Liturgical Calendar

HOMILI PAUS FRANSISKUS DALAM MISA DI STADION DALL'ARA, BOLOGNA (ITALIA) 1 Oktober 2017 : MENJADI ORANG-ORANG BERDOSA YANG BERTOBAT ATAU MENJADI ORANG-ORANG BERDOSA YANG MUNAFIK?

Bacaan Ekaristi : Yeh. 18:25-28; Mzm. 25:4bc-5,6-7,8-9; Flp. 2:1-11; Mat. 21:28-32.

Saya merayakan bersama kalian hari Minggu Sabda pertama, Sabda Allah membuat hati berkobar-kobar (bdk. Luk 24:32), karena Sabda Allah membuat kita merasa dikasihi dan dihibur oleh Tuhan. Bunda Maria menurut Santo Lukas, Penginjil, juga dapat membantu kita untuk memahami kelembutan keibuan dari Sabda yang "hidup" yang, bagaimanapun, pada saat yang sama "menusuk", seperti dalam Injil hari ini : pada kenyataannya, Sabda Allah menembus jiwa (bdk. Ibr 4:12) dan menerangi rahasia dan perbantahan hati.

Hari ini, Sabda Allah bertanya kepada kita melalui perumpamaan dua anak laki-laki yang menanggapi permintaan ayahnya untuk pergi ke kebun anggurnya : anak yang sulung mengatakan tidak, tetapi kemudian pergi; anak yang bungsu mengatakan ya, tetapi kemudian tidak pergi. Namun, ada sebuah perbedaan besar di antara anak yang sulung, yang malas, dan anak yang kedua, yang munafik. Marilah kita mencoba membayangkan apa yang terjadi di dalam diri mereka. Dalam hati anak yang sulung, setelah tidaknya, undangan sang ayah masih bergema; dalam hati anak yang bungsu, sebaliknya, meski yanya, suara sang ayah terkubur. Ingatan akan sang ayah membangunkan anak yang sulung dari kemalasan <-nya>, sementara anak yang bungsu, yang meskipun ia tahu yang baik, menyangkal apa yang ia katakan dengan apa yang ia lakukan. Ia sebenarnya telah menjadi kedap terhadap suara Allah dan suara hati nuraninya, serta karenanya merangkul tanpa masalah sebuah kehidupan ganda. Dengan perumpamaan ini Yesus menempatkan dua jalan di depan kita, di mana - kita mengalaminya - kita tidak selalu siap untuk mengatakan ya dengan perkataan dan perbuatan, karena kita adalah orang-orang berdosa. Namun, kita dapat memilih untuk menjadi orang-orang berdosa di jalan, yang tetap mendengarkan Tuhan dan ketika mereka bertobat dan bangkit kembali, sebagai anak sulung, atau orang-orang berdosa yang terduduk, selalu siap untuk membenarkan diri mereka sendiri dan hanya dengan perkataan seturut dengan apa yang tidak menyusahkan.

Yesus menceritakan perumpamaan ini kepada beberapa pemimpin agama pada masa itu, yang seperti anak laki-laki dengan kehidupan ganda, sementara rakyat jelata sering kali berperilaku seperti anak laki-laki yang lainnya. Para pemimpin ini mengetahui dan menjelaskan segalanya, dengan cara yang tidak dapat dijelaskan secara formal, tentang intelektual agama yang sejati. Namun, mereka tidak memiliki kerendahan hati untuk mendengarkan, keberanian untuk mempertanyakan diri mereka sendiri, kekuatan untuk bertobat. Dan Yesus sangat keras : Ia mengatakan bahwa sesungguhnya para pemungut cukai akan mendahului mereka dalam Kerajaan Allah. Ini adalah sebuah celaan yang keras, karena para pemungut cukai adalah para pengkhianat tanah air yang korup. Lalu, apa masalah para pemimpin ini? Mereka tidak membuat sebuah kesalahan dalam sesuatu, tetapi dalam cara hidup dan berpikir mereka di hadapan Allah : dalam kata-kata dan dengan orang lain, para penjaga tradisi-tradisi manusia yang kaku, tidak mampu memahami bahwa kehidupan, menurut Allah, harus terus berjalan dan Ia meminta kerendahan hati dengan membuka diri, bertobat dan memulai lagi.

