Bacaan
Ekaristi : Kis. 2:1-11; Mzm. 104:1ab, 24ac,29bc-30,31,34; 1Kor. 12:3b-7,12-13;
Yoh. 20:19-23.
“Ada
rupa-rupa karunia, tetapi satu Roh” (1 Kor 12:4), sebagaimana ditulis Rasul
Paulus kepada jemaat Korintus. Ia melanjutkan : “Dan ada rupa-rupa pelayanan,
tetapi satu Tuhan. Dan ada berbagai-bagai perbuatan ajaib, tetapi Allah adalah
satu yang mengerjakan semuanya dalam semua orang” (ayat 5-6). Keanekaragaman
dan kesatuan : Santo Paulus mempersatukan dua kata yang tampaknya saling
bertentangan. Ia ingin memberitahu kita bahwa Roh Kuduslah yang mempersatukan
banyak orang; dan Gereja dilahirkan dengan cara ini : kita semua berbeda, namun
dipersatukan oleh Roh Kudus yang sama.
Marilah
kita kembali ke asal mula Gereja, ke hari Pentakosta. Marilah kita melihat para
Rasul : beberapa dari mereka adalah para nelayan, orang-orang yang sederhana
yang terbiasa hidup dengan pekerjaan tangan, tetapi ada juga Rasul lainnya,
seperti Matius, yang adalah seorang pemungut cukai yang terpelajar. Mereka
berasal dari beraneka ragam latar belakang dan konteks sosial, dan mereka
memiliki nama Ibrani maupun Yunani. Dalam hal karakter, beberapa Rasul lemah
lembut dan Rasul lainnya mudah meluap-luap; mereka semua memiliki beraneka
ragam gagasan dan kepekaan. Mereka semua berbeda. Yesus tidak mengubah mereka;
Ia tidak menjadikan mereka seperangkat model yang sudah dikemas terlebih
dahulu. Tidak. Ia membiarkan perbedaan-perbedaan tersebut dan sekarang Ia
mempersatukan mereka dengan urapan Roh Kudus. Dengan pengurapan muncullah kesatuan
mereka - kesatuan dalam keanekaragaman. Pada Pentakosta, para Rasul memahami
kuasa Roh Kudus yang mempersatukan. Mereka melihatnya dengan mata mereka ketika
semua orang, meskipun berbicara dalam beraneka ragam bahasa, berkumpul sebagai
satu umat : umat Allah, yang dibentuk oleh Roh Kudus, yang menjalin kesatuan
dari keanekaragaman dan melimpahkan kerukunan karena dalam Roh Kudus ada
kerukunan. Ia sendiri adalah kerukunan.
Marilah
kita berfokus pada diri kita, Gereja dewasa ini. Kita dapat bertanya pada diri
kita : “Apakah yang mempersatukan kita, apakah dasar dari kesatuan kita?”. Kita
juga memiliki perbedaan-perbedaan, misalnya : perbedaan pendapat, pilihan,
kepekaan. Tetapi godaan selalu dengan ganas mempertahankan gagasan-gagasan
kita, memercayai bahwa gagasan-gagasan itu baik untuk semua orang dan hanya seia-sekata
dengan orang-orang yang sepikiran dengan kita. Ini adalah godaan yang buruk
yang membawa perpecahan. Bahkan ini adalah iman yang diciptakan menurut rupa
kita; bukan iman yang diinginkan Roh Kudus. Kita mungkin berpikir bahwa apa
yang mempersatukan kita adalah kepercayaan dan moralitas kita. Tetapi ada
banyak lagi : landasan kesatuan kita adalah Roh Kudus. Ia mengingatkan kita
bahwa pertama-tama kita adalah anak-anak Allah yang terkasih; semua sama, dalam
hal ini, dan semua berbeda. Roh Kudus datang kepada kita, dalam perbedaan dan
kesulitan kita, untuk memberitahu kita bahwa kita memiliki satu Tuhan - Yesus -
dan satu Bapa, dan karena alasan inilah kita adalah saudara dan saudari!
