Liturgical Calendar

HOMILI PAUS FRANSISKUS DALAM MISA HARI RAYA PENTAKOSTA 31 Mei 2020 : ROH KUDUS ADALAH KARUNIA PEMBERIAN DIRI


Bacaan Ekaristi : Kis. 2:1-11; Mzm. 104:1ab, 24ac,29bc-30,31,34; 1Kor. 12:3b-7,12-13; Yoh. 20:19-23.

“Ada rupa-rupa karunia, tetapi satu Roh” (1 Kor 12:4), sebagaimana ditulis Rasul Paulus kepada jemaat Korintus. Ia melanjutkan : “Dan ada rupa-rupa pelayanan, tetapi satu Tuhan. Dan ada berbagai-bagai perbuatan ajaib, tetapi Allah adalah satu yang mengerjakan semuanya dalam semua orang” (ayat 5-6). Keanekaragaman dan kesatuan : Santo Paulus mempersatukan dua kata yang tampaknya saling bertentangan. Ia ingin memberitahu kita bahwa Roh Kuduslah yang mempersatukan banyak orang; dan Gereja dilahirkan dengan cara ini : kita semua berbeda, namun dipersatukan oleh Roh Kudus yang sama.


Marilah kita kembali ke asal mula Gereja, ke hari Pentakosta. Marilah kita melihat para Rasul : beberapa dari mereka adalah para nelayan, orang-orang yang sederhana yang terbiasa hidup dengan pekerjaan tangan, tetapi ada juga Rasul lainnya, seperti Matius, yang adalah seorang pemungut cukai yang terpelajar. Mereka berasal dari beraneka ragam latar belakang dan konteks sosial, dan mereka memiliki nama Ibrani maupun Yunani. Dalam hal karakter, beberapa Rasul lemah lembut dan Rasul lainnya mudah meluap-luap; mereka semua memiliki beraneka ragam gagasan dan kepekaan. Mereka semua berbeda. Yesus tidak mengubah mereka; Ia tidak menjadikan mereka seperangkat model yang sudah dikemas terlebih dahulu. Tidak. Ia membiarkan perbedaan-perbedaan tersebut dan sekarang Ia mempersatukan mereka dengan urapan Roh Kudus. Dengan pengurapan muncullah kesatuan mereka - kesatuan dalam keanekaragaman. Pada Pentakosta, para Rasul memahami kuasa Roh Kudus yang mempersatukan. Mereka melihatnya dengan mata mereka ketika semua orang, meskipun berbicara dalam beraneka ragam bahasa, berkumpul sebagai satu umat : umat Allah, yang dibentuk oleh Roh Kudus, yang menjalin kesatuan dari keanekaragaman dan melimpahkan kerukunan karena dalam Roh Kudus ada kerukunan. Ia sendiri adalah kerukunan.

Marilah kita berfokus pada diri kita, Gereja dewasa ini. Kita dapat bertanya pada diri kita : “Apakah yang mempersatukan kita, apakah dasar dari kesatuan kita?”. Kita juga memiliki perbedaan-perbedaan, misalnya : perbedaan pendapat, pilihan, kepekaan. Tetapi godaan selalu dengan ganas mempertahankan gagasan-gagasan kita, memercayai bahwa gagasan-gagasan itu baik untuk semua orang dan hanya seia-sekata dengan orang-orang yang sepikiran dengan kita. Ini adalah godaan yang buruk yang membawa perpecahan. Bahkan ini adalah iman yang diciptakan menurut rupa kita; bukan iman yang diinginkan Roh Kudus. Kita mungkin berpikir bahwa apa yang mempersatukan kita adalah kepercayaan dan moralitas kita. Tetapi ada banyak lagi : landasan kesatuan kita adalah Roh Kudus. Ia mengingatkan kita bahwa pertama-tama kita adalah anak-anak Allah yang terkasih; semua sama, dalam hal ini, dan semua berbeda. Roh Kudus datang kepada kita, dalam perbedaan dan kesulitan kita, untuk memberitahu kita bahwa kita memiliki satu Tuhan - Yesus - dan satu Bapa, dan karena alasan inilah kita adalah saudara dan saudari! Marilah kita mulai lagi dari sini; marilah kita melihat Gereja dengan mata Roh Kudus dan bukan mata dunia. Dunia melihat kita hanya di sebelah kanan atau kiri, dengan satu ideologi atau ideologi lainnya; Roh Kudus melihat kita sebagai putra-putri Bapa dan saudara-saudari Yesus. Dunia melihat kaum konservatif dan progresif; Roh Kudus melihat anak-anak Allah. Pandangan duniawi melihat tatanan untuk dibuat lebih efisien; pandangan rohani melihat saudara-saudari memohonkan belas kasih. Roh Kudus mengasihi kita dan mengetahui tempat semua orang dalam rancangan besar dari berbagai hal : bagi-Nya, kita bukan potongan-potongan kertas yang beterbangan tertiup angin, melainkan kita adalah penggalan-penggalan yang tak tergantikan dalam mosaik-Nya.

