Bacaan
Ekaristi : Yos. 5:9a,10-12; Mzm. 34:2-3,4-5,6-7; 2Kor. 5:17-21; Luk.
15:1-3,11-32.
"Ketika
ia masih jauh, ayahnya telah melihatnya, lalu tergeraklah hatinya oleh belas
kasihan. Ayahnya itu berlari mendapatkan dia lalu merangkul dan mencium dia”
(Luk 15:20).
Di
sini Injil membawa kita ke inti perumpamaan, menunjukkan tanggapan sang ayah
ketika melihat kepulangan anaknya. Sangat tergerak hatinya, ia berlari untuk
menemuinya bahkan sebelum ia sampai ke rumah. Seorang anak yang sudah lama
ditunggu-tunggu. Seorang ayah yang bersukacita melihatnya pulang.
Berlarinya
si ayah bukanlah satu-satunya saat. Sukacitanya tidak akan lengkap tanpa
kehadiran anaknya yang lain. Ia kemudian keluar untuk mendapatinya dan
mengajaknya untuk bergabung dalam pesta (bdk. ayat 28). Namun si sulung tampak
kesal dengan pesta kepulangan tersebut. Ia mendapati sukacita ayahnya sulit
terenyahkan; ia tidak mengakui kepulangan adiknya : "anak bapa", ia
memanggilnya (ayat 30). Baginya, adiknya masih hilang, karena ia sudah
kehilangan adiknya di dalam hatinya.
Karena
keengganannya untuk ambil bagian dalam perayaan itu, si sulung tidak hanya
gagal untuk mengenali si bungsu, tetapi juga ayahnya. Ia lebih suka menjadi
anak yatim ketimbang menjadi kakak. Ia lebih menyukai keterasingan ketimbang
perjumpaan, kegetiran ketimbang bersukacita. Bukan saja ia tidak dapat memahami
atau mengampuni adiknya, ia tidak dapat menerima seorang ayah yang mampu
mengampuni, mau menunggu dengan sabar, percaya dan terus mencari, jangan sampai
ada orang yang tertinggal. Singkatnya, seorang ayah yang mampu berbelas kasih.
Di
ambang pintu rumah itu, sesuatu misteri kemanusiaan kita muncul. Di satu sisi,
perayaan untuk si anak yang hilang dan ditemukan; di sisi lain, perasaan
pengkhianatan dan kemarahan atas perayaan yang menandai kepulangan si bungsu.
Di satu sisi, penyambutan yang diberikan kepada si bungsu yang telah mengalami
kesengsaraan dan penderitaan, bahkan sampai pada kerinduan untuk memakan sekam
yang dilemparkan ke babi; di sisi lain, kejengkelan dan kemarahan atas pelukan
yang diberikan kepada orang yang telah membuktikan dirinya sangat tidak layak.
Apa
yang kembali kita lihat di sini adalah ketegangan yang kita alami di dalam
masyarakat kita dan di dalam jemaat kita, dan bahkan di dalam hati kita
sendiri. Ketegangan yang mendalam di dalam diri kita sejak zaman Kain dan
Habel. Kita dipanggil untuk menghadapinya dan melihatnya apa adanya. Karena
kita juga bertanya : "Siapa yang berhak tinggal di antara kita, menempati
meja kita dan pertemuan kita, kegiatan dan keprihatinan kita, alun-alun kita dan kota-kota kita?" Pertanyaan sang pembunuh tampaknya terus-menerus berdengung : "Apakah aku penjaga saudaraku?" (bdk. Kej 4:9).
Di
ambang pintu rumah itu, kita dapat melihat perpecahan dan perselisihan kita,
agresivitas dan pertikaian yang selalu mengintai di pintu berbagai cita-cita
tinggi kita, upaya-upaya kita untuk membangun masyarakat persaudaraan, di mana
setiap orang bahkan sekarang dapat mengalami martabat menjadi seorang anak.
Namun
di ambang pintu rumah itu, kita juga akan melihat dengan jelas kejernihannya,
tanpa basa-basi, keinginan si ayah agar kedua anaknya ambil bagian dalam
sukacitanya. Bahwa tidak seharusnya ada orang yang hidup dalam kondisi yang
tidak manusiawi, seperti si bungsu, atau sebagai anak yatim piatu, menyendiri
dan getir seperti si sulung. Hatinya menghendaki supaya semua orang
diselamatkan dan memperoleh pengetahuan akan kebenaran (1 Tim 2:4).
