Bacaan Ekaristi : Ayb. 38:1,12-21;39:36-38; Mzm. 139:1-3,7-8,9-10,
13-14ab; Luk. 10:13-16.
Dalam homilinya pada Misa harian Jumat pagi 5 Oktober 2018 di Casa Santa
Marta, Vatikan, Paus Fransiskus mengulas Bacaan Injil hari itu (Luk 10:13-16),
di mana Yesus menegur orang-orang Betsaida, Khorazim, dan Kapernaum, yang
menolak untuk percaya kepada-Nya meskipun telah melihat mukjizat-mukjizat yang
Ia lakukan. Bapa Suci mengajak kita semua untuk melakukan pemeriksaan hati
nurani.
Kita yang terlahir dalam sebuah masyarakat kristiani beresiko menjalani
kekristenan kita sebagai "sebuah kebiasaan sosial", secara formal
belaka, dengan "kemunafikan orang-orang benar", yang takut membiarkan
diri mereka dikasihi. Dan ketika Misa berakhir, kita meninggalkan Yesus di
dalam Gereja; Ia tidak bersama-sama kita ketika kita pulang ke rumah, atau
dalam kehidupan sehari-hari. Celakalah kita! Ketika kita melakukan hal ini,
kita mencampakkan Yesus dari hati kita: “Kita adalah orang-orang kristiani,
tetapi kita hidup sebagai orang-orang kafir”.
Yesus sedih karena ditolak, Paus Fransiskus menjelaskan, sementara
kota-kota kafir seperti Tirus dan Sidon, melihat mukjizat-mukjizat-Nya,
"pasti akan percaya". Dan Ia menangis, "karena orang-orang ini
tidak mampu mengasihi", meskipun "Ia ingin menjamah semua hati yang
Ia temui, dengan pesan yang bukan pesan diktator, tetapi pesan kasih”.
Kita, kita masing-masing, dapat menempatkan diri kita di tempat para penghuni ketiga kota ini, Paus Fransiskus mengatakan: “Aku, yang telah menerima begitu banyak dari Tuhan, yang terlahir dalam masyarakat kristiani, yang telah mengenal Yesus Kristus, yang telah mengenal keselamatan”, aku yang terdidik dalam iman. Namun sangat mudah bagiku untuk melupakan Yesus. Di sisi lain, "kita memikirkan berita orang lain, yang, segera setelah mereka mendengar pewartaan Yesus, bertobat dan mengikut Dia". Tetapi kita sudah terbiasa dengannya :
Dan sikap ini berbahaya bagi kita, karena sikap itu mengurangi Injil
menjadi fakta sosial atau sosiologis, ketimbang hubungan pribadi dengan Yesus.
Yesus berbicara kepadaku, Ia berbicara kepadamu, Ia berbicara kepada kita
masing-masing. Pengajaran Yesus dimaksudkan untuk kita masing-masing. Bagaimana
mungkin orang-orang kafir itu, begitu mereka mendengar pewartaan Yesus, pergi
bersama-Nya; dan aku yang lahir di sini, di dalam masyarakat kristiani, telah
menjadi terbiasa dengannya, dan kekristenan telah menjadi seperti kebiasaan
sosial, pakaian yang saya kenakan dan kemudian mengesampingkannya? Dan Yesus
menangisi kita masing-masing ketika kita menjalankan kekristenan kita secara
formal, tidak sungguh-sungguh.
Jika kita melakukan hal ini, Paus Fransiskus berkata, kita sedikit munafik, dengan “kemunafikan orang-orang benar” : ada kemunafikan orang-orang berdosa, tetapi kemunafikan orang-orang benar adalah rasa mengasihi Yesus, takut membiarkan diri kita untuk dikasihi. Dan pada kenyataannya, ketika kita melakukan hal ini, kita mencoba mengendalikan hubungan kita dengan Yesus. [Kita mengatakan kepada-Nya] “Ya, aku pergi ke Misa, tetapi setelah itu Engkau tinggal di Gereja ketika aku pulang”. Dan Yesus tidak pulang bersama kita, tidak datang ke dalam keluarga-keluarga kita, ke dalam pendidikan anak-anak kita, ke dalam sekolah kita, ke dalam lingkungan kita.
Maka Yesus tetap tinggal di dalam Gereja, kata Paus Fransiskus, “atau
pada salib atau kartu suci” : Bagi kita hari ini dapat menjadi hari untuk
melakukan pemeriksaan hati nurani, dengan pengulangan [dari Yesus] ini : "'Celakalah kamu, celakalah kamu', karena Aku telah memberikan kamu
begitu banyak, Aku telah memberikan diri-Ku kepadamu, Aku telah memilihmu
menjadi orang kristiani, dan kamu lebih memilih hidup mendua, kehidupan yang
dangkal : secuil kekristenan dan air suci, tetapi tidak lebih dari itu”. Ketika
kemunafikan kristiani semacam ini dijalani, apa yang akhirnya sedang kita
lakukan adalah mecampakkan Yesus dari kita hati. Kita berpura-pura
memiliki-Nya, tetapi kita telah mengusir-Nya. “Kami adalah orang-orang
kristiani”, [kita mengatakan.] “Kami bangga menjadi orang kristiani”. Tetapi
kita hidup seperti orang-orang kafir.
Kita masing-masing, kata Paus Fransiskus, seharusnya bertanya kepada
diri sendiri : “Apakah aku orang Khorazim? Apakah aku orang Bethsaida? Apakah
aku orang Kapernaum?”. Dan, beliau mengatakan, jika Yesus menangis, kita
seharusnya memohonkan rahmat untuk menangis bersama-Nya, dengan doa ini : “Tuhan,
Engkau telah memberi begitu banyak kepadaku. Hatiku sangat keras sehingga tidak
sudi mengizinkan Engkau masuk. Aku telah berdosa karena tidak mengucap syukur,
aku tidak mengucap syukur”. Dan kemudian, Paus Fransiskus melanjutkan, “Marilah
kita memohon kepada Roh Kudus untuk membuka pintu hati kita, sehingga Yesus
dapat masuk ke dalamnya, sehingga kita tidak hanya mendengar Yesus”, tetapi
benar-benar mendengarkan pesan keselamatan-Nya, dan “bersyukur atas semua hal
baik yang telah Ia lakukan terhadap kita masing-masing”.
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.