Marilah kita mulai lagi dari sini; marilah kita melihat Gereja dengan mata Roh Kudus
dan bukan mata dunia. Dunia melihat kita hanya di sebelah kanan atau kiri,
dengan satu ideologi atau ideologi lainnya; Roh Kudus melihat kita sebagai
putra-putri Bapa dan saudara-saudari Yesus. Dunia melihat kaum konservatif dan
progresif; Roh Kudus melihat anak-anak Allah. Pandangan duniawi melihat tatanan
untuk dibuat lebih efisien; pandangan rohani melihat saudara-saudari memohonkan
belas kasih. Roh Kudus mengasihi kita dan mengetahui tempat semua orang dalam
rancangan besar dari berbagai hal : bagi-Nya, kita bukan potongan-potongan
kertas yang beterbangan tertiup angin, melainkan kita adalah
penggalan-penggalan yang tak tergantikan dalam mosaik-Nya.
Jika
kita kembali ke hari Pentakosta, kita mendapati bahwa tugas pertama Gereja
adalah pemberitaan. Namun kita juga melihat bahwa para Rasul tidak memikirkan
strategi; ketika mereka terkunci di sana, di Ruang Atas, mereka tidak sedang
menyusun strategi, tidak, mereka tidak sedang menyusun rencana pastoral apapun.
Mereka dapat membagi orang-orang menjadi kelompok-kelompok sesuai dengan asal-usul
mereka, berbicara pertama-tama kepada mereka yang dekat dan kemudian kepada
mereka yang jauh, dengan tertib ... Mereka juga dapat menunggu beberapa saat
sebelum memulai khotbah agar ajaran Yesus semakin dipahami, agar terhindar dari
resiko ... Tidak. Roh Kudus tidak ingin ingatan akan Sang Guru dipupuk dalam
kelompok-kelompok kecil yang terkunci di dalam ruang atas di mana mudah untuk
"bersarang". Ini adalah penyakit mengerikan yang juga dapat menjangkiti
Gereja : membuatnya menjadi sebuah sarang ketimbang sebuah komunitas, sebuah
keluarga atau seorang ibu. Hanya Roh Kudus yang membuka pintu dan mendorong
kita untuk maju melampaui apa yang telah dikatakan dan dilakukan, melampaui
daerah sekitar iman yang takut-takut dan jera. Dalam dunia, jika tidak ada
organisasi yang ketat dan strategi yang jelas, segalanya berantakan. Namun,
dalam Gereja, Roh Kudus menjamin kesatuan kepada orang-orang yang memberitakan
pesan. Para Rasul berangkat : tanpa persiapan, namun mempertaruhkan nyawa
mereka. Satu hal yang membuat mereka terus maju : keinginan untuk memberikan
apa yang mereka terima. Bagian pembuka dari Surat Pertama Santo Yohanes sangat
indah : "apa yang telah kami lihat dan yang telah kami dengar itu, kami
beritakan kepada kamu juga" (bdk. 1:3).
Di
sini kita mulai memahami apa rahasia kesatuan, rahasia Roh Kudus. Rahasia
kesatuan dalam Gereja, rahasia Roh Kudus adalah karunia. Karena Roh Kudus itu
sendiri adalah karunia : Ia hidup dengan memberikan diri-Nya dan dengan cara
ini Ia membuat kita tetap bersama, membuat kita lebih banyak berbagi dalam
karunia yang sama. Memercayai bahwa Allah adalah karunia, bahwa Ia bertindak
bukan dengan mengambil, tetapi dengan memberi, adalah penting. Mengapa hal ini
penting? Karena cara kita menjadi orang percaya tergantung pada bagaimana kita
memahami Allah. Jika kita memikirkan Allah yang mengambil dan yang memaksakan
diri-Nya, kita juga akan ingin mengambil dan memaksakan diri kita : menduduki
ruang, menuntut pengakuan, mencari kekuasaan. Tetapi jika kita memiliki di
dalam hati kita seorang Allah yang adalah karunia, segalanya berubah. Jika kita
menyadari bahwa kita adalah karunia-Nya, cuma-cuma dan tidak layak, maka kita
juga ingin menjadikan hidup kita sebagai karunia. Dengan mengasihi secara
rendah hati, melayani secara cuma-cuma dan penuh sukacita, kita dapat
menawarkan kepada dunia rupa Allah yang sesungguhnya. Roh Kudus, ingatan yang
hidup akan Gereja, mengingatkan kita bahwa kita dilahirkan dari suatu karunia
dan kita tumbuh dengan memberi : bukan dengan memegang tetapi dengan memberikan
diri kita.
