Bacaan
Ekaristi : Kis. 9:1-20; Mzm. 117:1,2; Yoh. 6:52-59.
Bacaan-bacaan
yang kita dengar menyajikan dua unsur utama kehidupan kristiani : Roti dan
Sabda.
Roti. Roti adalah makanan penting untuk hidup dan Yesus dalam Injil menawarkan diri-Nya kepada kita sebagai Roti hidup, seolah-olah memberi tahu kita: "Kamu tidak dapat hidup tanpa Aku". Dan Ia menggunakan ungkapan yang kuat : “makan daging Putra Manusia dan minum darah-Nya” (bdk. Yoh 6:53). Apa artinya? Bagi hidup kita, masuk ke dalam hubungan pribadi yang hayati dengan-Nya adalah penting. Daging dan darah. Ekaristi adalah ini : bukan ritus yang indah, tetapi persekutuan yang paling intim, paling nyata, dan paling mengejutkan yang dapat dibayangkan bersama Allah : persekutuan kasih yang begitu nyata sehingga persekutuan tersebut membutuhkan bentuk makan. Kehidupan kristiani dimulai setiap kali dari sini, dari meja ini, di mana Allah memuaskan kita dengan kasih. Tanpa Dia, Roti hidup, setiap upaya dalam Gereja sia-sia, seperti diingatkan Don Tonino Bello : “Karya-karya amal tidaklah cukup, jika tidak ada karya amal. Jika tidak ada kasih yang daripadanya karya-karya bertolak, jika tidak ada sumbernya, jika tidak ada titik awal yakni Ekaristi kurang, pelaksanaan pastoral hanyalah pengadukan berbagai hal”.[1]
Yesus dalam Injil menambahkan, ”Barangsiapa yang memakan Aku, akan hidup oleh Aku” (ayat 57). Seolah-olah mengatakan: barangsiapa yang memakan Ekaristi berbaur dengan mentalitas yang sama dari Tuhan. Dialah Roti yang dipecah-pecahkan untuk kita, dan yang menerimanya pada gilirannya menjadi roti yang dipecah-pecahkan, yang tidak muncul bersamaan dengan kebanggaan, tetapi memberikan dirinya bagi orang lain: ia berhenti hidup untuk dirinya sendiri, untuk keberhasilannya sendiri, memiliki sesuatu atau menjadi seseorang, tetapi ia hidup untuk Yesus dan seperti Yesus, hidup untuk orang lain. Hidup adalah tanda dari mereka yang memakan Roti ini, “ciri khas” orang kristiani. Hidup. Hidup bisa ditampilkan sebagai peringatan di luar gereja mana pun : “Setelah Misa kita tidak lagi hidup untuk diri sendiri tetapi untuk orang lain”. Ada baiknya jika, di keuskupan Don Tonino Bello ini, ada pemberitahuan ini di pintu Gereja, untuk dibaca oleh semua orang : “Setelah Misa kita tidak lagi hidup untuk diri sendiri tetapi untuk orang lain”. Don Tonino hidup seperti ini : di antara kalian ada seorang Uskup-pelayan, seorang gembala yang menjadi suatu umat, yang di depan Tabernakel belajar untuk membiarkan dirinya dikonsumsi oleh umat tersebut. Ia memimpikan sebuah Gereja yang haus akan Yesus dan tidak bertoleransi terhadap seluruh keduniawian, sebuah Gereja yang “tahu bagaimana menyadari tubuh Kristus dalam tabernakel kesengsaraan, penderitaan, kesepian yang tidak menyenangkan”[2]. Karena, katanya, “Ekaristi tidak mentoleransi kesesaatan” dan tanpa meninggalkan meja menyisakan “sakramen yang belum selesai”[3]. Kita dapat bertanya kepada diri kita : apakah Sakramen ini terwujud dalam diriku? Secara semakin nyata : Apakah aku seperti dilayani di meja oleh Tuhan, atau apakah aku bangun untuk melayani seperti Tuhan? Apakah dalam kehidupan aku memberikan apa yang aku terima dalam Misa? Dan sebagai sebuah Gereja, kita dapat bertanya kepada diri kita : setelah begitu banyak Komuni, apakah kita telah menjadi umat persekutuan?
