Liturgical Calendar

HOMILI PAUS FRANSISKUS DALAM MISA HARI ORANG MISKIN SEDUNIA (HARI MINGGU BIASA XXXIII) DI BASILIKA SANTO PETRUS (VATIKAN) 17 November 2019


Bacaan Ekaristi : Mal. 4:1-2a; Mzm. 98:5-6,7-8,9a,9bc; 2Tes. 3:7-12; Luk. 21:5-19.

Dalam Bacaan Injil hari ini (Luk. 21:5-19), Yesus mengejutkan orang-orang sezamannya dan kita. Sementara semua orang mengagumi Bait Allah yang megah di Yerusalem, Yesus memberitahu mereka bahwa tidak ada "satu batu" pun akan dibiarkan terletak "di atas batu yang lain" (Luk 21:6). Mengapa Ia mengucapkan perkataan tentang lembaga yang begitu sakral ini, yang bukan hanya bangunan tetapi lambang keagamaan yang unik, rumah Allah dan umat beriman? Mengapa Ia menubuatkan kepastian teguhnya umat Allah akan runtuh? Mengapa, pada akhirnya, Tuhan membiarkan kepastian kita runtuh, ketika dunia kita memiliki semakin sedikit kepastian?


Marilah kita mencari jawabannya dalam perkataan Yesus. Ia memberitahu kita bahwa hampir semuanya akan berlalu. Hampir semuanya, tetapi tidak semuanya. Sebagai kelanjutan Bacaan Injil Hari Minggu Biasa XXXII, Ia menjelaskan bahwa apa yang akan runtuh dan lenyap adalah hal-hal kedua dari belakang, bukan yang paling utama : Bait Allah, bukan Allah; kerajaan dan peristiwa manusia, bukan umat manusia itu sendiri. Hal-hal kedua dari belakang, yang sering tampak pasti tetapi ternyata tidak, akan berlalu. Hal-hal kedua dari belakang adalah kenyataan-kenyataan yang dahsyat seperti Bait Allah kita, dan kenyataan-kenyataan yang menakutkan seperti gempa bumi; kenyataan-kenyataan tersebut adalah tanda-tanda di surga dan peperangan di bumi (bdk. ayat 10-11). Bagi kita, inilah berita halaman depan, tetapi Tuhan menempatkannya di halaman kedua. Yang tidak akan pernah lenyap tetap ada di halaman depan : Allah yang hidup, jauh lebih besar daripada Bait Allah apa pun yang kita bangun untuk-Nya, dan pribadi manusia, sesama kita, yang bernilai lebih dari semua laporan berita dunia. Jadi, untuk membantu kita menyadari apa yang benar-benar penting dalam hidup, Yesus memperingatkan kita tentang dua pencobaan.

Pencobaan yang pertama adalah pencobaan ketergesa-gesaan, pencobaan sekarang juga. Bagi Yesus, kita tidak boleh mengikuti orang-orang yang memberitahu kita bahwa kesudahan akan segera tiba, bahwa “saatnya sudah dekat” (ayat 8). Artinya, kita tidak boleh mengikuti para pemberi alarm yang menyulut ketakutan orang lain dan masa depan, karena ketakutan melumpuhkan hati dan pikiran. Namun seberapa sering kita membiarkan diri kita tergoda oleh keinginan panik untuk mengetahui segalanya sekarang juga, oleh rasa ingin tahu, oleh berita sensasional atau skandal terbaru, oleh kisah-kisah yang menyeramkan, oleh pekikan orang-orang yang berteriak paling keras dan paling murka, oleh orang-orang yang memberitahu kita "sekarang atau tidak pernah". Ketergesa-gesaan ini, segalanya sekarang juga ini, tidak berasal dari Allah. Jika kita memikirkan tentang sekarang juga, kita melupakan apa yang tetap selamanya : kita mengikuti awan yang berlalu dan tidak melihat langit. Tertarik oleh teriakan terakhir, kita tidak lagi menemukan waktu untuk Allah atau untuk saudara dan saudari kita yang tinggal di pintu sebelah. Hari ini alangkah benarnya hal ini! Dalam hiruk-pikuk berlari, mencapai segalanya sekarang juga, siapa pun yang tertinggal dipandang sebagai gangguan. Dan dianggap sekali pakai. Berapa banyak lansia, bayi yang belum lahir, cacat, dan miskin dianggap tidak berguna. Kita pergi dengan tergesa-gesa, tanpa khawatir kesenjangan meningkat, di mana keserakahan segelintir orang sedang menambah kemiskinan banyak orang lainnya.

