Sungguh, kita dapat mengatakan bahwa apa yang dikatakan Santo Lukas kepada kita
di awal kitab Kisah Para Rasul sedang diulangi di sini hari ini : kita
bergabung bersama-sama dalam doa, dalam kolega Maria, Bunda kita (bdk. Kis
1:14). Hari ini kita mengkhususkan tema lawatan ini untuk kita :
“Perlihatkanlah dirimu sebagai Bunda!”. Perlihatkanlah kepada kami, Bunda, di
mana engkau terus melantunkan Magnificat-mu. Perlihatkanlah kepada kami
tempat-tempat di mana Putramu disalibkan, agar kami dapat menjumpai kehadiranmu
yang terus menerus di kaki salib.
Injil
Yohanes berbicara tentang hanya dua saat ketika kehidupan Yesus bertemu dengan
kehidupan bunda-Nya : pesta perkawinan di Kana (bdk. Yoh 2:1-12) dan kisah yang
baru saja kita baca, di mana Maria berdiri di bawah salib (bdk. Yoh 19:25-27).
Mungkin Penginjil ingin memperlihatkan kepada kita Bunda Yesus dalam dua
situasi yang tampaknya berlawanan dalam kehidupan ini - sukacita pesta
perkawinan dan dukacita atas kematian seorang anak. Dalam pemahamannya yang sedang
bertumbuh akan misteri Sabda, Maria menunjukkan kepada kita Kabar Baik yang
ingin dibagikan Tuhan kepada kita hari ini.
Hal
pertama yang disebutkan Yohanes yakni Maria “berdiri di dekat salib Yesus”,
dekat dengan Putranya. Ia berdiri di sana, di kaki salib, dengan keyakinan yang
teguh, tak kenal takut dan tak tergoyahkan. Inilah jalan utama yang
diperlihatkan Maria sendiri - ia berdiri di dekat orang-orang yang menderita,
orang-orang yang melarikan diri dari dunia, termasuk orang-orang yang telah disengsarakan,
dikutuk oleh semua orang, dideportasi. Juga bukan hanya orang-orang tertindas
atau diperlakukan sewenang-wenang; orang-orang yang benar-benar berada "di
luar sistem", benar-benar di pinggiran-pinggiran masyarakat (bdk.
Evangelii Gaudium, 53). Sang Bunda juga berdiri dekat mereka, teguh di bawah
salib ketidakpahaman dan penderitaan mereka.
Maria
juga memperlihatkan kepada kita bagaimana "berdiri dekat"
situasi-situasi ini; menuntut lebih dari sekadar lewat atau membuat lawatan
singkat, terlibat dalam semacam "pariwisata kesetiakawanan".
Sebaliknya, "berdiri dekat" situasi-situasi ini berarti bahwa
orang-orang yang berada dalam situasi-situasi yang menyakitkan harus merasakan
kita berdiri teguh di samping mereka dan di pihak mereka. Semua orang yang
tercampakkan oleh masyarakat dapat mengalami Sang Bunda yang tetap diam di
dekat mereka, karena dalam penderitaan mereka ia melihat luka-luka yang
menganga dari Yesus Putranya. Ia belajar hal ini di kaki salib. Kita juga
dipanggil untuk "menyentuh" penderitaan orang lain. Marilah kita
pergi keluar untuk bertemu dengan rakyat kita, menghibur mereka dan menemani
mereka. Janganlah kita takut untuk mengalami kekuatan kelembutan, untuk
terlibat dan membiarkan hidup kita menjadi rumit demi orang lain (bdk. Evangelii
Gaudium, 270). Seperti Maria, marilah kita tetap teguh, hati kita damai di
dalam Allah. Marilah kita selalu siap untuk mengangkat orang-orang yang jatuh,
membangkitkan orang-orang yang hina dan membantu mengakhiri seluruh situasi
penindasan yang membuat orang-orang merasa disalibkan.
Yesus meminta Maria untuk menerima sang murid terkasih sebagai putranya. Teks tersebut mengatakan kepada kita bahwa mereka berdiri bersama-sama di kaki salib, tetapi Yesus menyadari bahwa hal ini tidak memadai, bahwa mereka belum sepenuhnya saling "menerima". Karena kita dapat berdiri di samping banyak orang, bahkan berbagi rumah, lingkungan atau tempat kerja yang sama; kita dapat berbagi iman, merenungkan dan mengalami misteri-misteri yang sama, tetapi tanpa merangkul atau benar-benar “menerima” mereka dengan kasih. Berapa banyak pasangan suami istri dapat berbicara tentang hidup berdampingan, tetapi tidak bersama-sama; berapa banyak kaum muda yang merasa sedih oleh jarak yang memisahkan mereka dari orang-orang dewasa; berapa banyak orangtua merasa dibiarkan, bahkan tidak dirawat dan diterima dengan penuh kasih sayang.