Roti
Hidup, Roti yang dipecah-pecahkan memang juga Roti perdamaian. Don Tonino
menuntut agar “perdamaian tidak datang ketika kita hanya mengambil roti kita
dan pergi untuk menyantapnya sendirian. […] Perdamaian adalah sesuatu yang
lebih dari itu: perdamaian adalah kesantunan”. Perdamaian adalah “makan roti
bersama dengan orang lain, tanpa memisahkan diri, duduk di meja di antara
bermacam-macam orang”, di mana “orang lain adalah sebuah wajah yang harus
diketemukan, direnungkan, dibelai”[4].
Karena perseteruan-perseteruan dan seluruh peperangan “menemukan akar mereka
dalam memudarnya wajah”[5].
Dan kita, yang berbagi roti persatuan dan perdamaian ini, dipanggil untuk
mengasihi setiap wajah, menampung setiap air mata; menjadi, selalu dan di mana
saja, para pembangun perdamaian.
Bersama-sama dengan Roti, Sabda. Injil melaporkan diskusi sengit tentang kata-kata Yesus : "Bagaimana Ia ini dapat memberikan daging-Nya kepada kita untuk dimakan" (ayat 52). Ada udara beraliran kekalahan dalam kata-kata ini. Begitu banyak kata menyerupai kata-kata ini : bagaimana Injil dapat memecahkan masalah dunia? Apa gunanya berbuat baik di tengah-tengah begitu banyak kejahatan? Maka kita jatuh ke dalam kesalahan orang-orang itu, dilumpuhkan dengan mendiskusikan kata-kata Yesus, ketimbang siap sedia untuk menyambut perubahan kehidupan yang diminta oleh-Nya. Mereka tidak mengerti bahwa sabda Yesus berjalan dalam kehidupan, bukan duduk dan berbicara tentang apa yang baik dan apa yang tidak. Don Tonino, persisnya pada Paskah, ingin menyambut kehidupan baru ini, akhirnya beralih dari perkataan ke perbuatan. Karena itu dengan tulus ia memberi nasihat kepada mereka yang tidak memiliki keberanian untuk berubah : “Para pakar kebingungan. Para pemerhati akuntansi akuntansi pro dan kontra. Para juru hitung, yang melakukan kewaspadaan maksimum sebelum bergerak”[6]. Yesus tidak ditanggapi menurut perhitungan dan kemudahan saat itu; Ia ditanggapi dengan "ya" seluruh kehidupan kita. Ia tidak mencari permenungan kita, tetapi pertobatan kita. Ia mengarah pada hati.
Yang menyarankannya adalah Sabda Allah yang sama. Dalam Bacaan Pertama (Kis. 9:1-20), Yesus yang bangkit beralih kepada Saulus dan tidak menawarkan kepadanya pemikiran yang tak kentara, tetapi memintanya untuk mempertaruhkan nyawanya. Ia berkata kepadanya: “Tetapi bangunlah dan pergilah ke dalam kota, di sana akan dikatakan kepadamu, apa yang harus kauperbuat" (Kis. 9:6). Pertama-tama: "Bangunlah". Hal pertama yang harus dihindari adalah tetap terpaku, mendapati kehidupan, dicekam rasa takut. Berapa kali Don Tonino mengulangi : "Berdirilah!", karena "tidak layak tetap berdiri di hadapan Yesus yang bangkit selain daripada kakimu"[7]. Selalu berdiri, menengadah, karena rasul Yesus tidak dapat bertahan dengan kepuasan-kepuasan kecil.