Apa yang dikatakan hal ini kepada kita? Bahwa tidak ada kehidupan kristiani yang dibangun secara ilmiah, dengan sendirinya, di mana cukup memenuhi beberapa keinginan untuk menenangkan hati nurani : kehidupan kristiani adalah perjalanan yang rendah hati dari hati nurani yang tidak pernah kaku dan selalu berhubungan dengan Allah, yang dapat bertobat dan mempercayakan dirinya kepada-Nya dalam kepapaannya, tanpa pernah merasa cukup untuk dirinya sendiri. Mengatasi hal demikian adalah edisi yang meninjau kembali dan memperbarui dari kejahatan tua tersebut yang dikecam oleh Yesus dalam perumpamaan : kemunafikan, muka dua kehidupan, klerikalisme yang disertai dengan legalisme, keterpisahan dari orang-orang. Kata kuncinya adalah bertobat : pertobatanlah yang memungkinkan seseorang untuk tidak menjadi kaku, mengubah tidak terhadap Allah menjadi ya, dan ya terhadap dosa menjadi tidak karena kasih kepada Tuhan. Kehendak Bapa, yang berbicara dengan lembut setiap hari kepada hati nurani kita, digenapi hanya dalam bentuk penyesalan dan pertobatan terus-menerus. Pada akhirnya, ada dua jalan dalam perjalanan masing-masing orang : menjadi orang-orang berdosa yang bertobat atau orang-orang berdosa yang munafik. Namun, yang penting bukan penalaran yang membenarkan dan berusaha menjaga penampilan, tetapi hati yang berkembang bersama Tuhan, bergumul setiap hari, bertobat dan kembali kepada-Nya, karena Tuhan mencari kemurnian hati, bukan kemurnian "lahiriah"

Kita melihat kemudian, saudara dan saudari terkasih, bahwa Sabda Allah menggali dalam-dalam, "membedakan pertimbangan dan pikiran hati" (Ibr 4:12). Tetap sekarang ini : perumpamaan tersebut mengingatkan kita juga tentang hubungan, tidak selalu mudah, antara para orang tua dan anak-anak. Hari ini, mengingat kecepatan perubahan yang terjadi antara satu generasi dan generasi lainnya, kebutuhan kemandirian dirasakan semakin kuat ketimbang masa lalu, terkadang sampai pada <titik> pemberontakan. Namun, setelah penutupan dan keheningan yang panjang dari satu sisi atau sisi lainnya, ada baiknya memulihkan perjumpaan, bahkan jika masih dihuni oleh perselisihan, yang bisa menjadi perangsang bagi sebuah keseimbangan baru. Seperti dalam keluarga, demikianlah dalam Gereja dan dalam masyarakat : jangan pernah meninggalkan perjumpaan, dialog, mengusahakan cara-cara baru untuk berjalan bersama.

Dalam perjalanan Gereja, pertanyaan yang sering muncul : ke mana harus pergi, bagaimana berjalan ke depan? Sebagai pamungkas hari ini, saya ingin meninggalkan kalian tiga titik rujukan, tiga "P". P yang pertama adalah Parola [Sabda], yang merupakan penunjuk arah untuk berjalan dengan rendah hati, tidak kehilangan jalan Allah dan jatuh ke dalam keduniawian. P yang kedua adalah Pane [Roti] karena semuanya dimulai dari Ekaristi. Dalam Ekaristilah Gereja dijumpai : bukan dalam pergunjingan dan rentetan kejadian, tetapi di sinilah, dalam Tubuh Kristus yang dibagikan kepada orang-orang berdosa dan orang-orang yang membutuhkan, yang, bagaimanapun, merasa dikasihi dan kemudian berkeinginan untuk mengasihi. Orang pergi dari sini dan kembali ke sini setiap waktu; Inilah awal yang tak terpisahkan dari Gereja kita. Kongres Ekaristi menyatakannya "dalam suara yang lantang" : dengan demikian Gereja berkumpul, lahir dan tinggal di sekitar Ekaristi, bersama Yesus yang hadir dan hidup untuk disembah, diterima dan diberikan setiap hari. Akhirnya, P yang ketiga : Poveri. Sayangnya, saat ini masih banyak orang yang kekurangan apa yang dibutuhkan. Namun, ada juga banyak orang yang miskin kasih sayang, orang-orang yang kesepian, dan miskin akan Allah. Dalam diri mereka semua kita menemukan Yesus karena, di dunia, Yesus mengikuti jalan kemiskinan, jalan pembinasaan, seperti yang dikatakan Santo Paulus dalam Bacaan Kedua : "Yesus telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba" (Flp 2:7) . Kita pergi menjumpai Yesus dari Ekaristi menuju orang miskin. Kalian telah memproduksi ulang tulisan yang ingin dilihat oleh Kardinal Lercaro terukir di altar : "Jika kita berbagi Roti Surga, bagaimana mungkin kita tidak berbagi roti bumi?" Ada baiknya kita selalu mengingat hal ini. Sabda, Roti, Orang Miskin : marilah kita memohonkan rahmat untuk tidak melupakan kebaikan-kebaikan dasariah ini, yang mendukung perjalanan kita.

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.