Tentu saja, ketika kita membuka diri terhadap orang lain, kita bisa terluka parah. Dalam kehidupan politik, juga, pertikaian-pertikaian masa lalu di antara orang-orang dapat secara menyakitkan muncul ke permukaan. Maria memperlihatkan diri sebagai perempuan yang terbuka terhadap pengampunan, mengesampingkan kekesalan dan kecurigaan. Ia tidak memikirkan “apa yang mungkin terjadi”, mendapati sahabat-sahabat Putranya, atau para imam dari umat-Nya dan para penguasa mereka bertindak berbeda. Ia tidak menyerah pada rasa frustrasi atau ketidakberdayaan. Maria mempercayai Yesus dan menerima murid-Nya, karena hubungan yang menyembuhkan kita dan membebaskan kita adalah hal-hal yang membuka diri kita untuk berjumpa dan bersaudara dengan orang lain, yang di dalamnya kita menemukan Allah sendiri (bdk. Evangelii Gaudium, 92). Uskup Sloskans, yang beristirahat di sini, setelah ditangkap dan diturunkan jabatannya, menulis surat kepada kedua orangtuanya : “Aku mohon dari lubuk hatiku : jangan biarkan dendam atau kemarahan menemukan jalan menuju hatimu. Jika kita mengizinkan hal itu terjadi, kita tidak akan menjadi umat Kristen yang sesungguhnya, tetapi umat Kristiani yang fanatik”. Terkadang kita melihat kembali ke cara berpikir yang membuat kita curiga terhadap orang lain, atau akan memperlihatkan kepada kita dengan statistik bahwa kita akan menjadi lebih baik, lebih sejahtera dan lebih aman hanya oleh diri kita sendiri. Pada waktu itu, Maria dan para murid dari negeri-negeri ini mengundang kita untuk “menerima” saudara-saudari kita, peduli terhadap mereka, dalam semangat persaudaraan sejagat.
Maria juga memperlihatkan dirinya sebagai perempuan yang berkeinginan diterima, yang dengan rendah hati membiarkan dirinya menjadi bagian dunia para murid. Pada pesta perkawinan, ketika kekurangan anggur mungkin telah meninggalkan perayaan yang penuh dengan ritual tersebut terkuras kasih dan sukacita, ia memerintahkan para pelayan untuk melakukan apa yang dikatakan Yesus kepada mereka (bdk. Yoh 2:5). Sekarang, sebagai seorang murid yang taat, ia bersedia menerima, berjalan bersama, kecepatan seseorang yang lebih muda dari dirinya. Kerukunan selalu sulit ketika kita berbeda, ketika perbedaan usia, pengalaman hidup dan keadaan membawa kita untuk merasakan, berpikir dan bertindak dengan cara-cara yang, pada pandangan pertama, tampak bertentangan. Ketika, dalam iman, kita mendengarkan perintah untuk menerima dan diterima, membangun kesatuan dalam keragaman menjadi mungkin, karena perbedaan tidak mengekang atau memisahkan kita, tetapi memungkinkan kita untuk melihat lebih dalam dan melihat orang lain dalam martabat mereka yang paling mendalam, sebagai putra dan putri dari Bapa yang sama (bdk. Evangelii Gaudium, 228).
Dalam Ekaristi ini, seperti dalam setiap Ekaristi, kita mengingat saat Golgota. Dari kaki salib, Maria mengundang kita untuk bersukacita bahwa kita telah diterima sebagai putra dan putrinya, bahkan seperti Yesus Putranya mengundang kita untuk menerimanya di dalam rumah-rumah kita sendiri dan menjadikannya bagian dari kehidupan kita. Maria ingin memberi kita keberaniannya agar kita juga bisa tetap teguh, dan kerendahan hatinya, sehingga, seperti dia, kita dapat beradaptasi dengan apa pun yang dibawa kehidupan. Dalam hal ini, tempat suciya, ia memohon agar kita semua dapat bertekad kembali untuk saling menerima tanpa diskriminasi. Dengan cara ini, seluruh orang di Latvia dapat memahami bahwa kita berkehendak untuk memperlihatkan pilihan terhadap orang-orang miskin, membangkitkan orang-orang yang telah jatuh, dan menerima orang lain begitu mereka datang, apa adanya.
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.