Bacaan
Ekaristi : Mal. 3:1-4; Mzm. 24:7.8.9.10; Ibr. 2:14-18; Luk. 2:22-40
"Mataku
telah melihat keselamatan yang dari pada-Mu" (Luk 2:30). Inilah kata-kata
Simeon, yang dikemukakan Bacaan Injil sebagai orang yang sederhana : “benar dan saleh”, teks mengatakan (ayat
25). Tetapi di antara semua orang yang ada di Bait Allah pada hari itu, hanya ia
yang melihat Yesus sebagai Sang Juruselamat. Apa yang ia lihat? Seorang Anak :
seorang Anak yang tak berdaya, sederhana, kecil. Tetapi di dalam diri-Nya ia
melihat keselamatan, karena Roh Kudus memperkenankannya untuk mengenali
"Dia yang diurapi Tuhan" (ayat 26) dalam diri Kristus yang baru lahir
dan lembut itu. Sambil menatang-Nya, ia merasakan dengan iman bahwa di dalam
diri-Nya Allah menggenapi janji-Nya. Dan bahwa ia, Simeon, sekarang bisa pergi
dalam damai sejahtera : ia telah melihat rahmat-Nya lebih berharga daripada
hidup (bdk. Mzm 63:4), dan tidak ada lagi yang dinanti.
Kalian
juga, saudara dan saudari para pelaku hidup bakti yang terkasih, kalian adalah
laki-laki dan perempuan yang sederhana yang berhasil melihat harta yang lebih
berharga daripada benda duniawi manapun. Jadi, kalian meninggalkan
barang-barang berharga, seperti harta benda, keluarga kalian sendiri. Mengapa
kalian melakukan hal ini? Karena kalian jatuh cinta pada Yesus, kalian melihat
segala sesuatu di dalam diri-Nya, dan terpesona oleh tatapan-Nya, selebihnya
kalian tinggalkan. Hidup bakti adalah daya lihat ini. Hidup bakti berarti
melihat apa yang benar-benar penting dalam kehidupan. Hidup bakti berarti
menyambut karunia Tuhan dengan tangan terbuka, seperti yang dilakukan Simeon.
Inilah apa yang dilihat oleh mata para pelaku hidup bakti : rahmat Allah
dicurahkan ke tangan mereka. Pelaku hidup bakti adalah orang yang setiap hari
melihat dirinya dan mengataksn : "Segalanya adalah karunia, segalanya
adalah rahmat". Saudara dan saudari yang terkasih, kita tidak berhak
menerima hidup bakti; hidup bakti adalah karunia cinta yang telah kita terima.
Mataku
telah melihat keselamatan yang dari pada-Mu. Inilah kata-kata yang kita ulangi
setiap malam pada Doa Malam. Bersama kata-kata tersebut, kita mengakhiri hari
dengan mengatakan, “Tuhan, keselamatanku berasal daripada-Mu, tanganku tidak
hampa, tetapi penuh dengan rahmat-Mu”. Memahami cara melihat rahmat adalah
titik awal. Menengok ke belakang, membaca ulang sejarah kita dan melihat ada
karunia Allah yang setia : tidak hanya dalam masa-masa agung dalam kehidupan,
tetapi juga dalam kerapuhan dan kelemahan kita, dalam keremehtemehan kita. Sang
penggoda, iblis berfokus pada “kemiskinan” kita, tangan kosong kita : “Selama
bertahun-tahun kamu tidak menjadi lebih baik, kamu belum mencapai apa yang bisa
kamu capai, hal-hal tersebut tidak membiarkan kamu melakukan apa yang kamu
maksudkan, kamu tidak selalu setia, kamu tidak mampu ..." dan seterusnya.