Jika kita kembali ke hari Pentakosta, kita mendapati bahwa tugas pertama Gereja adalah pemberitaan. Namun kita juga melihat bahwa para Rasul tidak memikirkan strategi; ketika mereka terkunci di sana, di Ruang Atas, mereka tidak sedang menyusun strategi, tidak, mereka tidak sedang menyusun rencana pastoral apapun. Mereka dapat membagi orang-orang menjadi kelompok-kelompok sesuai dengan asal-usul mereka, berbicara pertama-tama kepada mereka yang dekat dan kemudian kepada mereka yang jauh, dengan tertib ... Mereka juga dapat menunggu beberapa saat sebelum memulai khotbah agar ajaran Yesus semakin dipahami, agar terhindar dari resiko ... Tidak. Roh Kudus tidak ingin ingatan akan Sang Guru dipupuk dalam kelompok-kelompok kecil yang terkunci di dalam ruang atas di mana mudah untuk "bersarang". Ini adalah penyakit mengerikan yang juga dapat menjangkiti Gereja : membuatnya menjadi sebuah sarang ketimbang sebuah komunitas, sebuah keluarga atau seorang ibu. Hanya Roh Kudus yang membuka pintu dan mendorong kita untuk maju melampaui apa yang telah dikatakan dan dilakukan, melampaui daerah sekitar iman yang takut-takut dan jera. Dalam dunia, jika tidak ada organisasi yang ketat dan strategi yang jelas, segalanya berantakan. Namun, dalam Gereja, Roh Kudus menjamin kesatuan kepada orang-orang yang memberitakan pesan. Para Rasul berangkat : tanpa persiapan, namun mempertaruhkan nyawa mereka. Satu hal yang membuat mereka terus maju : keinginan untuk memberikan apa yang mereka terima. Bagian pembuka dari Surat Pertama Santo Yohanes sangat indah : "apa yang telah kami lihat dan yang telah kami dengar itu, kami beritakan kepada kamu juga" (bdk. 1:3).

Di sini kita mulai memahami apa rahasia kesatuan, rahasia Roh Kudus. Rahasia kesatuan dalam Gereja, rahasia Roh Kudus adalah karunia. Karena Roh Kudus itu sendiri adalah karunia : Ia hidup dengan memberikan diri-Nya dan dengan cara ini Ia membuat kita tetap bersama, membuat kita lebih banyak berbagi dalam karunia yang sama. Memercayai bahwa Allah adalah karunia, bahwa Ia bertindak bukan dengan mengambil, tetapi dengan memberi, adalah penting. Mengapa hal ini penting? Karena cara kita menjadi orang percaya tergantung pada bagaimana kita memahami Allah. Jika kita memikirkan Allah yang mengambil dan yang memaksakan diri-Nya, kita juga akan ingin mengambil dan memaksakan diri kita : menduduki ruang, menuntut pengakuan, mencari kekuasaan. Tetapi jika kita memiliki di dalam hati kita seorang Allah yang adalah karunia, segalanya berubah. Jika kita menyadari bahwa kita adalah karunia-Nya, cuma-cuma dan tidak layak, maka kita juga ingin menjadikan hidup kita sebagai karunia. Dengan mengasihi secara rendah hati, melayani secara cuma-cuma dan penuh sukacita, kita dapat menawarkan kepada dunia rupa Allah yang sesungguhnya. Roh Kudus, ingatan yang hidup akan Gereja, mengingatkan kita bahwa kita dilahirkan dari suatu karunia dan kita tumbuh dengan memberi : bukan dengan memegang tetapi dengan memberikan diri kita.

