Bacaan Ekaristi : Yes 61:1-3a,6a,8b-9; Mzm 89:21-22,25,27; Why 1:5-8; Luk
4:16-21.
Saudara
terkasih, para imam Keuskupan Roma dan keuskupan-keuskupan lainnya di seluruh
dunia!
Ketika
saya sedang membaca teks-teks liturgi hari ini, saya tetap sedang memikirkan
perikop dari Kitab Ulangan : “Sebab bangsa besar manakah yang mempunyai allah
yang demikian dekat kepadanya seperti TUHAN, Allah kita, setiap kali kita
memanggil kepada-Nya?” (4:7). Kedekatan Allah ... kedekatan kerasulan kita.
Dalam
bacaan dari kitab nabi Yesaya, kita merenungkan Hamba Tuhan, “yang diurapi dan
diutus” di antara umat-Nya, dekat dengan orang-orang miskin, orang-orang sakit,
para tawanan ... dan Roh yang “ada padanya”, yang menguatkan dan menyertai dia
dalam perjalanannya.
Dalam
Mazmur 89, kita melihat bagaimana kedekatan Allah, yang menuntun Raja Daud
dengan tangan-Nya ketika ia masih muda, dan menopangnya ketika ia bertambah
tua, mengambil nama kesetiaan : kedekatan yang dipertahankan sepanjang waktu
disebut kesetiaan.
Kitab Wahyu membawa kita dekat dengan Tuhan yang “datang” - Erchómenos - secara pribadi. Kata-kata “setiap mata akan melihat Dia, juga mereka yang telah menikam Dia” membuat kita menyadari bahwa luka-luka Tuhan yang bangkit selalu kasat mata. Tuhan selalu datang kepada kita, jika kita memilih untuk mendekat, sebagai “sesama”, kepada tubuh semua orang yang menderita, terutama anak-anak.
Pada jantung Injil hari ini, kita melihat Tuhan melalui mata umat-Nya sendiri, yang "tertuju kepada-Nya" (Luk 4:20). Yesus berdiri untuk membaca di rumah ibadat-Nya di Nazaret. Ia diberi gulungan kitab nabi Yesaya. Ia membuka gulungan tersebut sampai Ia menemukan, mendekati akhir, nas tentang Hamba Tuhan. Ia membacanya dengan lantang : “Roh Tuhan ALLAH ada padaku, oleh karena TUHAN telah mengurapi aku …” (Yes 61:1). Dan Ia mengakhiri dengan menantang para pendengar-Nya untuk mengenali kedekatan yang terkandung dalam kata-kata itu : “Pada hari ini genaplah nas ini sewaktu kamu mendengarnya" (Luk 4:21).
Yesus
menemukan nas tersebut dan membacanya dengan kemahiran seorang yang terpelajar.
Ia bisa saja menjadi seorang yang terpelajar atau seorang ahli Taurat, tetapi
Ia ingin menjadi seorang “penginjil”, seorang pengkhotbah jalanan, “pembawa
kabar penuh sukacita” bagi umat-Nya, pengkhotbah yang kakinya indah, seperti
dikatakan nabi Yesaya.
Inilah
pilihan Allah yang luar biasa : Tuhan memilih untuk dekat dengan umat-Nya. Tiga
puluh tahun kehidupan yang tersembunyi! Baru kemudian Ia memulai berkhotbah. Di
sini kita melihat pedagogi penjelmaan, sebuah pedagogi inkulturasi, tidak hanya
dalam budaya asing tetapi juga di paroki-paroki kita sendiri, dalam budaya baru
kaum muda ...
Kedekatan
lebih daripada nama keutamaan tertentu; kedekatan adalah sikap yang melibatkan
seluruh pribadi, cara kita berhubungan, cara kita memperhatikan diri kita
sendiri dan orang lain ... Ketika orang-orang mengatakan tentang seorang imam,
“ia dekat dengan kita”, mereka biasanya memaksudkan dua hal. Yang pertama yakni
"ia selalu ada di sana" (sebagai lawan dari tidak pernah ada di sana
: dalam hal itu, mereka selalu memulai dengan mengatakan, "Pastor, saya
tahu Anda sangat sibuk ..."). Yang kedua yakni ia memiliki sebuah kata
untuk setiap orang. "Ia berbicara kepada semua orang", mereka
mengatakan, dengan orang dewasa maupun anak-anak, dengan orang-orang miskin,
dengan orang-orang yang tidak percaya ... Para imam yang "dekat",
tersedia, para imam yang hadir di sana untuk umat, yang berbicara kepada setiap
orang ... para imam jalanan .
Salah seorang dari mereka yang belajar dari Yesus bagaimana menjadi seorang pengkhotbah jalanan adalah Filipus. Dalam Kisah Para Rasul kita membaca bahwa ia melakukan penginjilan di semua kota dan bahwa mereka dipenuhi dengan sukacita (bdk. 8:4,5-8). Filipus adalah salah seorang dari mereka yang dapat "ditangkap" Roh Kudus setiap saat dan membuatnya keluar untuk menginjili, bergerak dari satu tempat ke tempat lain, seseorang yang bahkan mampu membaptis orang-orang dengan itikad baik, seperti pejabat istana Ratu Etiopia, dan melakukannya di sana di pinggir jalan (bdk. Kis 8:5.36-40).
