Liturgical Calendar

HOMILI PAUS FRANSISKUS DALAM MISA DI STADION PANGERAN MOULAY ABDELLAH, RABAT (MAROKO) 31 Maret 2019

Bacaan Ekaristi : Yos. 5:9a,10-12; Mzm. 34:2-3,4-5,6-7; 2Kor. 5:17-21; Luk. 15:1-3,11-32.

"Ketika ia masih jauh, ayahnya telah melihatnya, lalu tergeraklah hatinya oleh belas kasihan. Ayahnya itu berlari mendapatkan dia lalu merangkul dan mencium dia” (Luk 15:20).

Di sini Injil membawa kita ke inti perumpamaan, menunjukkan tanggapan sang ayah ketika melihat kepulangan anaknya. Sangat tergerak hatinya, ia berlari untuk menemuinya bahkan sebelum ia sampai ke rumah. Seorang anak yang sudah lama ditunggu-tunggu. Seorang ayah yang bersukacita melihatnya pulang.


Berlarinya si ayah bukanlah satu-satunya saat. Sukacitanya tidak akan lengkap tanpa kehadiran anaknya yang lain. Ia kemudian keluar untuk mendapatinya dan mengajaknya untuk bergabung dalam pesta (bdk. ayat 28). Namun si sulung tampak kesal dengan pesta kepulangan tersebut. Ia mendapati sukacita ayahnya sulit terenyahkan; ia tidak mengakui kepulangan adiknya : "anak bapa", ia memanggilnya (ayat 30). Baginya, adiknya masih hilang, karena ia sudah kehilangan adiknya di dalam hatinya.

Karena keengganannya untuk ambil bagian dalam perayaan itu, si sulung tidak hanya gagal untuk mengenali si bungsu, tetapi juga ayahnya. Ia lebih suka menjadi anak yatim ketimbang menjadi kakak. Ia lebih menyukai keterasingan ketimbang perjumpaan, kegetiran ketimbang bersukacita. Bukan saja ia tidak dapat memahami atau mengampuni adiknya, ia tidak dapat menerima seorang ayah yang mampu mengampuni, mau menunggu dengan sabar, percaya dan terus mencari, jangan sampai ada orang yang tertinggal. Singkatnya, seorang ayah yang mampu berbelas kasih.

Di ambang pintu rumah itu, sesuatu misteri kemanusiaan kita muncul. Di satu sisi, perayaan untuk si anak yang hilang dan ditemukan; di sisi lain, perasaan pengkhianatan dan kemarahan atas perayaan yang menandai kepulangan si bungsu. Di satu sisi, penyambutan yang diberikan kepada si bungsu yang telah mengalami kesengsaraan dan penderitaan, bahkan sampai pada kerinduan untuk memakan sekam yang dilemparkan ke babi; di sisi lain, kejengkelan dan kemarahan atas pelukan yang diberikan kepada orang yang telah membuktikan dirinya sangat tidak layak.

Apa yang kembali kita lihat di sini adalah ketegangan yang kita alami di dalam masyarakat kita dan di dalam jemaat kita, dan bahkan di dalam hati kita sendiri. Ketegangan yang mendalam di dalam diri kita sejak zaman Kain dan Habel. Kita dipanggil untuk menghadapinya dan melihatnya apa adanya. Karena kita juga bertanya : "Siapa yang berhak tinggal di antara kita, menempati meja kita dan pertemuan kita, kegiatan dan keprihatinan kita, alun-alun kita dan kota-kota kita?" Pertanyaan sang pembunuh tampaknya terus-menerus berdengung : "Apakah aku penjaga saudaraku?" (bdk. Kej 4:9).

Di ambang pintu rumah itu, kita dapat melihat perpecahan dan perselisihan kita, agresivitas dan pertikaian yang selalu mengintai di pintu berbagai cita-cita tinggi kita, upaya-upaya kita untuk membangun masyarakat persaudaraan, di mana setiap orang bahkan sekarang dapat mengalami martabat menjadi seorang anak.

Namun di ambang pintu rumah itu, kita juga akan melihat dengan jelas kejernihannya, tanpa basa-basi, keinginan si ayah agar kedua anaknya ambil bagian dalam sukacitanya. Bahwa tidak seharusnya ada orang yang hidup dalam kondisi yang tidak manusiawi, seperti si bungsu, atau sebagai anak yatim piatu, menyendiri dan getir seperti si sulung. Hatinya menghendaki supaya semua orang diselamatkan dan memperoleh pengetahuan akan kebenaran (1 Tim 2:4).