Kita masing-masing sangat mengenal cerita ini dan kata-kata ini. Kita melihat
sebagian hal ini benar, jadi kita kembali ke pikiran dan perasaan yang
membingungkan kita. Oleh karena itu, kita beresiko kehilangan sangkut-paut
kita, kasih Allah yang cuma-cuma. Karena Allah senantiasa mengasihi kita, dan
memberikan diri-Nya kepada kita, bahkan dalam kemiskinan kita. Santo Hieronimus
memberikan banyak kepada Tuhan dan Tuhan meminta semakin banyak. Ia berkata
kepada Tuhan : "Tetapi Tuhan, aku telah memberikan segalanya untuk-Mu,
segalanya, apa lagi yang kurang?". "Dosa-dosamu, kemiskinanmu,
berikanlah kemiskinanmu kepada-Ku". Ketika kita terus menatap-Nya, kita
membuka diri terhadap pengampunan-Nya yang memperbarui diri kita, dan kita
diyakinkan oleh kesetiaan-Nya. Kita dapat menanyakan pada diri kita hari ini :
“Kepada siapakah aku mengalihkan tatapanku : kepada Tuhan, atau kepada diriku
sendiri?”. Barangsiapa mengalami rahmat Allah di atas segalanya, dapat
menemukan penangkal untuk tidak percaya dan melihat berbagai hal secara
duniawi.
Ada
sebuah godaan yang membayangi hidup bakti : melihat segala sesuatu secara
duniawi. Hal ini berarti tidak lagi melihat rahmat Allah sebagai kekuatan
penggerak dalam kehidupan, kemudian pergi mencari sesuatu untuk menggantikannya
: sedikit ketenaran, kasih sayang yang menghibur, akhirnya bisa melakukan apa
yang kuinginkan. Tetapi ketika hidup bakti tidak lagi berputar di sekitar
rahmat Allah, hidup bakti berubah dengan sendirinya. Hidup bakti kehilangan
gairahnya, hidup bakti bertambah kendur, menjadi diam di tempat. Dan kita tahu
apa yang kemudian terjadi : kita mulai menuntut ruang kita, hak kita, kita
membiarkan diri terseret ke dalam pergunjingan dan fitnah, kita tersinggung
pada setiap hal kecil yang tidak sesuai dengan cara kita, dan kita mengeluarkan
curahan litani ratapan - ratapan, "Ratapan Biarawan", "Ratapan
Biarawati" - tentang saudara kita, saudari kita, komunitas, Gereja,
masyarakat kita. Kita tidak lagi melihat Tuhan di dalam segala hal, tetapi
hanya dinamika dunia, dan hati kita mati rasa. Kemudian kita menjadi makhluk
kebiasaan, pragmatis, sementara di dalam diri kita tumbuh kesedihan dan
ketidakpercayaan, yang berubah menjadi sikap menerima nasib. Inilah apa yang
menjadi tujuan dari tatapan duniawi. Santa Teresa yang luar biasa pernah
mengatakan kepada para biarawati : “celakalah biarawati yang mengulangi
kata-kata ini, 'mereka telah memperlakukanku dengan tidak adil', celakalah
dia!".
Memiliki
tatapan yang benar tentang kehidupan, kita mohon untuk dapat memahami rahmat
Allah bagi kita, seperti Simeon. Sebanyak tiga kali Bacaan Injil mengatakan
bahwa ia akrab dengan Roh Kudus, yang ada di atasnya, mengilhaminya,
membangkitkannya (bdk. ayat 25-27). Ia akrab dengan Roh Kudus, dengan kasih
Allah. Jika hidup bakti tetap teguh dalam mengasihi Tuhan, hidup bakti
merasakan keindahan. Hidup bakti melihat bahwa kemiskinan bukanlah beberapa
upaya yang sangat luar biasa melainkan kebebasan yang lebih tinggi yang
diberikan Allah kepada kita dan sesama sebagai kekayaan yang sesungguhnya.
Hidup bakti melihat bahwa kemurnian bukanlah kehidupan tak menikah yang
menegangkan, tetapi cara mengasihi tanpa memiliki. Hidup bakti melihat bahwa
ketaatan bukanlah suatu kedisiplinan, tetapi kemenangan atas carut marut diri
kita, di jalan Yesus. Di salah satu daerah yang terkena dampak gempa bumi di Italia
- berbicara tentang kemiskinan dan kehidupan komunitas - ada sebuah biara
Benediktin yang luluh lantah serta biara lain yang mengundang para biarawati
untuk datang dan tinggal bersama mereka. Tetapi para biarawati hanya sebentar
berada di sana : mereka tidak bahagia, mereka sedang memikirkan biara mereka,
orang-orang di sana. Pada akhirnya, mereka memutuskan untuk kembali ke biara
mereka, yang sekarang menjadi dua buah karavan. Ketimbang tinggal di biara yang
besar dan nyaman ini; di sana mereka seperti lalat, mereka semua bersama-sama,
tetapi bahagia dalam kemiskinan mereka. Hal ini terjadi tahun lalu. Sesuatu
yang indah!