Sebagai penawar ketergesa-gesaan, hari ini Yesus mengusulkan ketekunan kepada kita masing-masing. “Kalau kamu tetap bertahan, kamu akan memperoleh hidupmu” (ayat 19). Ketekunan berupa setiap hari melangkah maju dengan mata kita tertuju pada apa yang tidak berlalu : Tuhan dan sesama kita. Inilah sebabnya mengapa ketekunan adalah karunia Allah yang memelihara semua karunia lainnya (bdk. SANTO AGUSTINUS, De Dono Perseverantiae, 2.4). Marilah kita mohon agar kita masing-masing, dan kita semua sebagai Gereja, dapat bertahan dalam kebaikan dan tidak melupakan apa yang benar-benar penting.

Ada khayalan kedua bahwa Yesus ingin menyelamatkan kita. Ia mengatakan, "Sebab banyak orang akan datang dengan memakai nama-Ku dan berkata : Akulah Dia. Janganlah kamu mengikuti mereka (ayat 8). Itu adalah pencobaan mementingkan diri sendiri, karena kita tidak mencari sekarang juga, tetapi mencari yang kekal, tidak peduli dengan diriku tetapi dengan dirimu. Umat kristiani, yaitu, jangan mengikuti senandung tingkah mereka yang menggoda, melainkan panggilan kasih, suara Yesus. Bagaimana membedakan suara Yesus? "Banyak orang akan datang dengan memakai nama-Ku", kata Tuhan, tetapi mereka tidak boleh diikuti : memakai label "kristiani" atau "Katolik" tidaklah cukup untuk menjadi milik Yesus. Kita perlu berbicara bahasa yang sama dengan Yesus : bahasa kasih, bahasa dirimu. Orang-orang yang berbicara dalam bahasa Yesus bukanlah orang-orang yang mengatakan aku, tetapi mereka yang keluar dari diri mereka sendiri. Namun seberapa sering, bahkan ketika kita berbuat baik, kemunafikan diri mengambil alih? Aku berbuat baik sehingga aku bisa dianggap baik; aku memberi agar menerima pada gilirannya; aku menawarkan bantuan agar aku dapat memenangkan persahabatan dari beberapa orang penting. Itulah bagaimana bahasa diri berbicara. Namun, sabda Allah mendorong kita kepada “kasih yang tidak berpura-pura” (Rm. 12:9), memberikan kepada orang-orang yang tidak dapat membayar kita (bdk. Luk 14:14), melayani orang lain tanpa mencari imbalan apa pun (bdk. Luk 6:35). Jadi, marilah kita bertanya kepada diri kita sendiri : “Apakah aku membantu seseorang yang tidak memiliki apa pun untuk diberikan kepadaku sebagai imbalan? Apakah aku, seorang kristiani, memiliki setidaknya satu orang miskin sebagai sahabat?”.

Kaum miskin berharga di mata Allah karena mereka tidak berbicara bahasa diri : mereka tidak menghidupi diri mereka sendiri, dengan kekuatan mereka sendiri; mereka membutuhkan seseorang untuk memegang mereka. Kaum miskin mengingatkan kita bagaimana kita seharusnya melaksanakan Injil : seperti para pengemis yang menjangkau Allah. Kehadiran kaum miskin membuat kita menghirup udara segar Injil, tempat orang yang miskin di hadapan Allah berbahagia (bdk. Mat 5:3). Alih-alih merasa kesal ketika mereka mengetuk pintu kita, marilah kita menyambut jeritan mereka untuk meminta bantuan sebagai panggilan keluar dari diri kita sendiri, menyambut mereka dengan tatapan penuh kasih dari Allah sendiri. Alangkah indahnya jika di dalam hati kita kaum miskin dapat menempati tempat yang mereka miliki di dalam hati Allah! Berdiri bersama kaum miskin, melayani kaum miskin, kita melihat hal-hal seperti yang dilakukan Yesus; kita melihat apa yang tetap dan apa yang berlalu.

Marilah kita kembali ke pertanyaan awal kita. Di tengah begitu banyak kenyataan yang berlalu dan kedua dari belakang, hari ini Tuhan ingin mengingatkan kita tentang apa yang terutama, apa yang akan tetap selamanya. Apa yang terutama, apa yang akan tetap selamanya adalah kasih, karena “Allah adalah kasih” (1 Yoh 4:8). Kaum miskin yang meminta kasihku menuntunku langsung kepada Allah. Kaum miskin memfasilitasi akses kita ke surga : inilah sebabnya perasaan iman umat Allah memandang mereka sebagai para penjaga gerbang surga. Bahkan sekarang, mereka adalah harta kita, harta Gereja. Karena kaum miskin mengungkapkan kepada kita kekayaan yang tidak pernah menua, yang mempersatukan surga dan bumi, kekayaan yang karenanya hidup benar-benar layak untuk dijalani : kekayaan kasih.

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.