Kedekatan
sangat penting bagi seorang penginjil karena kedekatan adalah sikap kunci dalam
Injil (Tuhan mempergunakannya untuk menggambarkan Kerajaan-Nya). Kita bisa
yakin bahwa kedekatan adalah kunci terhadap kerahiman, karena kerahiman
bukanlah kerahiman, kecuali, seperti orang Samaria yang baik, ia menemukan cara
untuk mempersingkat jarak. Tetapi saya juga berpikir kita perlu sungguh lebih
menyadari bahwa kedekatan juga merupakan kunci terhadap kebenaran. Dapatkah
jarak benar-benar dipersingkat ketika kebenaran diperhatikan? Ya, jarak bisa
dipersingkat. Karena kebenaran bukan hanya ketentuan dari berbagai situasi dan
berbagai hal dari jarak tertentu, dengan penalaran yang abstrak dan masuk akal.
Kebenaran lebih daripada itu. Kebenaran juga merupakan kesetiaan (émeth).
Kebenaran membuat kalian menamai orang-orang dengan nama asli mereka, seperti
Tuhan menamai mereka, sebelum mengelompokkan mereka atau menetapkan
"situasi mereka".
Kita harus berhati-hati agar tidak jatuh ke dalam pencobaan membuat berhala-berhala kebenaran abstrak tertentu. Berhala-berhala bisa menjadi idola yang nyaman, selalu mudah dijangkau; berhala-berhala menawarkan gengsi dan kuasa tertentu dan sulit untuk dipahami. Karena "kebenaran-idola" meniru, ia memunculkan dirinya sendiri dalam kata-kata Injil, tetapi tidak membiarkan kata-kata tersebut menjamah hati. Jauh lebih buruk, ia menjauhkan orang-orang biasa dari kedekatan sabda dan sakramen-sakramen Yesus yang menyembuhkan.
Di sini, marilah kita berpaling kepada Maria, Bunda para imam. Kita bisa memanggilnya sebagai "Bunda Kedekatan". “Sebagai ibu sejati, Maria berjalan di sisi kita, ia ikut berjuang bersama kita dan ia terus-menerus menemani kita dengan kasih Allah”, sedemikian rupa sehingga tak seorang pun merasa ditinggalkan (Evangelii Gaudium, 286). Bunda kita tidak hanya dekat ketika ia pergi ke luar "dengan bergegas-gegas" untuk melayani, yang merupakan salah satu sarana kedekatan, tetapi juga dengan caranya mengungkapkan dirinya (Evangelii Gaudium, 288). Pada saat yang tepat di Kana, nada yang dikatakannya kepada para pelayan, “Apa yang dikatakan kepadamu, buatlah itu!", akan menjadikan kata-kata itu model keibuan dari seluruh bahasa gerejani. Tetapi untuk mengucapkan kata-kata seperti yang ia ucapkan, kita tidak boleh hanya memohonkan kepadanya rahmat untuk melakukannya, tetapi juga hadir di mana pun hal-hal penting "diramu" : hal-hal penting dari setiap hati, setiap keluarga, setiap budaya. Hanya melalui kedekatan semacam ini kita dapat membedakan mana anggur yang luput, dan apa anggur terbaik yang Tuhan ingin sediakan.
Saya menyarankan agar kalian merenungkan tiga wilayah kedekatan imamat di mana kata-kata, "Lakukan segala sesuatu yang Yesus katakan kepadamu", perlu didengar - dalam seribu cara yang berbeda tetapi dengan nada bicara keibuan yang sama - di dalam hati semua orang yang berbicara dengan kita. Kata-kata itu adalah "pendampingan rohani", "pengakuan dosa" dan "berkhotbah".
Kedekatan dalam percakapan rohani. Marilah kita renungkan hal ini dengan mempertimbangkan perjumpaan Tuhan dengan perempuan Samaria. Tuhan mengajarinya untuk membedakan dulu cara beribadat, dalam roh dan dalam kebenaran. Kemudian, Ia dengan lembut membantunya untuk mengakui dosanya. Akhirnya, Ia menjangkitinya dengan semangat misionernya dan pergi bersamanya untuk menginjili desanya. Tuhan memberi kita teladan percakapan rohani; Ia tahu bagaimana membawa dosa perempuan Samaria untuk menerangi tanpa bayang-bayangnya doa penyembahannya atau menimbulkan keraguan atas panggilan misioner perempuan Samaria tersebut.