Mataku
telah melihat keselamatan yang dari pada-Mu. Simeon melihat Yesus sebagai orang
yang kecil, rendah hati, yang datang untuk melayani, bukan untuk dilayani, dan
mendefinisikan diri-Nya sebagai hamba. Memang ia mengatakan : "Sekarang,
Tuhan, biarkanlah hamba-Mu ini pergi dalam damai sejahtera" (ayat 29).
Mereka yang melihat segala hal seperti Yesus, belajar bagaimana hidup untuk
melayani. Mereka tidak menunggu orang lain mengambil prakarsa, tetapi mereka
sendiri pergi mencari sesama mereka, seperti Simeon yang mencari Yesus di Bait
Allah. Di manakah sesama dapat ditemukan dalam hidup bakti? Ini pertanyaannya :
Di mana sesama bisa ditemukan? Pertama-tama di dalam komunitas kita. Rahmat
harus dicari untuk mengetahui bagaimana mencari Yesus di dalam saudara dan
saudari yang telah diberikan kepada kita. Dan di situlah kita dapat mulai
melakukan amal kasih : di tempat kalian tinggal, dengan menyambut saudara dan
saudari dalam kemiskinan mereka, seperti Simeon menyambut Yesus yang lemah
lembut dan miskin. Dewasa ini, begitu banyak orang melihat hanya halangan dan
rintangan dalam diri sesama mereka. Kita perlu memiliki tatapan yang mencari
sesama kita, yang membawa mereka yang jauh menjadi semakin dekat. Para pelaku
hidup bakti, yang hidup meneladan Yesus, dipanggil untuk membawa tatapan mereka
ke dunia, tatapan belas kasihan, tatapan yang mencari orang-orang yang jauh;
tatapan yang tidak mengutuk, tetapi mendorong, membebaskan, menghibur; tatapan
belas kasihan. Ungkapan yang terulang dalam Injil itu, yang, berbicara tentang
Yesus, mengatakan : “Ia memiliki belas kasihan”. Inilah pembungkukan Yesus
terhadap diri kita masing-masing.
Mataku
telah melihat keselamatan yang dari pada-Mu. Mata Simeon melihat keselamatan
karena matanya sedang mengharapkan keselamatan (bdk. ayat 25). Mata Simeon
adalah mata yang sedang menanti, penuh pengharapan. Mata Simeon sedang mencari
terang dan kemudian melihat terang bangsa-bangsa (bdk. ayat 32). Mata Simeon adalah
mata usia senja, tetapi membara dengan pengharapan. Tatapan para pelaku hidup
bakti hanya bisa menjadi tatapan pengharapan. Mengetahui bagaimana berharap.
Melihat sekeliling, mudah kehilangan pengharapan : segala hal yang tidak
berhasil, kemerosotan panggilan ... Selalu ada godaan untuk memiliki tatapan
duniawi, tatapan tanpa pengharapan. Tetapi marilah kita melihat Injil serta
melihat Simeon dan Hana : mereka sudah berusia senja, sendirian, namun mereka
tidak kehilangan pengharapan, karena mereka tetap tinggal dalam persekutuan
dengan Tuhan. Hana "tidak pernah meninggalkan Bait Allah dan siang malam
beribadah dengan berpuasa dan berdoa" (ayat 37). Inilah rahasianya : tidak
pernah mengasingkan diri dari Tuhan, yang merupakan sumber pengharapan. Kita
menjadi buta jika kita tidak melihat Tuhan setiap hari, jika kita tidak
menyembah-Nya. Menyembah Tuhan.
Saudara
dan saudari yang terkasih, marilah kita bersyukur kepada Allah atas karunia
hidup bakti dan kepada-Nya memohon cara pandang baru, yang tahu bagaimana
melihat rahmat, bagaimana mencari sesama kita, bagaimana berharap. Maka mata
kita juga akan melihat keselamatan.
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.