenangkan bagi saya ketika saya membaca tentang kedekatan dengan umat yang dimiliki Beato Paulus VI; dalam Evangelii Nuntiandi 48 orang melihat hati seorang gembala yang dekat [dengan umat] : itulah tempat kalian menemukan kewibawaan Paus, kedekatan. Pertama, seorang hamba, hamba pelayanan, hamba kerendahan hati : pemimpin adalah orang yang melayani, yang menjungkirbalikkan segala sesuatunya, seperti sebuah gunung es. Puncak gunung es terlihat; Yesus, di sisi lain, menjungkirbalikkannya dan orang-orang berada di atas dan barangsiapa yang perintah berada di bawah, serta memberi perintah dari bawah. Kedua, kedekatan.

Tetapi ada poin ketiga yang membedakan kewibawaan para ahli Taurat dengan kewibawaan Yesus, yaitu 'perpaduan'. Yesus "menghayati apa yang Ia khotbahkan". "Ada sesuatu bagaikan satu kesatuan, suatu keselarasan antara apa yang Ia pikirkan, rasakan, lakukan". Sementara itu, orang yang menganggap dirinya seorang tokoh memiliki "sikap klerikal" - yaitu, munafik - mengatakan satu hal dan melakukan yang lain.

Di sisi lain, orang-orang ini tidak berpadu dan kepribadian mereka terbagi-bagi pada titik yang dinasehatkan Yesus kepada para murid-Nya : 'Tetapi, lakukanlah apa yang mereka katakan, tetapi bukan apa yang mereka lakukan' : mereka mengatakan satu hal dan melakukan yang lain. Ketidakterpaduan. Mereka tidak terpadu. Dan sikap yang begitu sering dipergunakan Yesus terhadap mereka adalah munafik. Dan dipahami bahwa orang yang menganggap dirinya seorang tokoh, yang memiliki sikap klerikal, yang adalah sebuah kemunafikan, tidak memiliki kewibawaan! Ia berbicara kebenaran, tetapi tanpa kewibawaan. Yesus, di sisi lain, yang rendah hati, yang berada pada pelayanan orang lain, yang dekat, yang tidak memandang hina orang-orang, dan yang berpadu, memiliki kewibawaan. Dan inilah kewibawaan yang dirasakan umat Allah.

Sebagai penutup, Paus Fransiskus, dalam rangka untuk membuat pemahaman ini lebih baik, mengingatkan perumpamaan tentang orang Samaria yang baik. Melihat orang yang ditinggalkan sekarat di jalan oleh para penyamun, imam lewat, dan terus berjalan, mungkin karena ada darah dan ia berpikir bahwa jika ia menyentuhnya, ia akan menjadi najis. Orang Lewi lewat dan, Paus Fransiskus mengatakan, "Saya percaya bahwa ia berpikir" bahwa jika ia campur tangan dalam urusan tersebut ia kemudian akan harus pergi ke pengadilan dan memberikan kesaksian, dan ia memiliki banyak hal untuk dilakukan. Dan ia juga terus berjalan. Akhirnya, orang Samaria datang, dan orang berdosa, dan ia, sebaliknya, memiliki belas kasihan. Tetapi ada orang lain dalam perumpamaan tersebut, Paus Fransiskus mencatat : pemilik penginapan, yang takjub, bukan oleh karena serangan para penyamun, karena itu adalah sesuatu yang terjadi di sepanjang jalan itu; bukan oleh karena perilaku imam dan orang Lewi, karena ia mengenal mereka; tetapi oleh karena perilaku orang Samaria. Ketakjuban pemilik penginapan pada orang Samaria : "Tetapi ini gila ... Ia bukan orang Yahudi, ia orang berdosa", ia bisa memiliki pikiran tersebut. Paus Fransiskus kemudian menghubungkan ketakjuban ini dengan ketakjuban yang dirasakan oleh orang-orang dalam Injil hari itu berhadapan dengan kewibawaan Yesus : "sebuah kewibawaan yang rendah hati, kewibawaan pelayanan ... sebuah kewibawaan yang dekat dengan orang-orang" dan "terpadu".

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.