Bacaan Ekaristi :
Kis. 15:7-21; Mzm. 96:1-2a,2b-3,10; Yoh. 15:9-11.
Dalam Bacaan Pertama
hari ini yang diambil dari Kisah Para Rasul (15:7-21), sabda Allah menceritakan
pertemuan besar pertama dalam sejarah Gereja. Situasi yang tidak terduga sedang
diperlihatkan : orang-orang kafir sedang datang kepada iman. Dan muncul sebuah
pertanyaan : haruskah mereka juga menyesuaikan diri, seperti yang lainnya,
dengan seluruh aturan Hukum yang lama? Suatu keputusan yang sulit diambil, dan
Tuhan tidak lagi hadir. Kita mungkin
bertanya-tanya, mengapa Yesus tidak meninggalkan saran untuk setidaknya
menyelesaikan "diskusi besar" pertama ini (Kis. 15:7)? Sedikit
petunjuk bagi para Rasul sudah mencukupi, yang selama bertahun-tahun
bersama-Nya setiap hari. Mengapa Yesus tidak selalu memberikan aturan yang
jelas dan cepat dalam menentukan?
Di sinilah godaan efisiensi
yang berlebihan, godaan memikirkan Gereja baik-baik saja jika dalam Gereja
segalanya terkendali, jika Gereja hidup tanpa goncangan, dengan agenda yang
selalu teratur. Namun, Tuhan tidak berlanjut dengan cara ini. Faktanya, Ia
tidak mengirimkan jawaban dari Surga; Ia mengutus Roh Kudus. Dan Roh Kudus
tidak datang membawa tatanan hari; Ia datang dengan api. Yesus tidak ingin
Gereja menjadi model kecil yang sempurna, berkenan dengan organisasinya dan
mampu mempertahankan nama baiknya. Yesus tidak hidup seperti itu tetapi, di
jalan, tanpa takut akan sentakan kehidupan. Injil adalah program kehidupan
kita. Injil mengajarkan kita bahwa berbagai pertanyaan tidak ditujukan dengan
resep yang jadi dan iman bukanlah sebuah jadwal, tetapi sebuah ‘Jalan” (Kis
9:2), untuk diikuti bersama, selalu bersama, dengan semangat kepercayaan. Dari
kisah dalam Kisah Para Rasul kita mempelajari tiga unsur penting untuk Gereja
di jalan : kerendahan hati untuk mendengarkan, karisma keseluruhan, keberanian untuk
melepaskan diri.
Kita mulai dari yang
terakhir, dari keberanian untuk melepaskan diri. Keberhasilan diskusi besar itu
bukan untuk memaksakan sesuatu yang baru, tetapi meninggalkan sesuatu yang
lama. Namun, umat Kristen perdana tersebut tidak meninggalkan hal apa pun : ada
hubungannya dengan tradisi dan ajaran keagamaan yang penting, yang dihargai
oleh umat pilihan. Yang dipertaruhkan
adalah jatidiri keagamaan mereka. Namun, mereka memilih agar pewartaan Tuhan
didahulukan dan lebih bernilai di atas segalanya. Demi kebaikan perutusan,
mewartakan kepada masing-masing orang secara terus terang dan dapat dipercaya,
bahwa Allah mencintai keyakinan dan tradisi manusia tersebut, yang lebih
merupakan penghalang daripada pertolongan, dapat dan harus juga ditinggalkan.
Kita bersama-sama juga butuh untuk menemukan kembali keindahan, keindahan
pelepasan diri, pertama-tama dari diri kita sendiri. Santo Petrus mengatakan
bahwa Tuhan “menyucikan hati oleh iman” (bdk. Kis 15:9). Tuhan menyucikan,
menyederhanakan, sering membuat kita tumbuh dengan membawa, tidak menambahkan,
seperti yang akan kita lakukan. Iman sejati menyucikan dari keterikatan. Untuk
mengikuti Tuhan, perlu berjalan cepat dan, berjalan cepat, perlu untuk
meringankan diri, bahkan jika itu membutuhkan biaya. Sebagai Gereja, kita tidak
dipanggil menuju kompromi bisnis, tetapi menuju lompatan injili. Dan, dalam
menyucikan diri, dalam mereformasi diri, kita harus menghindari menghias
etalase, yaitu berpura-pura mengubah sesuatu tetapi pada kenyataannya, tidak
ada yang berubah. Hal ini terjadi, misalnya, ketika, berusaha selaras dengan
waktu kita menyentuh permukaan benda, tetapi hanya merias agar tampak muda.
Tuhan tidak menginginkan penyesuaian yang bersifat kosmetik; Ia menginginkan
pertobatan hati, melalui pelepasan diri. Reformasi pada dasarnya adalah keluar
dari diri sendiri.
