"Bangunlah, pergilah ke Niniwe, kota yang besar itu, dan sampaikanlah
kepadanya seruan yang Kufirmankan kepadamu" (Yun 3:2). Dengan kata-kata
ini, Tuhan berbicara kepada Yunus dan menyuruhnya berangkat ke kota besar itu,
yang akan dihancurkan karena banyak kejahatannya. Di dalam Injil, kita juga
melihat Yesus berangkat ke Galilea untuk mewartakan Kabar Baik (bdk. Mrk 1:14).
Kedua bacaan tersebut mengungkapkan Allah yang mengalihkan pandangan-Nya ke
kota masa lalu dan kota masa kini. Tuhan berangkat melakukan perjalanan : ke
Niniwe, ke Galilea, ke Lima, ke Trujillo dan Puerto Maldonado ... Tuhan datang
ke sini. Dia berangkat untuk masuk ke dalam sejarah pribadi dan nyata kita.
Kita merayakannya belum lama ini: Dialah Imanuel, Allah yang senantiasa ingin
bersama kita. Ya, berada di sini, di Lima, atau di manapun kalian tinggal,
dalam rutinitas hidup dan pekerjaan sehari-hari kalian, dalam mendidik untuk
berpengharapan yang kalian berikan kepada anak-anak kalian, di tengah cita-cita
dan kecemasan kalian; dalam privasi rumah dan suara jalanan-jalanan kita yang
memekakkan telinga. Di sanalah, di sepanjang jalan-jalan sejarah yang berdebu,
Tuhan datang untuk bertemu kalian masing-masing.
Terkadang apa yang terjadi pada Yunus bisa terjadi
pada kita. Kota-kota kita, dengan situasi-situasi yang menyakitkan dan
ketidakadilan sehari-hari, dapat membuat kita tergoda untuk melarikan diri,
bersembunyi, kabur. Yunus, dan kita punya banyak alasan untuk melakukannya.
Memandang kota, kita bisa mulai dengan mengatakan bahwa ada "warga yang
menemukan sarana yang memadai untuk mengembangkan kehidupan pribadi dan
keluarga mereka - dan hal itu menyenangkan kita - namun masalahnya adalah banyak
"bukan warga", "setengah warga" atau "sisa-sisa
urbanisasi"[1].
Mereka ditemukan di sepanjang pinggir-pinggir jalan kita, tinggal di pinggiran
kota-kota kita, dan tidak memiliki kondisi yang dibutuhkan untuk keberadaan
yang bermartabat. Sungguh menyakitkan menyadari bahwa di antara "sisa-sisa
urbanisasi" ini terlalu sering kita melihat wajah anak-anak dan remaja.
Kita melihat wajah masa depan.
Melihat hal-hal ini di kota-kota kita dan lingkungan-lingkungan kita - yang seharusnya menjadi tempat-tempat perjumpaan, kesetiawanan, dan sukacita - kita berakhir dengan apa yang bisa kita sebut sindrom Yunus : kita kehilangan hati dan ingin melarikan diri (bdk. Yun 1:3). Kita menjadi acuh tak acuh, dan akibatnya, tanpa nama dan tuli terhadap orang lain, dingin dan keras hati. Jika ini terjadi, kita melukai jiwa bangsa kita. Seperti yang diperlihatkan oleh Paus Benediktus XVI, "ukuran sebenarnya dari kemanusiaan pada dasarnya ditentukan dalam hubungan dengan penderitaan dan para penderitanya ... Masyarakat yang tidak dapat menerima para anggotanya yang sedang menderita dan tidak mampu membantu dengan ambil bagian dalam penderitaan mereka dan menanggungnya secara batin melalui 'kegairahan bersama' adalah masyarakat yang kejam dan tidak manusiawi."[2]
Setelah mereka menangkap Yohanes, Yesus berangkat
ke Galilea untuk memberitakan Injil Allah. Tidak seperti Yunus, Yesus bereaksi
terhadap berita menyedihkan dan tidak adil tentang penangkapan Yohanes dengan
memasuki kota; Ia memasuki Galilea dan dari kota-kota kecilnya Ia mulai menabur
benih-benih harapan besar: bahwa Kerajaan Allah sudah dekat, bahwa Allah ada di
antara kita. Injil sendiri menunjukkan kepada kita sukacita dan pengaruh
riak-riak yang diakibatkannya ini : dimulai dengan Simon dan Andreas, lalu
Yakobus dan Yohanes (bdk. Mrk 1:14-20). Kemudian melalui Santa Rose de Lima,
Santo Turibius, Santo Martin de Porres, Santo Juan MacĂas, Santo Francisco
Solano, hingga kepada kita, yang diwartakan oleh sejumlah besar saksi yang
percaya kepada-Nya itu. Kerajaan Allah telah datang kepada kita untuk bertindak
sekali lagi sebagai penangkal tepat waktu terhadap globalisasi ketidakpedulian.