Memang
benar bahwa banyak situasi dapat memicu perpecahan dan pertikaian, sementara
situasi lainnya dapat membawa kita pada perseteruan dan pertentangan. Hal itu
tidak bisa dipungkiri. Seringkali kita tergoda untuk percaya bahwa kebencian
dan balas dendam adalah cara yang sah untuk memastikan keadilan yang cepat dan
manjur. Namun pengalaman memberitahu kita bahwa kebencian, perpecahan, dan
balas dendam hanya berhasil membunuh jiwa rakyat kita, meracuni harapan
anak-anak kita, serta menghancurkan dan mengenyahkan segala yang kita simpan
dalam hati.
Maka,
Yesus mengundang kita untuk berhenti dan merenungkan hati Bapa kita. Hanya dari
sudut pandang itu kita dapat mengakui sekali lagi bahwa kita adalah saudara dan
saudari. Hanya terhadap cakrawala yang luas itu kita dapat melampaui cara
berpikir kita yang picik dan memecah belah, serta melihat berbagai hal dengan
cara yang tidak meremehkan perbedaan-perbedaan kita atas nama kesatuan yang
dipaksakan atau peminggiran yang terbungkam. Hanya jika kita dapat menengadah
ke surga setiap hari dan mengucapkan doa “Bapa Kami”, maka kita dapat menjadi
bagian dari suatu proses yang dapat membuat kita melihat segala sesuatu dengan
jelas dan mempertaruhkan hidup bukan lagi sebagai musuh melainkan sebagai
saudara dan saudari.
"Segala
kepunyaanku adalah kepunyaanmu" (Luk 15:31), kata si ayah kepada si
sulung. Ia tidak sedang berbicara banyak tentang kekayaan jasmani, tetapi
tentang cinta dan belas kasihan yang ia bagikan. Inilah warisan dan kekayaan
terbesar orang Kristiani. Ketimbang mengukur diri atau menggolongkan diri
berdasarkan berbagai kriteria moral, sosial, etnis atau agama, kita seharusnya
dapat mengenali bahwa ada kriteria lain, kriteria yang tidak dapat dienyahkan
atau dihancurkan oleh siapa pun karena kriteria tersebut adalah murni karunia.
Kriteria tersebut adalah kesadaran bahwa kita adalah anak-anak yang tercinta,
yang dinantikan dan dirayakan oleh Bapa.
"Segala
kepunyaanku adalah kepunyaanmu", kata Bapa, termasuk kemampuanku untuk
berbelas kasihan. Janganlah kita jatuh ke dalam pencobaan untuk mengurangi
fakta bahwa kita adalah anak-anak-Nya menjadi sebuah pertanyaan tentang
peraturan dan ketentuan, tugas dan ketaatan. Jatidiri dan perutusan kita tidak
akan muncul dari bentuk kesukarelaan, legalisme, relativisme, atau
fundamentalisme, tetapi malahan dari menjadi orang percaya yang setiap hari
memohon dengan kerendahan hati dan ketekunan: "Datanglah
Kerajaan-Mu!".
Perumpamaan
dalam Injil meninggalkan kita dengan akhir yang terbuka. Kita melihat si ayah
meminta si sulung untuk datang dan ikut serta dalam perayaan belas kasihan.
Penulis Injil tidak mengatakan apa pun tentang apa yang diputuskan si sulung.
Apakah ia bergabung dalam pesta? Kita dapat membayangkan bahwa akhir yang
terbuka ini dimaksudkan untuk ditulis oleh setiap orang dan setiap jemaat. Kita
dapat melengkapinya dengan cara kita hidup, cara kita menghargai orang lain,
dan bagaimana kita memperlakukan sesama kita. Orang Kristiani tahu bahwa di
rumah Bapa ada banyak ruang: satu-satunya yang tetap tinggal di luar adalah
orang-orang yang memilih untuk tidak ambil bagian dalam sukacitanya.
Saudara
dan saudari yang terkasih, saya ingin mengucapkan terima kasih atas cara kalian
memberikan kesaksian tentang Injil kerahiman di negeri ini. Terima kasih atas
upaya-upaya kalian untuk menjadikan masing-masing jemaat kalian sebuah oase
kerahiman. Saya mendorong kalian untuk terus memperkenankan tumbuhnya budaya
kerahiman, sebuah budaya yang di dalamnya tidak ada orang yang memandang orang
lain dengan ketidakpedulian, atau mengalihkan pandangannya saat berhadapan
dengan orang-orang yang sedang menderita (bdk. Misericordia et Misera, 20).
Tetaplah dekat dengan orang-orang kecil dan orang-orang miskin, serta dengan
semua orang yang tersingkir, terlantar dan terpinggirkan. Teruslah menjadi
tanda pelukan Bapa yang penuh kasih.
Semoga
Allah yang Mahapenyayang dan Maharahim - sebagaimana sering kali didoakan oleh
saudara-saudari Muslim kita - menguatkan kalian dan menjadikan karya-karya
kasih kalian semakin berbuah.
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.