Marilah kita lihat
bagaimana nasib umat Kristen perdana. Mereka tiba pada keberanian untuk
melepaskan diri dimulai dari kerendahan hati untuk mendengarkan. Mereka melatih
diri dalam ketidakpedulian terhadap diri sendiri : kita melihat bahwa
masing-masing orang membiarkan yang lain berbicara dan siap untuk mengubah
keyakinannya sendiri. Hanya orang yang membiarkan suara orang lain benar-benar
memasuki dirinya yang dapat mendengarkan. Dan ketika minat pada orang lain
tumbuh, ketidakpedulian terhadap diri meningkat; kita menjadi rendah hati
mengikuti jalan mendengarkan, yang menahan diri dari keinginan untuk menegaskan
diri sendiri, bersikeras mengemukakan gagasan sendiri, untuk mencari
kesepakatan bersama dengan cara apapun. Kerendahan hati lahir ketika, alih-alih
berbicara, kita mendengarkan, ketika kita berhenti berada di tengah. Kemudian
kerendahan hati tumbuh melalui kehinaan. Inilah jalan pelayanan yang rendah
hati, yang diikuti oleh Yesus. Dengan jalan amal inilah Roh Kudus turun dan
mengarahkan. Bagi orang yang ingin mengikuti jalan amal, jalan kerendahan hati,
dan jalan mendengarkan berarti telinganya <terbuka> untuk orang-orang
kecil. Marilah kita melihat kembali pada umat Kristen perdana : mereka semua
diam untuk mendengarkan Paulus dan Barnabas. Mereka adalah orang-orang yang
terakhir tiba, tetapi mereka membiarkan Paulus dan Barnabas merujuk pada semua
yang telah dicapai Allah melalui mereka berdua (bdk. ayat 12). Mendengarkan
suara semua orang, terutama orang-orang kecil dan orang-orang yang terlantar,
selalu penting. Dunia yang memiliki lebih banyak sarana berbicara lebih banyak,
tetapi di antara kita tidak mungkin begitu, karena Allah suka mengungkapkan
diri-Nya melalui orang-orang kecil dan orang-orang yang terlantar. Dan Ia
meminta kita masing-masing untuk tidak melihat siapa pun dari atas ke bawah.
Dan, akhirnya,
mendengarkan kehidupan : Paulus dan Barnabas menceritakan pengalaman, bukan
gagasan. Beginilah jalan kearifan Gereja : bukan di depan komputer, tetapi di
depan kenyataan pribadi. Pribadi-pribadi di depan sebuah program, dengan
penampilan sederhana yang mampu melihat kehadiran orang lain di depan orang
lain, yang tidak berdiam dalam kebesaran dari apa yang kita lakukan, tetapi
dalam kesederhanaan orang-orang miskin yang kita jumpai. Jika kita tidak
melihatnya secara langsung, kita akhirnya akan selalu melihat diri kita, dan
menjadikan mereka alat untuk menegaskan diri kita.
Dari kerendahan
hati untuk mendengarkan menuju keberanian untuk melepaskan diri, semuanya
melalui karisma keseluruhan. Bahkan, dalam diskusi Gereja perdana, kesatuan
selalu mengatasi perbedaan. Bagi masing-masing orang, pilihan dan strategi tidak
mendapat tempat pertama, melainkan menjadi dan merasakan diri sebagai Gereja
Yesus, berkumpul di sekitar Petrus, dalam amal yang tidak menciptakan
keseragaman tetapi persekutuan. Tak seorang pun yang tahu segalanya, tak seorang
pun yang memiliki seluruh karisma, tetapi masing-masing orang berpegang pada
karisma keseluruhan. Hal ini penting, karena kebaikan tidak dapat benar-benar
dilakukan tanpa saling mengasihi. Apa rahasia umat Kristen itu? Mereka memiliki
beragam kepekaan dan pedoman; bahkan ada kepribadian yang kuat, tetapi ada
kekuatan saling mengasihi dalam Tuhan. Kita melihatnya dalam Yakobus yang, pada
saat melukiskan kesimpulan, menyampaikan beberapa katanya sendiri dan mengutip
banyak sekali sabda Allah (bdk. ayat 16-18). Ia membiarkan sabda itu berbicara.
Sementara suara iblis dan suara dunia menyebabkan perpecahan, suara Sang
Gembala yang baik membentuk satu kawanan semata. Dengan demikian, komunitas
berlandaskan sabda Allah dan tinggal dalam kasih-Nya.
"Tinggallah di
dalam kasih-Ku" (Yoh 15:9) : itulah yang diminta Yesus dalam Injil.
Bagaimana hal ini dilakukan? Berada dekat dengan-Nya, Roti yang
dipecah-pecahkan, sangatlah penting. Berada dekat dengan-Nya membantu kita
untuk berada di depan Tabernakel dan di depan banyak tabernakel yang hidup
yakni orang-orang miskin. Ekaristi dan orang miskin, Tabernakel yang tetap dan
tabernakel-tabernakel yang bergerak : di sanalah kita tinggal dalam kasih dan
menyerap mentalitas Roti yang dipecah-pecahkan. Di sanalah kita memahami
"bagaimana" yang dibicarakan Yesus : "Seperti Bapa telah
mengasihi Aku, demikianlah juga Aku telah mengasihi kamu" (Yoh 15:9). Dan
bagaimana Bapa mengasihi Yesus? Memberikan segalanya kepada-Nya, tidak
menyimpan apa pun untuk diri-Nya sendiri. Kita mengucapkannya dalam Syahadat :
“Allah dari Allah, terang dari terang”, Ia telah memberikan segalanya
kepada-Nya. Sebaliknya, ketika kita menahan diri dari memberi, ketika
kepentingan kita untuk mempertahankan berada di tempat pertama, kita tidak
meneladan jalan Allah, kita bukan Gereja yang bebas dan sedang memerdekakan. Yesus
meminta agar kita tinggal di dalam Dia, bukan dalam gagasan kita; keluar dari
kepura-puraan mengendalikan dan mengelola, Ia meminta untuk mempercayai orang
lain dan memberikan diri kita kepada orang lain. Marilah kita memohon kepada
Tuhan untuk membebaskan kita dari efisiensi yang berlebihan, dari keduniawian,
dari godaan halus memuja diri kita dan keberanian kita; marilah kita memohonkan
rahmat untuk mengambil jalan yang ditunjukkan oleh sabda Allah : kerendahan
hati, persekutuan, pelepasan diri.
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.