Dalam menghadapi Sang Kasih itu, kita tidak bisa tetap acuh tak acuh.
Yesus mengundang murid-murid-Nya untuk mengalami saat ini rasa kekekalan : mengasihu Allah dan sesama. Ia melakukan hal ini satu-satunya cara yang Ia bisa lakukan, cara Allah, dengan membangkitkan kelembutan dan kasih kerahiman, dengan membangkitkan rasa welas asih dan membuka mata mereka untuk melihat kenyataan seperti yang dilakukan Allah. Ia mengundang mereka untuk menghasilkan ikatan-ikatan baru, perjanjian-perjanjian baru yang kaya akan kehidupan kekal.
Yesus berjalan melalui kota-kota bersama
murid-murid-Nya dan mulai melihat, mendengar, memperhatikan orang-orang yang
telah menyerah dalam menghadapi ketidakpedulian, direndahkan oleh dosa berat
karena korupsi. Ia mulai membawa terang kepada banyak situasi yang telah
membunuh harapan umat-Nya dan membangkitkan harapan baru. Ia memanggil
murid-murid-Nya dan mengundang mereka untuk pergi bersama-Nya. Ia memanggil
mereka untuk berjalan ke seluruh kota, tetapi pada kecepatan yang berbeda; Ia
mengajarkan mereka untuk memperhatikan apa yang sebelumnya mereka abaikan, dan
Ia menunjukkan kebutuhan baru dan mendesak. Bertobatlah, kata-Nya kepada
mereka. Kerajaan Surga berarti menemukan di dalam Yesus Allah yang terlibat
dengan kehidupan umat-Nya. Ia terlibat dan melibatkan orang lain untuk tidak
takut menjadikan sejarah kita sebuah sejarah keselamatan (bdk. Mrk 1:15, 21).
Yesus terus berjalan di jalanan-jalanan kita. Ia mengetuk hari ini, seperti yang Ia lakukan kemarin, di pintu-pintu dan hati kita, untuk menghidupkan kembali nyala harapan dan cita-cita yang patah bisa diatasi oleh persaudaraan, ketidakadilan bisa dikalahkan oleh kesetiakawanan, kekerasan bisa dibungkam oleh senjata perdamaian. Yesus terus memanggil kita; Ia ingin mengurapi kita dengan Roh-Nya sehingga kita juga bisa pergi mengurapi orang lain dengan minyak yang mampu menyembuhkan harapan yang terluka dan memperbarui cara kita melihat berbagai hal.
Yesus terus berjalan dan membangkitkan harapan,
sebuah harapan yang membebaskan kita dari kelembagaan-kelembagaan yang hampa
dan pemaparan-pemaparan yang bersifat umum. Ia mendorong kita untuk masuk
seperti ragi ke tempat kita berada, ke tempat kita tinggal, ke setiap sudut
kehidupan kita sehari-hari. Kerajaan surga ada di antara kalian, Ia berkata
kepada kita. Kerajaan surga ada di mana pun kita berusaha menunjukkan sedikit
kelembutan dan kasih sayang, di mana pun kita tidak takut untuk menciptakan
ruang bagi orang buta supaya dapat melihat, orang lumpuh supaya dapat berjalan,
orang kusta supaya dapat menjadi tahir dan orang tuli supaya dapat mendengar
(bdk. Luk 7:22), sehingga semua orang yang telah kita anggap hilang bisa
menikmati kebangkitan. Allah tidak akan pernah lelah berangkat untuk bertemu
anak-anak-Nya. Bagaimana kita bisa menyalakan harapan jika tidak ada para nabi?
Bagaimana kita menghadapi masa depan jika tidak ada kesatuan? Bagaimana Yesus
sampai ke semua sudut tersebut jika tidak ada saksi-saksi yang berani dan
teguh?
Hari ini Tuhan memanggil kalian masing-masing untuk berjalan bersama-Nya di kota, di kota kalian. Ia mengundang kalian untuk menjadi murid misioner-Nya sehingga kalian bisa menjadi bagian dari bisikan besar itu yang ingin terus bergema di berbagai sudut kehidupan kita: Bersukacitalah, Tuhan besertamu!
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.