Saudara-saudari yang terkasih, marilah kita melihat ke dalam dan bertanya pada diri kita apa yang menghalangi kita untuk memberikan diri. Bisa dikatakan, ada tiga musuh utama pemberian diri tersebut, yang selalu mengintai di pintu hati kita : narsisme, menjadi korban dan pesimisme. Narsisme membuat kita memberhalakan diri kita, hanya mementingkan apa yang baik untuk kita. Orang-orang yang narsis berpikir : "Hidup itu baik jika aku mendapat untung daripadanya". Jadi ia akhirnya berkata : "Mengapa aku harus memberikan diriku bagi orang lain?". Dalam masa pandemi ini, alangkah kelirunya narsisisme : kecenderungan hanya memikirkan kebutuhan kita, acuh tak acuh terhadap orang lain, serta tidak mengakui kelemahan dan kesalahan kita. Musuh yang kedua, menjadi korban, malahan sama-sama berbahaya. Para korban mengeluh setiap hari tentang sesama mereka : “Tidak ada yang mengerti aku, tidak ada yang membantuku, tidak ada yang mengasihiku, semua orang melakukannya demi aku!”. Sudah berapa kali kita tidak mendengar keluhan ini! Hati korban tertutup, ketika ia bertanya, "Mengapa orang lain tidak peduli padaku?". Dalam krisis yang sedang kita alami, betapa buruknya menjadi korban! Berpikir bahwa tidak ada yang mengerti kita dan mengalami apa yang kita alami. Ini adalah menjadi korban. Akhirnya, ada pesimisme. Di sini ada keluhan yang tak berkesudahan : “Tidak ada yang berjalan baik, masyarakat, politik, Gereja ...”. Orang yang pesimis marah dengan dunia, tetapi duduk kembali dan tidak melakukan apa-apa, berpikir : “Apa gunanya memberi? Itu tidak berguna”. Pada saat ini, dalam upaya besar untuk memulai kembali, betapa merusaknya pesimisme, kecenderungan untuk melihat segala sesuatu dalam terang yang terburuk dan terus mengatakan bahwa tidak ada yang akan kembali seperti sebelumnya! Ketika seseorang berpikir seperti ini, satu hal yang pasti tidak kembali adalah harapan. Dalam ketiga hal ini - orang yang narsis melakukan berhala cermin, berhala cermin; berhala keluh kesah : "Aku merasa manusiawi hanya ketika aku berkeluh kesah"; dan berhala hal yang negatif : “semuanya gelap, masa depan suram” - kita mengalami kelaparan harapan dan kita perlu menghargai karunia kehidupan, karunia yang dimiliki oleh kita masing-masing. Kita membutuhkan Roh Kudus, karunia Allah yang menyembuhkan kita dari narsisme, menjadi korban dan pesimisme. Ia menyembuhkan kita dari cermin, keluh kesah, dan kegelapan.

Saudara-saudari, marilah kita berdoa kepada-Nya : Roh Kudus, ingatan akan Allah, hidupkanlah kembali dalam diri kami ingatan akan karunia yang diterima. Bebaskanlah kami dari kelumpuhan egoisme dan bangkitlah dalam diri kami keinginan untuk melayani, untuk berbuat baik. Bahkan yang lebih buruk dari krisis ini adalah tragedi menyia-nyiakannya dengan ketertutupan dalam diri kita. Datanglah, Roh Kudus : Engkau adalah kerukunan; jadikanlah kami para pembangun kesatuan. Engkau senantiasa memberikan diri-Mu; anugerahkanlah kami keberanian untuk keluar dari diri kami, saling mengasihi dan menolong, untuk menjadi satu keluarga. Amin.

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.