Bacaan
Ekaristi : Mal. 4:1-2a; Mzm. 98:5-6,7-8,9a,9bc; 2Tes. 3:7-12; Luk. 21:5-19.
Dalam
Bacaan Injil hari ini (Luk. 21:5-19), Yesus mengejutkan orang-orang sezamannya
dan kita. Sementara semua orang mengagumi Bait Allah yang megah di Yerusalem,
Yesus memberitahu mereka bahwa tidak ada "satu batu" pun akan
dibiarkan terletak "di atas batu yang lain" (Luk 21:6). Mengapa Ia
mengucapkan perkataan tentang lembaga yang begitu sakral ini, yang bukan hanya
bangunan tetapi lambang keagamaan yang unik, rumah Allah dan umat beriman?
Mengapa Ia menubuatkan kepastian teguhnya umat Allah akan runtuh? Mengapa, pada
akhirnya, Tuhan membiarkan kepastian kita runtuh, ketika dunia kita memiliki
semakin sedikit kepastian?
Marilah
kita mencari jawabannya dalam perkataan Yesus. Ia memberitahu kita bahwa hampir
semuanya akan berlalu. Hampir semuanya, tetapi tidak semuanya. Sebagai
kelanjutan Bacaan Injil Hari Minggu Biasa XXXII, Ia menjelaskan bahwa apa yang
akan runtuh dan lenyap adalah hal-hal kedua dari belakang, bukan yang paling
utama : Bait Allah, bukan Allah; kerajaan dan peristiwa manusia, bukan umat
manusia itu sendiri. Hal-hal kedua dari belakang, yang sering tampak pasti
tetapi ternyata tidak, akan berlalu. Hal-hal kedua dari belakang adalah
kenyataan-kenyataan yang dahsyat seperti Bait Allah kita, dan
kenyataan-kenyataan yang menakutkan seperti gempa bumi; kenyataan-kenyataan
tersebut adalah tanda-tanda di surga dan peperangan di bumi (bdk. ayat 10-11).
Bagi kita, inilah berita halaman depan, tetapi Tuhan menempatkannya di halaman
kedua. Yang tidak akan pernah lenyap tetap ada di halaman depan : Allah yang
hidup, jauh lebih besar daripada Bait Allah apa pun yang kita bangun untuk-Nya,
dan pribadi manusia, sesama kita, yang bernilai lebih dari semua laporan berita
dunia. Jadi, untuk membantu kita menyadari apa yang benar-benar penting dalam
hidup, Yesus memperingatkan kita tentang dua pencobaan.
Pencobaan
yang pertama adalah pencobaan ketergesa-gesaan, pencobaan sekarang juga. Bagi
Yesus, kita tidak boleh mengikuti orang-orang yang memberitahu kita bahwa
kesudahan akan segera tiba, bahwa “saatnya sudah dekat” (ayat 8). Artinya, kita
tidak boleh mengikuti para pemberi alarm yang menyulut ketakutan orang lain dan
masa depan, karena ketakutan melumpuhkan hati dan pikiran. Namun seberapa
sering kita membiarkan diri kita tergoda oleh keinginan panik untuk mengetahui
segalanya sekarang juga, oleh rasa ingin tahu, oleh berita sensasional atau
skandal terbaru, oleh kisah-kisah yang menyeramkan, oleh pekikan orang-orang
yang berteriak paling keras dan paling murka, oleh orang-orang yang memberitahu
kita "sekarang atau tidak pernah". Ketergesa-gesaan ini, segalanya
sekarang juga ini, tidak berasal dari Allah. Jika kita memikirkan tentang
sekarang juga, kita melupakan apa yang tetap selamanya : kita mengikuti awan
yang berlalu dan tidak melihat langit. Tertarik oleh teriakan terakhir, kita
tidak lagi menemukan waktu untuk Allah atau untuk saudara dan saudari kita yang
tinggal di pintu sebelah. Hari ini alangkah benarnya hal ini! Dalam hiruk-pikuk
berlari, mencapai segalanya sekarang juga, siapa pun yang tertinggal dipandang
sebagai gangguan. Dan dianggap sekali pakai. Berapa banyak lansia, bayi yang
belum lahir, cacat, dan miskin dianggap tidak berguna. Kita pergi dengan
tergesa-gesa, tanpa khawatir kesenjangan meningkat, di mana keserakahan
segelintir orang sedang menambah kemiskinan banyak orang lainnya.
Sebagai
penawar ketergesa-gesaan, hari ini Yesus mengusulkan ketekunan kepada kita
masing-masing. “Kalau kamu tetap bertahan, kamu akan memperoleh hidupmu” (ayat
19). Ketekunan berupa setiap hari melangkah maju dengan mata kita tertuju pada
apa yang tidak berlalu : Tuhan dan sesama kita. Inilah sebabnya mengapa
ketekunan adalah karunia Allah yang memelihara semua karunia lainnya (bdk.