Kedekatan dalam pengakuan dosa. Marilah kita merenungkan hal ini dengan mempertimbangkan perikop perempuan yang kedapatan berzinah. Jelaslah bahwa di sini kedekatan adalah segalanya, karena kebenaran Yesus selalu mendekati dan dapat diucapkan secara langsung. Melihat orang lain di mata, seperti Tuhan, yang, setelah berlutut di sebelah perempuan yang kedapatan berzinah yang akan dirajam, berdiri dan berkata kepadanya, "Aku pun tidak menghukum engkau” (Yoh. 8:11). Ini bukanlah pelanggaran hukum. Kita juga dapat menambahkan, "Pergilah dan jangan berbuat dosa lagi", bukan dengan nada kebenaran yang legalistik sebagai definisi - nada orang-orang yang merasa bahwa mereka harus menentukan tolak ukur kerahiman ilahi. Sebaliknya, kata-kata itu harus diucapkan dengan nada kebenaran sebagai kesetiaan, memungkinkan orang berdosa melihat ke depan dan bukan ke belakang. Nada yang tepat dari kata-kata "jangan berbuat dosa lagi" terlihat dalam diri peniten yang mengatakan kata-kata tersebut dan berkehendak mengulangi kata-kata tersebut tujuh puluh kali tujuh kali.
Akhirnya, kedekatan dalam berkhotbah. Marilah kita merenungkan hal ini dengan memikirkan mereka yang jauh, dan mendengarkan khotbah pertama Petrus, yang merupakan bagian dari peristiwa Pentakosta. Petrus menyatakan bahwa sabda itu adalah "bagi orang yang masih jauh" (Kis. 2:39), dan ia berkhotbah dengan cara sedemikian rupa sehingga mereka "terpangkas hati" oleh kerygma, yang membuat mereka bertanya: "Apakah yang harus kami perbuat?" (Kis. 2:37). Sebuah pertanyaan, seperti yang kami katakan, kita harus selalu bangkit dan menjawab dengan nada Maria dan gerejani. Homili adalah alat ukur “untuk menilai kedekatan dan kemampuan seorang imam untuk berkomunikasi dengan umatnya” (Evangelii Gaudium, 135). Dalam homili, kita dapat melihat betapa dekatnya kita dengan Allah dalam doa dan berapa dekatnya kita dengan umat kita dalam kehidupan mereka sehari-hari.
Kabar
baik hadir ketika dua bentuk kedekatan ini saling memelihara dan mendukung.
Jika kalian merasa jauh dari Allah, mendekatlah kepada umat kalian, yang akan
menyembuhkan kalian dari ideologi-ideologi yang mendinginkan semangat kalian.
Orang-orang kecil akan mengajari kalian untuk melihat Yesus dengan berbagai
cara. Karena di mata mereka, pribadi Yesus bersifat menarik, teladan-Nya yang
baik memiliki otoritas moral, ajaran-ajaran-Nya sangat membantu cara kita
menjalani kehidupan kita. Jika kalian merasa jauh dari umat, dekatilah Tuhan
dan sabda-Nya : di dalam Injil, Yesus akan mengajarkan kalian cara-Nya
memandang umat, dan setiap orang yang Ia curahkan darah-Nya di kayu salib
betapa berharga di mata-Nya. Dalam kedekatan dengan Allah, Sabda akan menjadi
daging di dalam diri kalian dan kalian akan menjadi seorang imam yang dekat
dengan seluruh tubuh. Melalui kedekatan kalian dengan umat Allah, tubuh mereka
yang sedang menderita akan berbicara kepada hati kalian dan kalian akan
tergerak untuk berbicara kepada Allah. Kalian akan sekali lagi menjadi seorang
imam yang mengantarai.
Seorang imam yang dekat dengan umatnya berjalan di antara mereka dengan kedekatan dan kelembutan seorang gembala yang baik; dalam menggembalakan mereka, ia kadang-kadang berjalan di depan mereka, kadang-kadang tetap di tengah-tengah mereka dan pada waktu lain berjalan di belakang mereka. Orang-orang tidak hanya menghargai seorang imam seperti itu; bahkan lebih, mereka merasa bahwa ada sesuatu yang istimewa tentang dirinya : sesuatu yang hanya mereka rasakan di hadapan Yesus. Itulah sebabnya membedakan kedekatan kita dengan mereka bukan hanya satu hal lain yang harus dilakukan. Di dalamnya, kita juga menghadirkan Yesus dalam kehidupan umat manusia atau membiarkan-Nya tetap pada taraf gagasan-gagasan, huruf-huruf pada sebuah halaman, penjelmaan paling-paling dalam beberapa kebiasaan baik secara bertahap menjadi rutinitas.
Marilah kita mohon kepada Maria, “Bunda Kedekatan” untuk membawa kita semakin dekat satu sama lain, dan, ketika kita perlu memberitahu umat kita untuk “melakukan segala yang Yesus katakan kepada mereka”, berbicara dengan satu nada suara, sehingga dalam keragaman pendapat kita, kedekatan keibuannya bisa hadir. Karena dialah orang yang, oleh "ya"-nya, telah membawa kita dekat dengan Yesus selamanya.
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.