Saudara-saudari
yang terkasih, marilah kita melihat ke dalam dan bertanya pada diri kita apa
yang menghalangi kita untuk memberikan diri. Bisa dikatakan, ada tiga musuh
utama pemberian diri tersebut, yang selalu mengintai di pintu hati kita :
narsisme, menjadi korban dan pesimisme. Narsisme membuat kita memberhalakan diri
kita, hanya mementingkan apa yang baik untuk kita. Orang-orang yang narsis
berpikir : "Hidup itu baik jika aku mendapat untung daripadanya".
Jadi ia akhirnya berkata : "Mengapa aku harus memberikan diriku bagi orang
lain?". Dalam masa pandemi ini, alangkah kelirunya narsisisme :
kecenderungan hanya memikirkan kebutuhan kita, acuh tak acuh terhadap orang
lain, serta tidak mengakui kelemahan dan kesalahan kita. Musuh yang kedua,
menjadi korban, malahan sama-sama berbahaya. Para korban mengeluh setiap hari
tentang sesama mereka : “Tidak ada yang mengerti aku, tidak ada yang
membantuku, tidak ada yang mengasihiku, semua orang melakukannya demi aku!”.
Sudah berapa kali kita tidak mendengar keluhan ini! Hati korban tertutup,
ketika ia bertanya, "Mengapa orang lain tidak peduli padaku?". Dalam
krisis yang sedang kita alami, betapa buruknya menjadi korban! Berpikir bahwa tidak
ada yang mengerti kita dan mengalami apa yang kita alami. Ini adalah menjadi
korban. Akhirnya, ada pesimisme. Di sini ada keluhan yang tak berkesudahan :
“Tidak ada yang berjalan baik, masyarakat, politik, Gereja ...”. Orang yang
pesimis marah dengan dunia, tetapi duduk kembali dan tidak melakukan apa-apa,
berpikir : “Apa gunanya memberi? Itu tidak berguna”. Pada saat ini, dalam upaya
besar untuk memulai kembali, betapa merusaknya pesimisme, kecenderungan untuk
melihat segala sesuatu dalam terang yang terburuk dan terus mengatakan bahwa
tidak ada yang akan kembali seperti sebelumnya! Ketika seseorang berpikir
seperti ini, satu hal yang pasti tidak kembali adalah harapan. Dalam ketiga hal
ini - orang yang narsis melakukan berhala cermin, berhala cermin; berhala keluh
kesah : "Aku merasa manusiawi hanya ketika aku berkeluh kesah"; dan
berhala hal yang negatif : “semuanya gelap, masa depan suram” - kita mengalami
kelaparan harapan dan kita perlu menghargai karunia kehidupan, karunia yang
dimiliki oleh kita masing-masing. Kita membutuhkan Roh Kudus, karunia Allah
yang menyembuhkan kita dari narsisme, menjadi korban dan pesimisme. Ia
menyembuhkan kita dari cermin, keluh kesah, dan kegelapan.
Saudara-saudari,
marilah kita berdoa kepada-Nya : Roh Kudus, ingatan akan Allah, hidupkanlah
kembali dalam diri kami ingatan akan karunia yang diterima. Bebaskanlah kami
dari kelumpuhan egoisme dan bangkitlah dalam diri kami keinginan untuk
melayani, untuk berbuat baik. Bahkan yang lebih buruk dari krisis ini adalah
tragedi menyia-nyiakannya dengan ketertutupan dalam diri kita. Datanglah, Roh
Kudus : Engkau adalah kerukunan; jadikanlah kami para pembangun kesatuan. Engkau
senantiasa memberikan diri-Mu; anugerahkanlah kami keberanian untuk keluar dari
diri kami, saling mengasihi dan menolong, untuk menjadi satu keluarga. Amin.
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.