Memang benar bahwa banyak situasi dapat memicu perpecahan dan pertikaian, sementara situasi lainnya dapat membawa kita pada perseteruan dan pertentangan. Hal itu tidak bisa dipungkiri. Seringkali kita tergoda untuk percaya bahwa kebencian dan balas dendam adalah cara yang sah untuk memastikan keadilan yang cepat dan manjur. Namun pengalaman memberitahu kita bahwa kebencian, perpecahan, dan balas dendam hanya berhasil membunuh jiwa rakyat kita, meracuni harapan anak-anak kita, serta menghancurkan dan mengenyahkan segala yang kita simpan dalam hati.

Maka, Yesus mengundang kita untuk berhenti dan merenungkan hati Bapa kita. Hanya dari sudut pandang itu kita dapat mengakui sekali lagi bahwa kita adalah saudara dan saudari. Hanya terhadap cakrawala yang luas itu kita dapat melampaui cara berpikir kita yang picik dan memecah belah, serta melihat berbagai hal dengan cara yang tidak meremehkan perbedaan-perbedaan kita atas nama kesatuan yang dipaksakan atau peminggiran yang terbungkam. Hanya jika kita dapat menengadah ke surga setiap hari dan mengucapkan doa “Bapa Kami”, maka kita dapat menjadi bagian dari suatu proses yang dapat membuat kita melihat segala sesuatu dengan jelas dan mempertaruhkan hidup bukan lagi sebagai musuh melainkan sebagai saudara dan saudari.

"Segala kepunyaanku adalah kepunyaanmu" (Luk 15:31), kata si ayah kepada si sulung. Ia tidak sedang berbicara banyak tentang kekayaan jasmani, tetapi tentang cinta dan belas kasihan yang ia bagikan. Inilah warisan dan kekayaan terbesar orang Kristiani. Ketimbang mengukur diri atau menggolongkan diri berdasarkan berbagai kriteria moral, sosial, etnis atau agama, kita seharusnya dapat mengenali bahwa ada kriteria lain, kriteria yang tidak dapat dienyahkan atau dihancurkan oleh siapa pun karena kriteria tersebut adalah murni karunia. Kriteria tersebut adalah kesadaran bahwa kita adalah anak-anak yang tercinta, yang dinantikan dan dirayakan oleh Bapa.

"Segala kepunyaanku adalah kepunyaanmu", kata Bapa, termasuk kemampuanku untuk berbelas kasihan. Janganlah kita jatuh ke dalam pencobaan untuk mengurangi fakta bahwa kita adalah anak-anak-Nya menjadi sebuah pertanyaan tentang peraturan dan ketentuan, tugas dan ketaatan. Jatidiri dan perutusan kita tidak akan muncul dari bentuk kesukarelaan, legalisme, relativisme, atau fundamentalisme, tetapi malahan dari menjadi orang percaya yang setiap hari memohon dengan kerendahan hati dan ketekunan: "Datanglah Kerajaan-Mu!".

Perumpamaan dalam Injil meninggalkan kita dengan akhir yang terbuka. Kita melihat si ayah meminta si sulung untuk datang dan ikut serta dalam perayaan belas kasihan. Penulis Injil tidak mengatakan apa pun tentang apa yang diputuskan si sulung. Apakah ia bergabung dalam pesta? Kita dapat membayangkan bahwa akhir yang terbuka ini dimaksudkan untuk ditulis oleh setiap orang dan setiap jemaat. Kita dapat melengkapinya dengan cara kita hidup, cara kita menghargai orang lain, dan bagaimana kita memperlakukan sesama kita. Orang Kristiani tahu bahwa di rumah Bapa ada banyak ruang: satu-satunya yang tetap tinggal di luar adalah orang-orang yang memilih untuk tidak ambil bagian dalam sukacitanya.

Saudara dan saudari yang terkasih, saya ingin mengucapkan terima kasih atas cara kalian memberikan kesaksian tentang Injil kerahiman di negeri ini. Terima kasih atas upaya-upaya kalian untuk menjadikan masing-masing jemaat kalian sebuah oase kerahiman. Saya mendorong kalian untuk terus memperkenankan tumbuhnya budaya kerahiman, sebuah budaya yang di dalamnya tidak ada orang yang memandang orang lain dengan ketidakpedulian, atau mengalihkan pandangannya saat berhadapan dengan orang-orang yang sedang menderita (bdk. Misericordia et Misera, 20). Tetaplah dekat dengan orang-orang kecil dan orang-orang miskin, serta dengan semua orang yang tersingkir, terlantar dan terpinggirkan. Teruslah menjadi tanda pelukan Bapa yang penuh kasih.

Semoga Allah yang Mahapenyayang dan Maharahim - sebagaimana sering kali didoakan oleh saudara-saudari Muslim kita - menguatkan kalian dan menjadikan karya-karya kasih kalian semakin berbuah.

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.