SANTO AGUSTINUS, De Dono Perseverantiae, 2.4). Marilah kita mohon agar kita
masing-masing, dan kita semua sebagai Gereja, dapat bertahan dalam kebaikan dan
tidak melupakan apa yang benar-benar penting.
Ada
khayalan kedua bahwa Yesus ingin menyelamatkan kita. Ia mengatakan, "Sebab
banyak orang akan datang dengan memakai nama-Ku dan berkata : Akulah Dia.
Janganlah kamu mengikuti mereka (ayat 8). Itu adalah pencobaan mementingkan
diri sendiri, karena kita tidak mencari sekarang juga, tetapi mencari yang
kekal, tidak peduli dengan diriku tetapi dengan dirimu. Umat kristiani, yaitu,
jangan mengikuti senandung tingkah mereka yang menggoda, melainkan panggilan
kasih, suara Yesus. Bagaimana membedakan suara Yesus? "Banyak orang akan
datang dengan memakai nama-Ku", kata Tuhan, tetapi mereka tidak boleh
diikuti : memakai label "kristiani" atau "Katolik" tidaklah
cukup untuk menjadi milik Yesus. Kita perlu berbicara bahasa yang sama dengan
Yesus : bahasa kasih, bahasa dirimu. Orang-orang yang berbicara dalam bahasa
Yesus bukanlah orang-orang yang mengatakan aku, tetapi mereka yang keluar dari
diri mereka sendiri. Namun seberapa sering, bahkan ketika kita berbuat baik,
kemunafikan diri mengambil alih? Aku berbuat baik sehingga aku bisa dianggap
baik; aku memberi agar menerima pada gilirannya; aku menawarkan bantuan agar
aku dapat memenangkan persahabatan dari beberapa orang penting. Itulah
bagaimana bahasa diri berbicara. Namun, sabda Allah mendorong kita kepada
“kasih yang tidak berpura-pura” (Rm. 12:9), memberikan kepada orang-orang yang
tidak dapat membayar kita (bdk. Luk 14:14), melayani orang lain tanpa mencari
imbalan apa pun (bdk. Luk 6:35). Jadi, marilah kita bertanya kepada diri kita
sendiri : “Apakah aku membantu seseorang yang tidak memiliki apa pun untuk
diberikan kepadaku sebagai imbalan? Apakah aku, seorang kristiani, memiliki
setidaknya satu orang miskin sebagai sahabat?”.
Kaum
miskin berharga di mata Allah karena mereka tidak berbicara bahasa diri :
mereka tidak menghidupi diri mereka sendiri, dengan kekuatan mereka sendiri;
mereka membutuhkan seseorang untuk memegang mereka. Kaum miskin mengingatkan
kita bagaimana kita seharusnya melaksanakan Injil : seperti para pengemis yang
menjangkau Allah. Kehadiran kaum miskin membuat kita menghirup udara segar
Injil, tempat orang yang miskin di hadapan Allah berbahagia (bdk. Mat 5:3).
Alih-alih merasa kesal ketika mereka mengetuk pintu kita, marilah kita
menyambut jeritan mereka untuk meminta bantuan sebagai panggilan keluar dari
diri kita sendiri, menyambut mereka dengan tatapan penuh kasih dari Allah
sendiri. Alangkah indahnya jika di dalam hati kita kaum miskin dapat menempati
tempat yang mereka miliki di dalam hati Allah! Berdiri bersama kaum miskin,
melayani kaum miskin, kita melihat hal-hal seperti yang dilakukan Yesus; kita
melihat apa yang tetap dan apa yang berlalu.
Marilah
kita kembali ke pertanyaan awal kita. Di tengah begitu banyak kenyataan yang
berlalu dan kedua dari belakang, hari ini Tuhan ingin mengingatkan kita tentang
apa yang terutama, apa yang akan tetap selamanya. Apa yang terutama, apa yang
akan tetap selamanya adalah kasih, karena “Allah adalah kasih” (1 Yoh 4:8).
Kaum miskin yang meminta kasihku menuntunku langsung kepada Allah. Kaum miskin
memfasilitasi akses kita ke surga : inilah sebabnya perasaan iman umat Allah
memandang mereka sebagai para penjaga gerbang surga. Bahkan sekarang, mereka
adalah harta kita, harta Gereja. Karena kaum miskin mengungkapkan kepada kita
kekayaan yang tidak pernah menua, yang mempersatukan surga dan bumi, kekayaan
yang karenanya hidup benar-benar layak untuk dijalani : kekayaan kasih.
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.