Tuhan lalu mengatakan kepada Saulus : "Pergilah ke dalam kota". Juga kepada kita masing-masing, Ia berkata: "Pergilah, jangan tetap tertutup dalam ruang-ruangmu yang menentramkan, ambil resiko!". "Beresiko!" Kehidupan kristiani harus diinvestasikan untuk Yesus dan dihabiskan untuk orang lain. Setelah bertemu dengan Yesus yang bangkit, kita tidak bisa menunggu, kita tidak dapat menundanya; kita harus pergi, pergi keluar, terlepas dari semua masalah dan ketidakpastian. Sebagai contoh, kita melihat Saulus yang, setelah berbicara dengan Yesus, meskipun buta, bangun dan pergi ke kota. Kita melihat Ananias, yang meskipun takut dan ragu-ragu, mengatakan: “Inilah aku, Tuhan!” (ayat 10) dan segera pergi kepada Saulus. Kita semua dipanggil, dalam situasi apa pun kita menemukan diri kita, menjadi para pembawa harapan Paskah, “Orang-orang Kirene yang bersukacita”, seperti kata Don Tonino; para pelayan dunia, tetapi dibangkitkan, tidak dipekerjakan. Tanpa pernah menyusahkan diri kita, tanpa pernah mengundurkan diri kita. Menjadi "para pengantar harapan", para penyalur aleluia.Paskah yang sederhana dan penuh sukacita sangat menyenangkan.
Akhirnya Yesus berkata kepada Saulus: "Akan dikatakan kepadamu, apa yang harus kauperbuat". Saulus, seorang yang berketetapan dan diteguhkan, diam dan pergi, patuh pada sabda Yesus. Ia menerima untuk patuh, ia menjadi sabar, ia mengerti bahwa kehidupannya tidak lagi bergantung padanya. Ia belajar kerendahan hati. Karena rendah hati bukan berarti malu atau habis, tetapi patuh kepada Allah dan mengosongkan diri. Kemudian, bahkan kehinaan, seperti yang dialami oleh Saulus di tanah di jalan menuju Damaskus, menjadi nasib baik, karena kehinaan menghapus anggapan-anggapan dan membiarkan Allah membangunkan kembali. Dan sabda Allah melakukan hal ini: sabda Allah membebaskan, membangkitkan, dan membuat kita terus berjalan, rendah hati dan berani pada saat yang bersamaan. Sabda Allah tidak menempatkan kita sebagai para pelaku utama dan para juara kepiawaian kita sendiri, tidak, tetapi saksi-saksi Yesus yang sejati, yang wafat dan bangkit lagi, di dunia.
Saudara-saudari
terkasih, di setiap Misa kita makan Roti Hidup dan Sabda yang menyelamatkan :
marilah kita menghidupkan apa yang kita rayakan! Dengan cara ini, seperti Don
Tonino, kita akan menjadi sumber harapan, sukacita, dan perdamaian.
[1]«Configurati
a Cristo capo e sacerdote», Cirenei della gioia, (“Dipersatukan serupa dengan
Kristus, kepala dan imam”, Orang-orang Kirene yang Bersukacita) 2004, 54-55.
[2]«Sono
credibili le nostre Eucarestie?», Articoli, corrispondenze, lettere
("Apakah Ekaristi kita dapat dipercaya?", Artikel-artikel, surat
menyurat, surat-surat) 2003, 236.
[4]«La
non violenza dalam una società violenta», Scritti di pace, (“Antikekerasan
dalam masyarakat yang penuh kekerasan”, Tulisan-tulisan perdamaian) 1997,
66-67.
[5]«La
pace come ricerca del volto», Omelie e scritti quaresimali, (“Perdamaian
sebagai pencarian wajah”, Homili-homili dan Tulisan-tulisan Masa Prapaskah),
1994, 317.
[6]«Lievito vecchio e pasta nuova», Vegliare nella notte (“Ragi lama dan
adonan baru”, berjaga-jaga di malam hari), 1995, 91.
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.